(Replay 2004) I'm OK

317 47 4
                                    

Seoul, musim dingin 2006.

Aku memikirkan perkataan Nyonya Kim tempo hari. Ia benar. Aku harusnya memiliki tujuan kemana langkahku selanjutnya setelah lulus SMU. Aku tidak bisa menjadi murid selamanya dan bergantung pada dad. Aku juga akan menjadi orang dewasa, lalu mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup. Aku bahkan sudah menanyakan pendapat dad. Ia tidak mengharuskan aku untuk kuliah. Ia hanya mengatakan aku harus melakukan apapun yang aku inginkan selagi aku bisa melakukannya. Aku tahu ia mengatakan itu karena ia menyayangiku. Tapi aku tidak bisa menjadi pengangguran dan hanya bersenang-senang kan?

Kemudian, aku memiliki ide ini. Mengapa aku tidak mengikuti Tae Yeon saja? Toh aku juga tidak tahu akan kemana. Tae Yeon mengatakan akan masuk fakultas hukum karena ingin menjadi jaksa. Itu tidak buruk jika aku memilih fakultas hukum juga. Ku dengar di Korea hukum adalah bidang yang menjanjikan. Setelah lulus nanti, aku bisa mengikuti ujian negara dan menjadi jaksa sama seperti yang Tae Yeon inginkan. Jika tidak, aku juga bisa menjadi pengacara. Hanya saja, masuk fakultas hukum bukanlah hal yang mudah.

Disinilah masalah dimulai. Aku harus belajar sangat keras agar bisa mewujudkannya. Kuliah di tempat yang sama dengan Tae Yeon memang akan menyenangkan. Namun Tae Yeon menargetkan universitas Seoul. Masuk fakultas hukum saja sudah sangat sulit. Fakultas hukum di universitas bergengsi pastinya lebih sulit lagi. Mungkin Tae Yeon tidak akan mengalami kesulitan. Berbeda denganku yang tidak begitu pintar. Seperti mencoba menggapai bulan.

Bahkan menggapai bulanpun bukanlah hal yang tidak mungkin. Aku hanya perlu berusaha lebih keras. Dad mendukungku. Tae Yeon juga. Aku yakin jika aku belajar lebih giat dibanding biasanya, aku bisa mewujudkan itu.

Pastinya ini sedikit terlambat, tapi tahun ajaran ini aku memutuskan untuk masuk hagwon. Begitu juga teman-teman sekelasku yang lain. Kebanyakan sudah mulai jauh sebelumnya. Hanya beberapa yang terlambat sepertiku. Tae Yeon juga.

"Menurutmu kapan Jessica paling mencintai buku?" Tae Yeon berbisik saat pelajar matematika di hagwon. Ia lalu terkikik pelan. "Jigeum."

Aku melirik Jessica yang sedang tidur dengan menjadikan bukunya sebagai bantal. Aku tidak mengerti mengapa ia repot-repot datang kemari jika ia hanya akan tidur. Anak-anak kaya memang berbeda. Mereka tidak perlu memikirkan biaya kursus yang mahal dan menyianyiakannya tanpa rasa bersalah.

"Akhir pekan ini, kau ingin menonton film?" Tanyanya masih sambil berbisik. "Aku belum menonton Goblet of Fire. Ku harap mereka masih menayangkannya."

Untuk sesaat, aku teralihkan dari apa yang dijelaskan di depan kelas. Dan saat aku berusaha kembali untuk fokus, aku telah kehilangan arah.

"Kau tidak mau?" Ia bertanya lagi karena belum mendapatkan jawabannya.

"Aku tidak bisa." Jawabku berusaha untuk tidak kehilangan konsentrasiku meski sangat sulit. Aku kelelahan. Kepalaku rasanya akan meledak. Tapi aku harus melakukan ini. Aku tidak boleh menyerah dengan begitu mudah. "Aku harus mengulang pelajaran minggu ini agar tidak lupa."

"Hei!" Ia menyentuh tanganku. Menghentikan gerakanku menulis. "Santai saja. Kita baru saja memulai tahun ajaran baru."

Aku menghela nafas dan rasanya jauh lebih melelahkan dari sebelumnya. "Jika aku tidak lulus ujian masuk universitas, kita tidak bisa kuliah bersama."

"Tentu saja." Ia tersenyum dan rasanya menenangkan melihatnya. "Ujian universitas memang penting. Tapi kesehatanmu jauh lebih penting. Jika kau terlalu memaksakan dirimu hingga jatuh sakit dan tidak bisa mengikuti ujian, itu akan lebih sia-sia lagi."

Ia benar. Tapi.. Aku terlambat memulainya. "Aku tidak akan bisa mengejar apapun jika terlalu santai."

"Kita bisa pergi menonton film lalu aku akan menemanimu mengulang pelajaran. Bagaimana? Apa itu terlalu santai?"

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang