Hurted and Hurt

626 83 9
                                    

"Yu Ri-ah!" Ia menyapaku dengan senyum lebar tak tahu malunya. "Kau Kwon Yu Ri kan?"

Tentu saja aku Kwon Yu Ri. Jangan berlagak lupa-lupa ingat karena jika ia memang begitu, maka ia sungguh kurang ajar. Lagipula, berani-beraninya ia menyapaku seperti itu setelah apa yang ia lakukan. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa dimasa lalu.

"Eoh," Aku bersikap acuh, tapi juga tidak marah-marah. Ini tempat umum dan banyak pengunjung disini. Memalukan jika aku ribut dengannya seperti ahjumma kesetanan yang suaminya direbut wanita lain. Tentu saja aku ingin menjambak rambutnya lalu merontokkan semua giginya agar ia tidak akan pernah tersenyum seperti itu lagi. Tapi aku menahan diri. Tanganku sudah terkepal, tapi aku menahannya hingga wajahku memerah.

"Kau tidak berubah," Ia tertawa menanggapi sikapku barusan. Apa ia sedang mengejekku?

Aku tidak ingin meladeninya ngobrol. Tapi aku masih menunggu toko membungkuskan rotiku. Jadi aku tidak bisa kemana-mana dan hanya menjawabnya dengan sinis. "Bagaimana kau menilai hanya dengan sekali lihat?"

"Ah, benar juga," Ia tertawa lagi. "Bagaimana kabarmu? Apa yang kau lakukan sekarang?"

Mengapa kabarku menjadi urusannya? Aku tidak mau jawab.

"Aku membuka studio dekat sini. Kapan-kapan datanglah. Kita bisa minum kopi sambil ngobrol," lanjutnya.

Hah! Ngobrol dengannya adalah hal yang paling tidak ingin ku lakukan. Menawariku seperti itu berarti ia telah melupakan semua yang terjadi dulu. Kami tidak berada pada kondisi dimana duduk dan mengobrol bersama adalah hal wang wajar. Aku membencinya, dan harusnya ia merasa bersalah. Bukannya tertawa lebar seperti itu.

November, 2003.

"Eonni, kemana kau akan membawaku?" Aku berlari kecil mengikuti gadis di depanku yang baru saja turun dari mobilnya. Aku nyaris saja tertinggal karena tersangkut sabuk pengaman saat akan keluar dari mobil.

Ia hanya berbalik dan melambai agar aku lebih cepat. Ck! Mengapa mengajakku jika ia hanya akan meninggalkanku? Lagipula, bukankah ini sudah terlalu larut untuk jalan-jalan di luar? Aku bahkan belum mengerjakan tugas rumahku. Jika besok aku sampai kena hukum, aku tinggal menyalahkannya saja.

Bagaimana aku menyebutnya? Dia adalah favoritku selain samchon. Lupakan tentang tugas rumah tadi. Toh aku tidak benar-benar peduli. Bisa keluar seperti ini dengannya terasa sangat luar biasa.

"Apa tidak masalah kita keluar berdua seperti ini?" tanyaku ketika aku telah berhasil menyamai langkahnya.

"Tenang saja, aku tidak akan mengatakan ini pada Heojangnim," katanya sambil menggandeng pundakku. "Kau mau kubelikan parfait coklat?"

Aku mengangguk seperti bocah kelaparan. Siapa yang akan menolak parfait coklat meski malam ini lumayan dingin? Dan ia tidak akan mengadu pada harabeoji. Aku bisa percaya itu.

"Jangan salah paham, aku bukannya ingin menyogokmu. Aku hanya ingin membelikanmu saja," lanjutnya.

Yah, apa saja boleh karena keluar dengannya sangat menyenangkan. Kami bersenang-senang hari itu. Selain memenuhi janjinya tentang parfait coklat, kami juga bermain di pusat permainan. Ia juga membuatku tertawa hingga sakit perut. Aku bahkan tidak curiga sedikitpun dengan sikapnya yang mengajakku keluar seperti ini lalu menuruti segala keinginanku. Aku tidak pernah menduga bahwa itu adalah hari terakhir aku bertemu dengannya.

Aku melewatinya begitu saja tanpa meladeni apa yang ia bicarakan. Aku telah membayar belanjaanku, dan kini saatnya untuk pergi. Tapi Ia malah menahanku.

"Tunggu! Kau masih marah padaku?" ia menahan tanganku ketika aku melewatinya.

Aku berbalik dan menatapnya sinis. Aku tidak lagi yakin apakah masih bisa menahan diri dalam situasi seperti ini. Semakin lama, kemarahanku terhadapnya semakin memuncak. "Menurutmu?"

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang