Yeppeuni

594 85 10
                                    

"Tidak," Jika itu hanya akan menyakiti diriku sendiri, untuk apa aku menanyakannya. Aku menyesalinya. Lebih baik aku tidak tahu apapun.

"Yu Ri-ah!" Jessica beringsut mendekatiku kemudian mengangkat wajahku agar kembali menatapnya. "Aku benar-benar minta maaf. Tapi, jika seperti ini, kau hanya akan salah paham lagi terhadapku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kau membenciku."

"Aku tidak membencimu," ujarku untuk membuatnya merasa lebih baik. Dan itu adalah kebenaran. Aku tidak akan pernah mampu untuk membencinya. Sebaliknya, aku hanya akan menyakiti diriku sendiri.

"Lalu, tidakkah kau penasaran mengapa aku tidak bisa bercerai darinya?" tanyanya kemudian. "Meski itu bukanlah pertanyaan yang ku tunggu darimu, tapi ku rasa penting bagimu untuk mengetahuinya. Karena sejak awal aku belum mengatakan apa-apa padamu. Tentang Kris, dan pernikahan macam apa yang kami jalani."

Itu adalah hal yang paling tidak ingin ku ketahui. Untuk apa aku mengetahui pernikahan macam apa yang mereka jalani? Hubungan seperti apa yang mereka lakukan hingga mereka akan memiliki anak sebentar lagi, aku benar-benar tidak ingin mendengarnya. Aku berusaha keras untuk tidak memikirkan itu. Aku ingin bersikap seolah aku lupa ingatan. Karena aku tidak ingin membayangkan pria itu juga mencium wanitaku, menyentuhnya, tidur dengannya. Aku lebih memilih menjadi bodoh dan menganggap hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi. Demi kebaikanku sendiri.

"Mengapa kau begitu tega padaku?" Akhirnya aku tidak tahan lagi. Aku mungkin bisa menahannya sendiri. Tapi jika ia terus bersikap begini, memaksaku untuk mengungkitnya, apa yang bisa ku lakukan selain berpikir yang tidak-tidak? Tentang ia yang akan meninggalkanku dan kembali pada pria itu. Tentang kata-kata cintanya yang ternyata hanya ucapan kosong belaka.

"Mwo?"

"Aku tidak bertanya karena aku tidak ingin mendengarnya," Aku melanjutkan untuk memperjelas maksudku karena ia sepertinya pura-pura tidak mengerti. "Mengapa kau bersikeras agar aku mengetahui sesuatu yang akan membuatku sakit hati? Aku tidak ingin menyalahkanmu. Aku tidak ingin membencimu. Aku tidak ingin tahu. Aku tidak ingin apa-apa lagi selain bersamamu. Bisakah?"

"Sepertinya kau telah salah paham padaku," Ia justru yang terlihat kecewa padahal ekspresi seperti itu harusnya adalah milikku. "Karena kau tidak mempercayaiku."

Apa gunanya aku percaya padanya? Haruskah aku menjadi orang bodoh yang mempercayainya sehingga berharap banyak padanya? Kemudian saat ia meninggalkanku nanti, aku akan menjadi gila atau membunuh diriku sendiri. Tidak bolehkah aku memiliki pertahanan diri? Agar kelak aku tidak akan terlalu tersakiti. Karena itu aku tidak ingin berharap banyak. Karena itu aku ingin membangun batas agar aku tahu dimana posisiku. Sebagai selingan, bukan yang utama.

"Lagipula itu hal yang wajar," lanjutnya. "Salahku karena tidak memberitahukan padamu sejak awal. Salahku hingga membuat situasi menjadi sekacau ini. Karena ku pikir kau akan mengerti."

Lalu apa aku berani mendengarnya? Tidak! Aku tidak sekuat itu.

"Tapi aku tetap harus mengatakannya padamu," Ia bersikeras. "Agar kau bisa percaya padaku."

"Apa yang ingin kau katakan?" Sebuah kebohongan untuk menghiburku, atau kejujuran yang akan menyakitiku. "Bukankah akan sama saja?"

"Aniya," Ia menggeleng lalu meraih tanganku dan menggenggamnya. "Kau tahu, pernikahanku berawal dari perjodohan. Dan itu tidak berubah sampai saat ini. Aku hanya mencintaimu. Bukan Kris."

Itu adalah kebohongan untuk menghiburku. Aku bisa memilahnya dengan baik.

"Kami membuat semacam kesepakatan sebelum pernikahan. Kesepakatan yang akan menguntungkan kedua belah pihak," ujarnya lagi. "Sebenarnya, Kris itu gay. Dia sudah memiliki kekasih sebelum kami menikah. Katanya ia pernah mengenalkan kekasihnya padamu."

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang