"Jangan selalu merasa sendiri, karena ada aku yang siap menemani hari-harimu."
Happy Reading!!
Revan lalu memeluk tubuh Zahra dengan erat sekali dari belakang, ia mencium aroma vannila cake milik Zahra yang menjadi kesukaannya sekarang.
"Jangan pergi," ucap Revan lirih.
Zahra yang merasakan bajunya sudah basah dan merasakan tubuh Revan gemetar begitu hebat demi menahan semua isakkan tangisannya. Zahra memutar tubuhnya ia menghadap ke arah Revan, ia juga membalas pelukkan Revan tak kalah erat.
"Kamu kenapa?" tanya Zahra khawatir.
"Bunda," lirihnya kembali.
"Maksud kamu, bunda kamu?" tanya Zahra menatap Revan.
"Hmm."
"Ada apa sama bunda dan ayah kamu?" tanya Zahra heran.
"Aku rindu bunda," ucap Revan lalu mengingat kejadian tadi pagi.
"Cerita sama aku Rev."
"Mereka ada disini."
"Kalo mereka ada disini. Terus kenapa kamu bisa sedih?" tanya Zahra kembali menatap Revan.
"Aku hanya kecewa dengan mereka," ucap Revan lalu meregangkan pelukannya lalu duduk di sofa.
"Sekecewanya kamu dengan mereka, mereka tetap orang tua kamu, Rev."
"Tapi sulit bagi aku untuk memaafkan kesalahan mereka."
"Kamu harus mencoba untuk menerima mereka kembali lagi di kehidupan kamu Rev."
"Sulit Ra sulit," lirihnya.
"Kamu harus cerita lebih detail ke aku ya Rev, biar aku paham apa permasalahan yang sebenarnya terjadi," ucap Zahra lalu diangguki oleh Revan.
Revan langsung saja menceritakan semuanya kepada Zahra dari awal permasalahan di keluarganya berasal.
"Dulu waktu aku berusia sepuluh tahun aku dan Devan, sudah sering ditinggalkan kedua orang tua aku karena mereka pergi terus keluar negeri. Aku yang masih kecil pun hanya bisa terdiam saja. Tapi seiring berjalannya waktu, lambat laun mereka malah sering meninggalkan kami dirumah berdua dan untungnya saja ada bi Inah yang menjadi penompang kami. Sampai dimana mereka memilih untuk tinggal di luar negeri dan pulang ke Indonesia hanya beberapa hari saja sehabis itu pergi kembali karena masalah perkerjaan. Aku mau marah Ra, tapi aku masih kecil dan aku lebih memilih untuk diam saja dalam keadaan itu, semua serasa mulai berubah Ra, rumah itu semakin hari semakin sepi saja seakan-akan tidak berpenghuni. Untungnya saja aku mempunyai sahabat kecil yang selalu ada untuk aku, akhirnya aku sering menginap dirumah mereka sampai dimana kami membuat rumah pohon hanya untuk menginap berlima," ucap Revan lalu menunduk.
"Dan ada kejadian yang paling membuat aku sakit, disaat kawan-kawan sekolah aku mendapatkan pelukkan kasih sayang dan selamat atas ucapan kebanggaan dari bibir kedua orang tuanya, sedangkan aku nggak sama sekali padahal aku mendapatkan nilai tertinggi di antara yang lain. Aku hanya bisa tersenyum pahit di atas panggung saat nama orang tua aku dipanggil lalu disuruh memasangkan medali emas dan menyerahkan piala tapi mereka nggak hadir sama sekali."
"Akhirnya kedua orang tua Rere yang mewakili orang tua aku, saat aku pulang kerumah seluruh kekecewaanku bertambah kepada mereka, aku menangis seharian sampai dimana aku bangkit dan menegarkan hatiku lewat merubah sikap aku kepada semua orang, tapi ada satu gadis yang tidak bisa membuat aku untuk merubah sikapku kepada dia tapi sekarang aku gak tau keberadaan dia ada dimana. Aku mulai tidak memperdulikan keadaan semua orang aku menutup semua jati diri aku yang sebenarnya agar terlihat baik-baik saja. Karena aku benci di kasihani oleh semua orang," ucap Revan dengan air mata yang sudah mengalir deras.
Zahra langsung saja memeluk tubuh Revan dengan erat mencoba memberikan kekuatan kepada Revan.
"Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dalam keadaan jiwa yang tersakiti, aku pergi tanpa memberitahu kedua orangtua aku karena aku memilih untuk tinggal di apartemen. Sedangkan Devan memilih untuk tinggal dirumah nenek kami di Bandung. Semenjak pergi dari rumah itu aku menjadi anak yang mandiri, aku memakai tabungan aku untuk menyewa apartemen ini."
"Setiap hari ayah memberi aku transferan uang yang jumlahnya nggak cukup sedikit tapi sampai sekarang aku nggak pernah sama sekali memakai uang itu, kalo masalah cafe pelangi itu memang ayah membuatnya dengan atas nama aku dan kebetulan dihari ulang tahun aku, mereka bilang ini kado untuk aku dan aku menerimanya karena menghargai mereka walaupun aku masih kecewa kepada mereka."
"Dan sekarang setelah enam tahun berlalu begitu saja mereka kembali lagi dikehidupan aku dengan mudahnya mereka meminta maaf Ra hiksss... Tanpa mereka sadari dulu mereka kemana aja saat aku membutuhkan mereka hiksss... Aku hancur karena mereka Ra."
Revan menangis kembali kali dalam diam tapi Zahra bisa merasakannya karena tubuh Revan yang gemetar begitu hebat kembali.
"Aku tau rasanya jadi kamu, kamu udah banyak kehilangan tentang kasih sayang dari mereka berdua tapi apa masalahnya kamu coba dulu buka hati kamu, aku percaya kok sebenarnya kamu juga rindu dengan mereka dan kamu sayang banget dengan mereka, Rev."
"Memang sulit untuk dijalaninya tapi apa salahnya dicoba dulu, nggak selamanya kamu mau tetap kayak begini terus walau gimanapun mereka tetap kedua orang tua kamu, memang enam tahun tanpa mereka sulit bagi kamu tapi kamu bisa menghadapinya dengan lapang dada Rev, jika kamu bisa mamaafkan mereka dengan seiring berjalannya waktu, kamu harus bisa yakini diri kamu sendiri mulai dari sekarang, kamu harus merubah sikap kamu untuk menjadi Revan enam tahun yang lalu," ucap Zahra mengusap punggung Revan dengan lembut.
"Lupakanlah semuanya secara perlahan walaupun itu sulit karena rasa sakit dan kekecewaannya lebih besar dari apapun, tapi kamu harus bisa Rev aku tau kamu pasti bisa."
"Saran aku maafkanlah kedua orang tua kamu hargai mereka yang mau berubah untuk kamu dan Devan. Bantu mereka untuk menjadi kedua orangtua yang kalian inginkan sejak dulu," ujar Zahra menghapus bekas air mata Revan yang masih berada di pipinya.
"Aku iri dengan Devan didalam rapuhnya ia masih aja bisa tersenyum dan tertawa bahagia sedangkan aku—"
"Ssssttt... kamu tau Rev seseorang itu bisa menutupi segala rasa sakitnya dengan cara yang berbeda-beda, ada yang dengan tertawa dan merubah sikapnya menjadi tertutup seperti kamu dan Devan ini."
"Makasih ya kamu udah mau dengarin keluh kesah aku," ujar Revan tersenyum kecil.
"Kapanpun itu aku siap kok menjadi pendengar semua keluh kesah kamu dengan baik," ucap Zahra tersenyum manis.
"Menangislah jika hanya menangis itu bisa menenangkan rasa sakit dihatimu, tidak semua menangis itu hanya untuk orang lemah saja," ucap Zahra menasehati Revan.
"Iya aku paham kok," ujar Revan mengangguk kecil.
"Oh iya ayo kita ke ruang tamu ikut gabung dengan mereka," ajak Zahra dan diangguki Revan.
Zahra dan Revan sudah ikut bergabung dengan yang lainnya di ruang tamu membuat suasana semakin seru.
Jam pun sudah menunjukkan pukul 19.00 hari sudah menjadi malam akhirnya mereka izin pamit kepada Revan dan mereka semua segera meninggalkan apartemen Revan menuju rumah mereka masing-masing.
BandarLampung, 13Maret2019
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANZA✔ (Tahap Revisi)
Teen Fiction"Maaf sudah berani mencintaimu." -Zahralia Annatasya Addison. "Yang ditakdirkan untukmu, akan tetap menjadi milikmu." - Revanza Mel Aldebran. Tentang dia yang teramat menyakitkan didalam hati. Tentang dia yang susah digapai untuk dimiliki. Tentang...