Keep The Distance

565 86 21
                                        

Apa yang harus kulakukan kini? Tidak hanya dipecat. Aku juga mendapat reputasi buruk yang membuatku tidak bisa mengajar di tempat lain. Memangnya sekolah mana yang mau menerima seorang guru sepertiku? Perebut istri orang.

Aku tidak memikirkan ini dengan bijak sebelumnya. Saat aku mengenalkan Jessica pada murid-muriku. Tentu saja aku tahu darimana semua kabar itu berasal. Aku menyesalinya. Harusnya aku merahasiakan tentang hubunganku. Karena ini bukanlah sesuatu yang terhormat.

Lalu bagaimana denganku? Ini bukanlah kerja keras yang hanya kulakukan satu atau dua hari. Aku telah mengorbankan banyak hal agar bisa menjadi guru. Aku meninggalkan keluargaku. Aku berusaha sendiri dengan menentang kedua orangtuaku karena ingin menggapai impianku sendiri. Jatuh berkali-kali, aku telah mengalaminya. Gagal dalam ujian, belajar lebih keras lagi dan malah gagal kembali. Aku tidak pernah menyerah. Aku terus bangkit hingga akhirnya aku bisa mencapainya.

Dan kini semuanya hancur. Mendapatkan posisi guru di sekolah lain saja sudah sangat sulit. Itu menjadi tidak mungkin saat aku adalah seorang guru sampah. Tidak bermoral, tak beretika. Saat tugas utama dari seorang guru adalah mendidik anak-anak, lalu siapa yang ingin anak mereka diajari oleh guru sepertiku?

"Kau pulang cepat?" Bahkan Jessica yang tak banyak bicara menatapku heran saat aku memasuki pintu itu. Wajar ia merasa heran. Sepagi ini aku sudah kembali ke rumah. "Jangan katakan bahwa kau ingin memeriksa keadaanku!"

"Tidak, aku tidak akan mengatakan itu," jawabku lemah.

Aku berlalu melewatinya yang berdiri di depan pintu menyambut kedatanganku yang tak biasa. Aku merasa sangat lelah hingga sekujur tubuhku terasa layu lunglai. Setelah melepas dan melemparkan mantelku begitu saja ke sembarang arah, aku membaringkan tubuhku di atas lantai tatami. Aku hanya ingin beristirahat. Hari yang baru dimulai ini terasa sangat melelahkan.

"Terjadi sesuatu?" Ia bertanya lagi dengan nada menyelidik. Aku mendengar langkah kakinya yang mendekat dan kemudian aku merasakan ia duduk di sampingku.

"Eoh," Aku hanya memejamkan mata. Tak ingin repot-repot membukanya hanya untuk memastikan ia duduk di sampingku atau melihat apa yang sedang ia lakukan. Mungkin ia hanya melamun. Atau menatap kosong ke arah jendela. Atau kembali membaca buku-buku yang sama sekali tak menarik baginya. Aku tidak lagi benar-benar peduli. Saat ini, aku hanya ingin memejamkan mataku dan tidur dengan tenang.

Seandainya tidur adalah jalan keluar terbaik bagiku saat ini. Ah! Mendadak kepalaku berdenyut parah. Segala macam pikiran ini tak mau pergi. Mereka tak membiarkanku beristirahat.

"Yu Ri-ah!" Aku merasakan sentuhan Jessica di bahuku. "Kau baik-baik saja?"

Aku membuka mata lalu menggeleng. "Tidak, aku tidak baik-baik saja."

Keadaanku yang sekarang jauh dari baik-baik saja. Jika ia mengetahui apa yang terjadi, jika ia tahu apa yang membuatku seperti ini, ia mungkin berpikir bahwa aku adalah gadis lemah tak berguna. Aku hanya kehilangan pekerjaan. Dan aku tumbang seolah aku telah kehilangan hidupku.

Tidak. Tak seorangpun yang akan mengerti. Itu bukan sekadar pekerjaan bagiku. Itu adalah hidupku. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan.

Baiklah, aku ingin mengakuinya. Aku tidak ingin menjadi munafik selamanya. Aku berakhir mengajar di sekolah itu bukan karena aku adalah guru yang hebat, melainkan karena aku tidak cukup percaya diri melakukan hal lain. Aku tidak percaya diri menjalankan rencana masa depan yang dibuat oleh keluargaku.

Aku melarikan diri dari itu semua. Aku keluar dari rumah itu bukan karena aku berjiwa bebas dan tak ingin diatur. Aku meninggalkan keluargaku bukan karena ingin menggapai impianku sendiri. Tentang impian, itu adalah omong kosong belaka. Aku tidak pernah memilikinya. Aku hanya mencari-cari alasan. Aku hanya tidak ingin terlihat seperti pecundang. Aku tidak ingin orang-orang melihat betapa bodoh dan lambannya diriku.

Ya, aku takut. Aku takut kuliah di Ivy League karena aku akan menjadi yang paling bodoh disana. Aku takut menjalankan perusahaan milik keluarga Kwon karena aku tahu aku tidak mampu melakukan apapun selain menghancurkannya. Aku tidak memiliki kepercayaan diri menjalankan rencana kedua orangtuaku. Rencana yang begitu sempurna untuk seseorang yang banyak memiliki kekurangan sepertiku.

Dengan meyakinkan diriku bahwa aku memiliki sebuah impian untuk dikejar. Dengan meyakinkan diriku bahwa aku bekerja keras untuk mencapai sesuatu dalam hidupku. Dengan meyakinkan diriku bahwa eomma dan appa, juga harabeoji tidak mengerti tentang keinginanku. Dengan meyakinkan diriku bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa bantuan mereka. Aku lari dari kenyataan. Bahwa aku sebenarnya tidak mampu. Aku menyembunyikan ketidak mampuanku.

Tak ada yang tak mengeri tentang apa yang sebenarnya aku inginkan sementara aku tak memilikinya. Aku hanya memilih hal yang paling mudah dari segala pilihan yang kumiliki. Aku hanya seorang bocah yang berlarian kesana-kemari dengan segala omong kosongnya.

Aku hanya pecundang.

Dan kini aku adalah pecundang sampah perebut istri orang.

Aku tidak tahu apa yang ku inginkan. Aku tidak memiliki impian. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan santai, dengan segala pilihan-pilihan termudah. Aku ingin menyembunyikan betapa tak bergunanya aku.

"Ku rasa," Aku menelan ludah dengan rasa getir di kerongkonganku. "Aku hanya merindukan rumah."

Jessica menatapku sebagai sebuah cangkang kosong. Tanpa emosi. "Aku juga."

***

Setelah menelepon eomma, aku membereskan beberapa pakaianku ke dalam sebuah tas kecil. Rencananya aku akan menginap di rumah orangtuaku selama beberapa hari. Atau lebih lama lagi. Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin aku akan kembali. Maksudku benar-benar kembali ke rumah itu. Tempat dimana aku tumbuh. Tempat kedua orangtuaku tinggal.

Itu benar. Aku menyerah atas kebebasan omong kosong ini. Aku menyerah atas bualan bahwa aku mampu padahal kenyataannya tidak. Aku tidak peduli lagi pada harga diriku. Jika itu masih tersisa, aku akan menukarnya dengan permohonan maaf pada eomma karena telah meninggalkannya.

Mungkin posisiku di keluarga itu tidak sepenuhnya sebagai seorang anak. Mungkin aku lebih semacam alat bagi mereka. Lalu siapa yang peduli kini? Apakah mereka hanya memanfaatkanku atau tidak, apakah mereka hanya bertujuan menjadikanku pewaris, atau apakah pendapatku mungkin tak akan pernah didengar. Aku tak lagi peduli. Mereka boleh menjadikanku sebuah alat. Namun aku bukanlah alat yang benar-benar berguna bukan?

Sementara aku dalam perjalanan kembali ke rumah, Jessica mungkin telah tiba di rumahnya. Bukan rumah Kris, melainkan rumah orangtuanya. Sepertiku, ia juga merasa lelah. Ia merindukan kedua orangtuanya.

Ia lelah harus bekerja keras. Ia lelah harus tinggal di petak sempit itu. Ia lelah melihatku. Orang yang tidak bisa menjaganya dengan benar hingga ia harus kehilangan bayinya. Aku masih menganggap itu adalah kesalahanku. Karena itu memang kesalahanku.

"Apa yang kau pikirkan sayang?" Eomma mengusap rambutku perlahan sambil bertanya dengan nada lembut keibuannya.

Aku duduk tepat di sebelahnya. Menatap keluar jendela mobil, bertanya-tanya apa yang sedang Jessica lakukan saat ini. Apakah ia sudah mulai merindukanku? Seperti aku yang merindukannya kini?

Ini mungkin jalan terbaik yang bisa kami ambil untuk saat ini. Aku tidak bisa mempertahankan Jessica dan memaksanya untuk tetap bersamaku sementara aku tak bisa melakukan apapun untuk menghiburnya. Ia kehilangan bayinya. Sedangkan aku hanya kehilangan pekerjaan. Namun aku merasa jauh lebih lemah darinya. Aku tidak bisa membuatnya tersenyum sementara suasana hatiku begitu buruk. Tapi aku juga tidak sanggup terus-menerus melihatnya terjebak dalam kemurungan tanpa akhir.

"Eomma," Aku menoleh untuk menatap wanita itu. Ia telah meluangkan waktunya yang tak banyak untuk menjemputku dan membawaku kembali ke rumah. Ia juga sangat senang ketika aku mengatakan ingin pulang. Tapi bersama dengan eomma yang kurindukan bahkan tidak membuatku merasa lebih baik.

Padahal aku tidak kehilangan sesuatu yang besar. Konyol rasanya aku merasa sedepresi ini padahal aku hanya kehilangan pekerjaan.

"Terima kasih sudah menerimaku kembali," Suaraku bergetar seiring dengan perasaan tak berguna yang semakin menjadi-jadi.

"Tentu saja sayang," Ia menarikku kepelukannya.

Kini aku yakin. Ini adalah jalan terbaik yang bisa kupilih.

-TBC-

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang