We are, The Stupid Two

868 81 6
                                    

Maret, 2005.

Tahun ajaran baru tiba. Tahun ini aku berada satu kelas lagi dengan Tae Yeon dan Seo Hyun. Juga Jessica. Untuk yang terakhir, bisa dikatakan bencana. Karena setuju menemaninya jalan-jalan saat libur terakhir kali, ia menganggap aku juga menyukainya. Maksudku.. Bukannya aku membencinya, tapi aku merasa ia telah melampaui batas. Saat di rumah, ia meneleponku tiap sebentar. Di sekolah, ia tidak pernah melepaskanku sedikitpun. Padahal aku tidak pernah mengatakan setuju untuk pacaran dengannya.

Jessica juga menjadi teman sebangkuku. Awalnya ku pikir kenapa tidak? Daripada harus duduk bersama orang asing. Tae Yeon sudah jelas adalah milik Tiffany. Gadis itu juga sekelas dengan kami. Sedangkan Seo Hyun ingin duduk di depan karena ingin fokus belajar. Aku tidak suka duduk di depan. Aku lebih memilih bagian paling belakang agar bisa tidur. Bukannya aku pemalas, aku hanya cepat bosan. Duduk di kelas selama berjam-jam bukanlah gayaku.

Ternyata, duduk dengan Jessica adalah pilihan yang sangat buruk. Aku tidak bisa mundur, dan aku juga tidak yakin bisa bertahan hingga akhir tahun ajaran. Ia sangat suka menyiksaku. Ia akan memukulku jika aku salah menanggapinya. Ia juga akan memukulku saat aku tidak menanggapinya. Walaupun pukulannya tidak benar-benar terasa menyakitkan, tetap saja dipukuli dan dilihat teman sekelas sangat memalukan.

Dan ia tidak pernah berhenti bicara. Ia selalu menanyakan segala hal dari yang penting hingga paling tidak penting. Seperti jam berapa aku bangun pagi ini, berapa lama aku menyikat gigi, atau mana yang lebih kusukai antara pasta gigi rasa mint atau strawberry. Demi Tuhan! Siapa yang masih menggunakan pasta gigi strawberry di usia seperti ini?

"Setelah kau selesai mandi, apa kau sudah bisa membuka matamu? Maksudku.. Biasanya kelopak mataku terasa lengket bahkan setelah aku selesai mandi. Bukan karena kotoran mata, tapi karena rasanya berat dan sulit sekali untuk dibuka. Kadang, kau akan menemukan dahiku merah atau memar. Itu pastinya bukan jerawat. Aku tidak sejorok itu. Beberapa kali aku terbentur saat ke kamar mandi. Dan pernah aku memakai sampo untuk wajahku. Aku baru sadar setelah mencium aromanya. Beruntung tidak tumbuh janggut atau semacamnya. Tapi aku sudah mensiasatinya agar kejadian itu tidak terulang lagi. Aku meletakkan peralatan mandiku berjauhan agar tidak salah ambil." Ia tidak lelah. Ia masih terlihat antusias.

Kami berada di kelas. Sem baru saja masuk dan sedang melakukan absen pagi. Jadi kami sengaja berbicara dengan sedikit berbisik agar tidak dimarahi. Seolah ini adalah pembicaraan penting yang tidak bisa ditunda.

"Bukankah lebih praktis jika kau membuka mata saat bangun?" Aku mengawasi seisi kelas mencari tempat kosong. Sepertinya semua sudah datang dan ada satu bangku kosong di sebelah Sunny. Jika aku pindah kesana, apa Jessica akan membunuhku?

"Aku juga ingin begitu. Tapi, seperti yang ku katakan tadi. Mereka benar-benar berat. Membuka mata dipagi hari bahkan lebih sulit daripada bangun. Kau tidak begitu?" Pertanyaannya ternyata belum habis. "Kalau begitu bagus sekali. Nanti, saat kita menikah kau bisa membangunkanku setiap pagi. Sebagai gantinya, aku yang akan menidurkanmu setiap malam. Omo! Omo!" Ia memegangi wajahnya lalu tersipu malu. "Mengapa aku sudah berpikir sejauh itu?"

"Siapa yang akan menikah denganmu!" Aku tidak setuju karena ia seenaknya saja mengambil keputusan padahal aku tidak pernah bilang aku mau menikah dengannya.

"Aku tidak akan menikah dengan siapapun selain Kwon Yu Ri." Ia membayangkan sesuatu lalu malu-malu lagi. "Kira-kira seperti apa anak kita nanti? Mirip denganmu? Atau mirip denganku? Aku lebih suka jika itu adalah perpaduan kita berdua."

"Bodoh!" Dengusku. Anak apanya. Dua orang yeoja mana bisa punya anak.

"Kau mengumpatiku?" Ia berhenti membayangkan yang tidak-tidak tentangku. Tentang menikah dan punya anak. Aku tidak pernah menemui orang yang lebih bodoh darinya.

That WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang