Mengapa aku seperti ini? Mengapa aku merasa ketakutan? Mengapa aku merasa kehilangan? Apa yang kutakutkan? Apa yang telah hilang?
Ini adalah rumah harabeoji. Aku bisa mengingatnya meski disini sangat gelap. Tapi ... Mengapa aku merasa familiar dengan suasana hari ini? Apa yang sedang kulakukan disini?
Tempat yang gelap membuatku semakin merasa tidak nyaman. Aku yakin ada sesuatu disini yang membuatku merasa terganggu. Sesuatu yang juga berada di ruangan ini. Aku tidak bisa melihatnya. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhku. Ada yang menahanku dan lagi-lagi aku tidak tahu apa itu.
Aku hanya bisa menggerakkan bola mataku. Aku melirik ke sisi lain ruangan dan menemukan sebuah cermin tinggi. Tidak begitu jelas, namun aku yakin apa yang kulihat pada cermin itu. Sepasang kaki. Sepasang kaki yang tergantung. Apa itu aku? Apa aku sedang tergantung saat ini?
Melihat bayangan itu membuatku tercekik. Sangat kuat hingga membuatku tak bisa bernafas. Itu memang kakiku. Aku sedang tergantung dengan seutas tali mencekik leherku. Hanya dalam hitungan detik, aku akan mati.
"Khaah ... Khaah ...," Aku terbangun dengan nafas terengah. Aku menyingkirkan bantal yang membuatku sesak nafas kemudian duduk untuk menenangkan diri. Mimpi itu begitu mengerikan. Mimpi yang selalu muncul akibat kenangan menakutkan masa lalu. Ku pikir aku sudah melupakannya karena tak lagi mengalami mimpi serupa akhir-akhir ini. Ternyata aku salah. Mimpi itu akan terus menghantuiku hingga aku mati.
Aku mengusap peluh dari dahiku. Padahal ini masih musim dingin namun aku berkeringat begitu banyak hingga kaos yang kupakai basah kuyup. Mimpi itu begitu buruk hingga masih menggangguku bahkan ketika aku telah terjaga. Jantungku berdegup dengan cepat dan aku masih merasakan ketakutan itu.
"Kau bermimpi buruk?" Aku merasakan usapan lembut di punggungku. Itu adalah Jessica. Mendengar suaranya disaat aku merasa begitu kacau membuatku sedikit lebih tenang. Aku tidak sendirian di kegelapan ini. Jessica bersamaku.
Aku mengangguk seperti seorang anak kecil yang mengadu pada ibunya.
"Gwenchana, aku disini," Ia menarikku kepelukannya kemudian mengusap kepalaku.
Ini bukan pertama kalinya ia memergokiku terbangun karena mimpi buruk. Ia tidak pernah bertanya tentang itu baik kini atau sepuluh tahun yang lalu. Ia hanya akan memelukku untuk menenangkanku. Persis seperti yang dilakukannya malam ini.
Aku ingin menganggapnya hanya mimpi buruk. Tapi tidak. Itu bukan sekadar mimpi buruk. Itu adalah masa lalu yang berusaha ku lupakan, namun tak pernah bisa. Ketika aku mulai merasa lebih baik, mimpi itu selalu datang. Seolah mengingatkanku tentang lubang besar dalam kehidupanku. Lubang yang tak akan bisa ku tutup bagaimanapun caranya.
"Sica-ah!" Aku membenamkan wajahku pada ceruk lehernya. Ketakutan itu masih ada. Mimpi buruk yang barusan ku alami telah membuka kembali memori menakutkan itu. Terasa nyata dan membekas seolah baru saja terjadi. "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?"
Ditinggalkan oleh orang yang kucintai, aku pernah mengalaminya. Dulu ... Dulu sekali. Begitu menyakitkan hingga mau mati rasanya. Mimpi itu juga mengingatkanku pada rasa sakit yang ku rasakan. Aku tidak akan mengalaminya lagi. Aku tidak akan kehilangan siapapun lagi.
"Eoh!" Ia mengangguk sambil terus mengusap kepalaku. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Aku percaya padanya. Hubungan kami memang bukanlah hal yang terhormat, namun aku bisa mempercayainya. Ia tidak akan meninggalkanku. Ia sudah menungguku bertahun-tahun lamanya. Ia bahkan melepas segala kenyamanan yang dimilikinya untuk memulai kehidupan baru denganku.
"Gomawo, Sica-ah!" Aku mempererat pelukanku padanya. "Karena kau ada disini."
Ia menepuk-nepuk punggungku. "Kembalilah tidur, kau harus bekerja besok pagi."