Faricha Lutfia Izza

1.2K 89 26
                                    

Mentari menyambut indahnya pagi di Hari Selasa, seorang gadis sudah tersenyum sumringah di balkon kamarnya. Dihirupnya udara pagi yang begitu menyejukkan sampai ke hati.

Gadis itu menatap jalanan desa yang terlihat sepi dari balkon kamarnya, Sang raja siang semakin meninggi, gadis itu masuk ke kamarnya dan memasukkan buku-bukunya ke tas berwarna abu-abu miliknya.

Lalu, kakinya melangkah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga untuk menuju lantai utama untuk berkumpul dengan keluarganya yang sudah berkumpul di ruang makan. "Pagi, Nda, Yah," sapa gadis tersebut pada orang tuanya.

"Pagi juga, Icha sayang," ucap Sang Bunda dan Ayahnya bersaman. Gadis ini bernama Faricha, Faricha Lutfia Izza. Nama yang diberikan ayahnya sejak ia lahir.

"Makan gih, kamu kan harus sekolah," ucap Bunda Faricha, Firda. Faricha mengangguk, dan menuruti kata-kata Sang bunda.

Suasana ruang makan terasa tenang, hanya ada suara dentuman sendok dan piring yang bertabrakan ringan.

Faricha segera keluar setelah makan dan menyalami orang tuanya. Baru sampai depan rumah, seorang pria berusia 3 tahun diatasnya berjalan ke arahnya. "Mau berangkat, Dek?" tanya kakak Faricha, Farikhin. Ia memang baru saja pulang dari rumah temannya karena semalam menginap. "Bukan, Bang. Mau bersihin air comberan," jawabnya ketus.

"Ya sudah lanjutin!" Faricha berdecak, "Bang ... uang saku tambahannya, dong!" ucap Faricha mengadahkan tangan kanannya.

"Memangnya belum dikasih Bunda atau Ayah?" tanya Farikhin sambil memainkan alisnya. "Kan aku bilangnya tambahan, Bang!" koreksinya memasang wajah memelas.

Farikhin memutar matanya jengah, "Dah, berangkat sono!" usirnya. "Kan belum dikasih, Bang." Farikhin merogoh sakunya, dan memberikan uang lima ribu pada Faricha.

"Ihh," ucap Faricha menatap uang lima ribu tersebut. "Ya sudah, tidak apa-apa deh, bisa buat beli es teh segelas," lanjutnya lalu menyalami tangan Farikhin.

Ia berjalan menuju ke sekolahnya dengan berjalan kaki, karena jarak rumah dengan tempatnya menuntut ilmu hanya berjarak 200 meter.

Kring ... kring!

Suara lonceng sepeda menyadarkannya, ia menatap ke kanan, dan menampilkan gadis berseragam sama seperti yang ia kenakan. Ia lihat seseorang tersebut tersenyum manis kepadanya. "Pagi, Faricha!" sapa gadis tersebut.

"Pagi juga, Dev."

Faricha melanjutkan jalannya, ia tak menghiraukan Deva yang mengikutinya dengan sepedanya. "Mau bonceng, Cha?" Faricha menggeleng tanpa menoleh kearah Deva.

Faricha melihat jam berwarna biru tua yang melingkar di tangan kanannya, setelah itu ia lari, ia sangat takut telat. Deva yang tertinggal pun melajukan gayuhan sepedanya untuk mengejar laju Faricha berlari.

Nafasnya begitu ngos-ngosan ketika sampai gerbang sekolahnya. "Faricha, kok pake acara lari-larian sih? Kan aku capek," ucap Deva yang turun dari sepedanya dan menuntunnya. Faricha menunjuk jam yang terpasang di pos satpam, Deva hanya mengangguk mengerti.

Faricha menalikan sepatunya yang terlepas di depan gerbang, setelah selesai, ia berjalan sambil menatap sepatunya yang masih kinclong. Dan ....

Brukk

Dia menabrak gerbang sekolah, kepalanya serasa nyeri, ia hanya menggosok-gosok jidatnya. "Lain kali hati-hati neng," ucap Pak Satpam. Faricha hanya mengangguk dan tersenyum, lalu berjalan menuju ke kelasnya, yaitu kelas 10 IPS 2.

***

Umpatan dari para pengemudi terlontarkan pada pengendara muda yang melajukan motornya dengan kesetanan, siapa yang tidak marah coba? Lelaki itu sampai hampir saja menyerempet nenek-nenek yang akan menyebrang.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang