(Replay 2004) Dillema

248 49 3
                                        

Tae Yeon tiba-tiba saja masuk ke ruang kerjaku. Apa yang ia lakukan disini? Bukankah ia sedang kerja lembur? Ia bahkan tidak melepaskan jas dokternya.

"Apa maksudnya ini?" Ia mengangkat selembar kertas. Surat yang ku tulis untuknya. Nafasnya tampak berpacu dan keringatnya sangat banyak untuk udara sedingin ini. Ia tidak berlari kemari kan? "Mengapa kau meninggalkan lelucon tidak lucu seperti ini?"

Aku membereskan gambar-gambar yang sedang ku kerjakan. Sebenarnya itu bukanlah benar-benar gambar. Aku hanya mencoba mendesain sebuah rancangan baru sebagai pengalihan perhatian. Namun aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa fokus. Ini bukanlah sesuatu yang bisa ku alihkan hanya dengan sekedar bekerja. Ini juga bukanlah sesuatu yang bisa ku tanggung sendiri.

Tadinya ku pikir aku cukup kuat. Aku bisa mengorbankan perasaanku yang tidak begitu berharga demi orang yang sangat berharga bagiku. Namun setelah memikirkannya lagi, saat terbayang akan bagaimana wajah Tae Yeon yang mengetahui aku meninggalkannya. Dia akan sangat kecewa. Seperti saat ini.

"Itu bukan lelucon, Tae Yeon-ah." Hanya dengan memandang wajahnya, aku bisa merasakan kehancuran di hatinya. Ia mungkin berharap ini adalah lelucon seperti yang ia sebutkan tadi. Karena itu ia datang jauh-jauh kemari. "Aku tidak bisa bersama denganmu lagi."

"Wae? Kau setuju untuk menikah denganku. Mengapa tiba-tiba? Mengapa kau berubah pikiran?" Ada nada getir dalam suaranya. Inilah yang aku takutkan. Aku takut mengucapkan perpisahan secara langsung dengannya karena aku tidak akan sanggup. Aku mungkin berubah pikiran lagi.

Aku berdiri dari tempatku lalu datang menghampirinya. Terlihat ada noda darah di ujung sepatunya. Ia juga beraroma cairan antiseptik. Ah! Aku tidak memikirkan ini sebelumnya. Ia pasti lebih panik lagi jika aku hanya meninggalkan surat. Ia mungkin berpikir aku telah menghilang lagi tanpa jejak dan hanya berlari kemari untuk menemukanku.

Aku menarik nafas dalam sebelum memulai kalimatku. "Tadi aku bertemu dengan ibumu. Ia tahu hubungan kita, dan ia tidak suka. Lalu ia memintaku untuk menjauh darimu."

Sudah ku katakan pada Nyonya Kim bahwa aku akan menyalahkannya saja. Pada akhirnya aku memang menyalahkannya karena ia lah yang memulai ini. Ia yang memintaku menjauhi putrinya.

"Hanya karena itu?" Ia masih kesulitan mengatur nafasnya. Ia menatapku dengan kekecewaan yang sangat besar. "Eomma memintamu menjauhiku, dan kau setuju? Begitu saja?"

"Eoh.." Aku berusaha tampak tegar. Aku menahan diri untuk tidak memeluknya karena ia sepertinya akan hancur.

"Aku bisa meyakinkannya. Itu bukan masalah besar sekarang?"

"Bagaimana caranya? Kau bahkan tidak bisa meyakinkan ibumu setelah sepuluh tahun. Mengapa kau begitu yakin sekarang akan berbeda?" Ini mungkin terdengar sedikit jahat. Akulah orang yang memutuskan untuk meninggalkannya. Aku tidak pantas bicara seperti itu terhadapnya.

"Karena aku tidak pernah mencoba." Ujarnya lemah. Seolah telah kehilangan seluruh energinya. "Aku tidak pernah mencoba meyakinkannya saat kau tidak ada. Aku tidak bisa membuatnya menerimamu sementara kau adalah orang yang meninggalkanku. Aku tidak bisa mempertahankanmu di depannya karena kau tidak ada untukku pertahankan. Selama sepuluh tahun lamanya, aku tidak pernah bisa meyakinkannya karena kau tidak ada, Mi Young-ah!"

Itu juga benar. Tapi aku tidak bisa menyerah dengan kebenaran yang diungkapkannya. Aku meninggalkannya karena sebuah alasan konyol. Aku tidak pernah kembali padanya karena alasan konyol lainnya. Kekonyolan-kekonyolan itu aku tidak pernah menyadarinya hingga akhirnya aku bertemu lagi dengannya.

"Kau menyalahkanku karena akulah yang meninggalkanmu?" Aku meninggikan suaraku. Aku tahu ini bukan situasi dimana aku berada di posisi yang berhak untuk marah. Tapi jika aku tidak melakukannya, maka aku akan menyerah atas usahaku untuk melepaskannya.

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang