Jessica bangun beberapa jam kemudian. Aku masih berada disana. Tidak melepasnya barang sedetikpun. Ia menatapku, dan sepertinya ia bisa menebak apa yang telah terjadi. Ia bisa merasakannya.
"Yu Ri-ah!" Ia menelan dengan kesakitan dan matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tidak sanggup menghadapi ini. Tak bisa ku bayangkan bagaimana kehancuran yang ia hadapi setelah mendengarnya langsung. Ia yang kehilangan, namun aku yang begitu ketakutan.
"Eoh!" Aku mengeratkan genggamanku pada tangannya. "Aku disini."
Ini adalah pertama kalinya aku melihat ia seperti ini. Dan aku benci itu. Melihatnya hancur. Melihatnya kehilangan. Melihatnya benar-benar terpukul. Jika aku bisa memutar waktu, aku akan menjaganya dengan baik dan memastikan ia dan bayinya baik-baik saja. Ini salahku. Aku yang tidak cukup mampu menjaganya. Karena itu harusnya aku tidak pantas bersamanya. Aku tidak pantas memilikinya.
Padahal sebelumnya kami baik-baik saja. Mulai menyusun rencana masa depan bersama. Memikirkan nama untuk si kecil yang ternyata tak mendapat kesempatan melihat dunia. Ia bahkan sudah mempersiapkan diri menjadi seorang ibu agar dirinya memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Dan semua malah berakhir seperti ini.
"Apa ...," Ia menyentuh perutnya karena telah memiliki firasat tentang apa yang telah terjadi dan belum diberitahukan padanya. Jika boleh, aku tidak ingin menjadi orang yang menyampaikan berita buruk. Jika boleh, aku tidak ingin melihat kesedihannya. "Apa aku kehilangannya?"
Aku mengangguk sambil mengusap rambutnya. Ia mencoba dengan keras untuk tidak menangis, namun malah aku yang lebih dulu berurai air mata. "Maafkan aku, Sica-ah!"
Ia menarikku lalu membenamkan wajahnya di bahuku. Ia mencengkeram kedua lenganku sambil berusaha keras agar tidak lepas kendali. Aku telah membuat Jessica Jung seperti ini. Aku menghancurkannya.
"Ku mohon jangan marahi aku," Ia mencoba terdengar tegar namun suaranya tetap saja tercekat. "Aku tidak melakukannya dengan sengaja."
Aku mengusap rambutnya sambil menggigit bibirku. Ini bahkan terasa lebih buruk lagi. Saat ia menyalahkan dirinya sendiri, bukan menyalahkanku. Atas kehilangan yang ia derita akibat kesalahanku, ia justru menyalahkan dirinya.
"Padahal aku tahu aku melakukannya diluar batasanku. Aku tahu aku tidak bisa, namun terus memaksakan diri," Ia meracau cepat tak dapat lagi membendungnya. "Padahal kau sudah melarangku, tapi aku tetap saja keras kepala. Tapi aku tetap bersikeras untuk harga diriku. Aku tidak mau menjadi seorang ibu yang tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa menjadi seorang ibu yang tidak berguna. Dan .. Dan karena keegoisanku itu, aku malah kehilangannya. Aku tidak bisa lagi menjadi seorang ibu. Aku ..."
"Ssh..!" Aku menepuk-nepuk punggungnya untuk membuatnya tenang. Tidak. Aku tidak akan mampu menenangkannya. Aku tidak bisa mengatakan apapun untuk membuatnya merasa lebih baik. Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang akan membuatnya tidak merasa bersalah, kehilangan, dan sedih.
"Aku benar-benar tidak melakukannya dengan sengaja," Ia terus terisak sambil mencengkeram bajuku lebih erat. "Aku tidak ingin kehilangannya. Apa yang harus aku lakukan agar tidak kehilangannya?"
Aku tidak tahu. Aku tidak bisa menjawab. Kenyataannya, ia telah kehilangan bayinya. Itu sangatlah berat baginya. Mungkin dulu ia ingin menyingkirkan bayi itu, tapi aku percaya padanya. Aku bisa melihat betapa ia menyayangi anak itu. Anak yang tidak sempat ia lahirkan. Terkadang ia berbicara padanya. Terkadang, ia tersenyum sambil mengelus perutnya. Dan mengingat itu kini, membuat dadaku terasa sesak. Aku juga memiliki pertanyaan yang sama. Apa yang harus ku lakukan agar ia tidak perlu kehilangan?
"Aku membunuhnya, Yu Ri-ah! Aku membunuh anakku sendiri!" Ia menjadi semakin histeris. Aku harus merangkulnya dengan erat. Bukan untuk menenangkannya, tapi untuk menenangkan diriku sendiri. Bukankah ini tindakan pengecut? Disaat ia paling membutuhkanku, aku justru bersembunyi di balik punggungnya untuk kepentinganku sendiri. Agar aku merasa lebih baik. Agar aku tidak terlalu merasa bersalah.