Jeonju, musim dingin 2006.
Aku bangun pagi-pagi sekali hari itu. Sebenarnya aku nyaris tidak bisa tidur. Mengetahui Tae Yeon berada di tempat yang sama denganku, dan kami hanya berdua saja. Meski Tae Yeon berada di dalam kamar dan aku di luar, tetap saja aku terus saja memikirkan sesuatu yang erotis terjadi. Bukan karena aku mulai menjadi mesum seperti Tae Yeon, melainkan karena aku merasa takut. Ya aku takut padanya. Bagaimana jika dia menyerangku saat aku sedang tertidur? Atau aku tidur terlalu nyenyak dan tidak sadar Tae Yeon sudah melakukan sesuatu padaku. Aku mungkin berpikiran picik tentangnya. Tapi siapa tahu. Ia penuh dengan kejutan.
Seperti kemarin. Setelah menempuh perjalanan panjang menuju Jeonju, ia membuatku benar-benar terkejut. Dan aku telah memikirkannya semalaman. Aku menyukai Tae Yeon. Itu bahkan tidak berubah hingga detik ini. Aku bisa menerimanya dalam keadaan apapun. Apapun kecuali satu hal. Kepalanya yang hanya berisi hal-hal kotor. Ia tidak bertindak sesuai dengan usianya. Kami hanya murid SMA. Belum saatnya memikirkan hal-hal dewasa seperti itu saat kami belum cukup umur. Aku tahu ini terdengar kolot untuk orang yang datang dari Los Angeles. Beberapa teman sekelasku dulu bahkan sudah melakukan hubungan seperti itu. Yeah, sebenarnya itu bukan masalah besar karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Maksudku.. Kasus Tae Yeon sedikit berbeda. Semakin lama, secara perlahan-lahan aku merasa ia mulai berubah menjadi semacam orang cabul. Aku bukannya menolak sesuatu yang intim. Aku hanya tidak siap dengan hubungan yang begitu intens.
Dan yang paling penting adalah aku harus menepati janjiku pada dad. Aku harus bisa menghargai kepercayaan yang telah dad berikan padaku bahwa aku bisa menjaga diriku saat berada di rumah orangtua Tae Yeon. Sekali lagi, aku bukannya menolak sesuatu yang intim. Hanya tidak sekarang. Mungkin nanti setelah kami kembali ke Seoul.
Ngomong-ngomong, aku belum berubah pikiran tentang akan mengatakan pada Tae Yeon untuk mengakhiri hubungan kami. Aku tidak sungguh-sungguh ingin berpisah darinya. Aku hanya menggertak karena telah kehabisan cara menghadapinya. Mungkin karena takut akan berpisah dariku, ia akan sedikit berubah. Aku cukup percaya diri bahwa Tae Yeon benar-benar menyukaiku dan takut kehilanganku.
Dengan sedikit mengendap-endap, aku keluar dari paviliun Tae Yeon. Lampu kamar Tae Yeon masih padam menandakan ia belum bangun. Sebelum mengatakan ingin berpisah, aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku serius. Ku rasa menghindarinya seperti ini akan menunjukkan keseriusanku itu.
Pukul enam pagi dan di luar sini masih gelap. Matahari belum benar-benar terbit sepenuhnya. Sebenarnya apa yang aku rencanakan? Apa yang aku lakukan di luar sini sementara suhunya begitu dingin? Ah.. Sebaiknya aku menyiapkan sarapan saja sebagai ganti telah dibiarkan menghabiskan liburan disini. Ku rasa itu tidak termasuk tindakan yang kurang sopan. Aku hanya ingin mengekspresikan rasa terima kasihku pada keluarga ini.
Nyonya Kim sudah berada di bangunan utama saat aku tiba. Aku terlambat. Ia sedang memasak sesuatu.
"Fany-a, selamat tahun baru." Sapanya pertama kali melihatku di tahun baru ini. "Kau bagun cepat sekali. Apa tidurmu nyenyak? Kau terlihat tidak baik."
"Aku tidak bisa tidur karena suara kembang api." Ujarku berbohong. Memang tadi malam aku mendengar beberapa suara ledakan dari kejauhan. Hanya suara kecil dan aku tidak yakin apa itu kembang api atau bukan.
"Aku tidak tahu jika ada kembang api. Sepertinya aku tidur terlalu nyenyak." Wanita itu kemudian berjalan mendekatiku. "Apa kau ingin minuman hangat? Susu? Coklat?"
"Tidak usah, Eomonim." Tolakku secara halus. "Ngomong-ngomong.. Apa ada yang bisa aku bantu disini?"
"Sayangnya tidak." Nyonya Kim memberikan senyuman khasnya padaku. Aku rasa Tae Yeon lebih mirip dengannya dibanding Tuan Kim. "Aku hanya sedang merebus daging untuk tteokguk. Tinggal menunggu mereka matang."