Aku membuka mataku di pagi hari dengan perasaan lega tanpa beban. Meski aku baru saja dihantui mimpi buruk seperti biasanya, namun itu tidak terasa mengganggu. Mimpi buruk yang sama, selalu datang berulang-ulang, tak lagi menakutkan bagiku. Karena aku tahu bahwa itu hanya mimpi. Karena aku tahu kenyataan yang menungguku saat bangun nanti bukanlah sesuatu yang suram dan mengerikan. Aku bisa menyambutnya tanpa gemetar. Mengatakan pada samchon untuk beristirahat dengan tenang.
Itu adalah hal yang sama seperti mimpi-mimpi yang lain. Kenangan buruk yang tak ingin lenyap dari ingatanku dan terus berusaha kembali melalui mimpi buruk. Itu adalah pengalaman mengerikan bagi bocah kecil seusiaku kala itu. Melihat samchon yang tergantung di langit-langit dengan seutas tali melilit lehernya, meregang nyawa dengan wajah tersiksa yang terlihat menakutkan. Aku tak akan pernah melupakannya. Namun kini aku bukan lagi bocah kecil. Meski kenangan itu masih ada, tapi tak bisa lagi menakutiku.
Ku rasa itu juga menjadi penyebab aku menghabiskan masa remajaku dengan kebencian. Rasa takut tak terobati yang berujung pada kehilangan membuatku ingin menyalahkan. Aku menilai orang-orang tanpa perlu mengenal mereka terlebih dahulu. Menyimpan prasangka pada sebagian orang akibat kemarahan yang harusnya kulampiaskan pada hal lain. Aku menganggap Jesica buruk berdasarkan prasangka yang sama. Aku menyakiti diriku.
Akan ku pastikan hal yang sama tak akan terulang lagi. Aku semakin bertambah dewasa. Aku juga harus menyikapi sesuatu secara dewasa juga. Menanggapi sesuatu setelah memikirkannya dengan matang, mengambil keputusan secara bijak. Apa yang terjadi beberapa hari terakhir telah mengubahku dari dalam. Melihat Jessica kehilangan bahkan jauh lebih menyakitkan dari kehilangan itu sendiri. Dan saat kerja kerasku selama bertahun-tahun harus berakhir, aku menyadari bahwa mungkin aku terlalu menyombongkan diri, menganggap diriku hebat tanpa campur tangan keluargaku. Nyatanya, keberadaanku adalah akibat dari campur tangan keluargaku itu. Aku tidak bisa menghindar. Aku tidak bisa melarikan diri. Aku terlambat menyadari bahwa aku dan keluargaku harusnya berada di jalan yang sama.
Meski terlambat, aku akhirnya menjadi dewasa. Bukankah begitu?
Eh? Tak ada siapapun di sampingku. Apa mungkin Jessica sudah bangun? Benar juga. Ini sudah nyaris jam sepuluh pagi. Aku yang terlambat.
Ia tidak ada di kamar, atau kamar mandi. Jadi aku keluar mencarinya. Siapa tahu ia tertangkap oleh harabeoji dan dipaksa untuk menemani bermain baduk.
"Kau sudah bangun sayang?" tanya eomma yang kutemui sedang merangkai bunga di ruang keluarga. Aku masih belum melihat Jessica.
"Eomma masih di rumah?" Aku balik bertanya sambil mendekatinya.
Ia mengangguk tanpa mengalihkan konsentrasi dari apa yang ia kerjakan. "Eomma ada pertemuan saat jam makan siang. Pagi ini, eomma hanya ingin bersantai sejenak."
Aku juga mengangguk sambil melihat sekitar dan mencari-cari keberadaan Jessica. Ia tidak terlihat. Sebenarnya dimana gadis itu? Apa benar harabeoji menculiknya?
"Apa kau lapar?" tanya eomma lagi. "Minta saja ahjumma untuk menyiapkannya. Kau terlihat tidur nyenyak sekali tadi. Aku tidak tega membangunkanmu."
"Ah, ne!" Mungkin eomma tahu dimana Jessica berada. "Ngomong-ngomong, apa eomma melihat Sica? Ia tidak ada di kamar, dan aku ...."
"Dia pergi pagi-pagi sekali," sela harabeoji yang baru saja turun dari lantai dua.
Aku menoleh ke arah harabeoji yang berdiri di belakangku dengan dahi berkerut. "Pergi pagi-pagi sekali? Maksudnya?"
Harabeoji berdehem sambil melihat eomma dengan sudut matanya. "Tanyakan pada ibumu!"
"Eomma?" Ada apa ini? Perasaanku mulai tidak enak. Tidak! Telah terjadi sesuatu saat aku tidur tadi. Dan aku yakin itu bukan sesuatu yang baik.
