(Replay 2004) The Last Message

286 44 4
                                    

Seoul, musim panas 2006.

Akhir pekan di musim panas, aku masih harus beristirahat karena kakiku belum sembuh benar. Gipsnya bahkan belum dilepas. Tidak berakhir sampai disitu, dad akan pergi ke Busan untuk urusan pekerjaan hingga hari senin. Yang tinggal hanya Harry.

Aku tidak mau menghabiskan akhir pekanku berdua dengan Harry karena dia tidak lucu. Hanya bisa makan dan menggeram saja. Karena itu, malam sebelumnya, aku bertanya pada dad apa aku boleh mengundang Tae Yeon untuk menemaniku.

Sebenarnya, sejak kecelakaan yang menimpaku, dad selalu berubah sinis tiap kali aku membahas tentang Tae Yeon. Bisa dimaklumi, karena aku seperti ini akibat mengejar Tae Yeon. Dad menyalahkan Tae Yeon yang bukannya menjagaku dengan baik, tapi malah membuatku celaka. Walaupun Tae Yeon yang membawaku ke rumah sakit, dad tetap marah-marah padanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa takjub dengan dad. Dad yang sama sepertiku, lahir dan besar di Amerika, tidak begitu lancar dengan bahasa Korea. Tapi, saat memarahi Tae Yeon ia mampu mengomel dengan lancar dan cepat seperti seorang ahjumma cerewet. Jika aku ingat ekspresi Tae Yeon saat ia dimarahi, ia terdiam dengan wajah pucat pasi. Ia pasti sangat ketakutan.

Dan, sejak saat itu hubunganku dan Tae Yeon perlahan-lahan membaik. Aku tidak ingat dimulai sejak kapan. Ia membuatkan salinan catatan untukku saat aku belum bisa pergi ke sekolah, lalu ia menjelaskan ulang pelajaran hari itu sepulangnya ia dari sekolah. Lama-kelamaan, aku tidak lagi merasa marah padanya. Hanya berjalan seperti itu.

Aku memang telah berbaikan dengan Tae Yeon, namun dad masih saja merasa marah padanya. Ia kehilangan kepercayaan pada Tae Yeon, juga selalu berburuk sangka padanya. Itu semua karena Tae Yeon adalah penyebab aku, putri kesayangannya harus memakai gips selama beberapa minggu. Jadi, aku tidak berharap dad akan mengizinkan Tae Yeon menemaniku. Awalnya aku hanya iseng-iseng berhadiah menanyakannya. Aku sudah menyusun rencana lain. Aku akan meminta Jessica datang, atau mungkin Sunny juga. Karena hanya mereka berdua yang tidak memiliki acara akhir pekan ini.

Diluar dugaan, ternyata dad memperbolehkan Tae Yeon. Bukankah ini lebih baik?

Tae Yeon datang sebelum dad berangkat bekerja pagi itu. Ia memang memberi izin, tapi masih saja bersikap dingin pada Tae Yeon. Dad yang membukakan pintu untuknya sementara aku masih duduk di ruang makan, belum menyelesaikan sarapanku. Aku masih belum bisa bergerak dengan leluasa, karena itu dad yang menyambutnya.

"Ah.. Kau datang tepat waktu." Sapa dad setelah membiarkannya masuk.

"Annyeonghaseo.." Tae Yeon membungkuk memberi salam lalu memberikan sebuah bungkusan yang ia bawa pada dad. "Ini, aku membawakan sesuatu untuk cemilan di jalan."

Aku tersenyum kecil saat Tae Yeon mencuri pandang ke arahku. Jadi ia menggunakan cara lain agar dad bisa menerimanya kembali seperti dulu. Dengan sogokan.

"Apa ini?" Dad memeriksa isi bungkusan itu. Ada sebuah kotak di dalamnya.

Suara dan nada bicara dad yang terdengar tegas sekaligus dingin membuat Tae Yeon memasang posisi siap. Ia bahkan nyaris memberi hormat namun berakhir dengan menggaruk dahinya dengan canggung. "Err.. Itu martabak."

"Hmm.. Durian." Dad mengangguk setelah mencium aromanya. "Masuk! Ada yang ingin kukatakan padamu sebelum aku pergi."

Tae Yeon mengikutinya dengan kepala tertunduk.

"Dad! Sudahlah!" Aku menyelesaikan makanku lalu mengambil kruk yang kusandarkan di sebelah meja makan. "Apa dad tidak lelah memarahinya terus?"

"Siapa bilang aku akan memarahinya." Dad berhenti melangkah setibanya ia di ruang tamu. Ia duduk di sofa sambil memelototi Tae Yeon dengan matanya yang setajam elang. "Duduk!"

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang