Seoul, musim dingin 2006.
Hari itu, harusnya Tae Yeon memberitahukan pada orangtuanya tentang hubungan kami. Tapi aku berhasil mengacaukannya. Aku tidak hanya membuat Ji Woong membolos kuliah. Aku juga membuat Tae Yeon dan orangtuanya kembali pulang dan tidak jadi mendaki gunung. Dan yang paling disesali adalah, Tae Yeon yang nyaris memberitahukan tentang kami pada orangtuanya, disaat yang tidak tepat mendapatkan kabar dari Ji Woong bahwa aku jatuh pingsan. Dia tidak memikirkan apapun lagi dan hanya kembali pulang. Aku yang tidak ingin membebani malah merepotkan semua orang.
Kemudian tibalah waktu pengumuman kelulusan. Tae Yeon tanpa diragukan lagi berhasil lulus di fakultas hukum universitas Seoul. Sementara aku, meski sudah menduga ini akan terjadi, tetap saja aku merasa sangat terpukul mengetahui aku tidak lulus. Aku merasa tidak berguna.
Yang paling mengecewakan dari ketidak lulusanku adalah aku tidak bisa menikah dengan Tae Yeon. Aku terlalu percaya diri hingga tidak pernah menyangka bahwa kesepakatan itu justru berbalik menyerangku. Tae Yeon mengatakan bahwa aku masih bisa mencoba tahun depan. Itu artinya aku harus menunggu satu tahun lagi. Rasanya akan lama sekali.
Diantara teman-temanku yang lain, hanya Tae Yeon dan Seo Hyun saja yang lulus universitas. Seo Hyun juga lulus di fakultas hukum universitas Seoul. Yu Ri gagal pada ujiannya, sedangkan Jessica memang tidak berencana untuk kuliah. Ia mengatakan bahwa ia hanya akan mengikuti Yu Ri saja. Sunny berencana kuliah di luar negeri, sementara Hyo Yeon masih belum memutuskan ingin menjadi apa.
Melihatku sangat terpukul, Tae Yeon mencoba menghiburku dengan mengatakan bahwa aku tidak bodoh sehingga tidak lulus ujian. Aku sedang sakit saat itu, karena itu aku tidak beruntung. Ia meyakinkanku jika aku mencoba lagi tahun depan, aku pasti akan lulus. Tapi aku terlanjur merasa gagal. Aku terlalu bodoh untuk lulus ujian.
"Bukan karena kau bodoh. Kau tidak boleh putus asa. Aku akan membantumu agar kau lulus tahun depan." Tae Yeon masih berusaha menghiburku.
Kami sedang berada di ruang tamu. Tae Yeon masih duduk di lantai menghadap laptopnya. Baru saja memeriksa pengumuman ujian. Aku duduk di sebelahnya. Masih syok dan terpukul.
"Jangan dengarkan dia!" Teriak Ji Woong yang sedang menikmati makan siang yang terlambat di ruang makan. "Dia hanya akan mengganggumu seperti sebelumnya. Belajar denganku saja. Jangan terlalu sering dekat-dekat dengan Tae Yeon. Dia pengaruh buruk bagimu."
"Oppa!" Tae Yeon juga berteriak agar Ji Woong bisa mendengarnya. "Dia pacarku! Jangan coba-coba merebutnya dariku!"
"Eoh! Aku akan merebutnya darimu!" Balas Ji Woong.
"Mi Young-ah!" Tae Yeon merengek padaku. "Kau akan lebih memilihnya dibandingkanku?"
Aku mengangguk. "Oppa bisa mengajariku. Jika itu kau, kau hanya akan mencuri-curi kesempatan."
Terdengar suara tawa mendekat, lalu Ji Woong muncul sambil menggigit tusuk gigi. "Lihat! Kau sudah kehilangan kepercayaan. Kau membuat keputusan yang tepat Fany-ah! Jangankan Universitas Seoul, aku bahkan bisa membawamu ke Harvard."
"Ck, Oppa! Kau terlalu banyak membual." Tae Yeon menjadi kesal karena aku tidak memilihnya.
"Maksudku untuk jalan-jalan." Tambah Ji Woong. Ia mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum ia kembali pada makanannya.
"Kalau hanya untuk jalan-jalan, aku juga bisa membawamu ke Harvard." Sungut Tae Yeon.
Aku menanggapi dengan senyum kecut. Dua kakak beradik ini menganggapku terlalu bodoh untuk bisa kuliah di Harvard. Mereka tidak salah. Aku bahkan tidak lulus di Universitas Seoul.