Jatuh (2)

52 12 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma sholli'ala Sayyidina Muhammad wa'ala ali Sayyidina Muhammad.

Selamat membaca🤗

°°°

Sepasang kaki berjalan halus, bahkan Langkahnya nyaris tidak terdengar. Ia mengucapkan salam pelan, karena penghuni rumahnya—mungkin—sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing, dirinya malah baru menginjakkan kaki di rumah ini.

Ia meringis pelan, merasa sangat berdosa ketika melakukan hal ini. Ia meletakkan tasnya di lantai, menyender dengan sofa, lalu berjala meninggalkannya untuk menuju ke dapur.

Ia memeluk seorang wanita dari belakang, lalu menyadarkan kepalanya di punggung wanita itu.

"Bunda, maaf ...," rengek Faricha.

Firda tersentak, lalu ia tersenyum lega, akhirnya anak perempuannya pulang juga, meskipun matahari sudah tidak tampak lagi.

Ia menjeda kegiatan memotong bahan makanan, lalu melepaskan tangan putrinya lembut. Ia menatap Faricha yang menundukkan kepalanya, mengisyaratkan rasa bersalahnya.

"Maaf, Bunda," lirihnya.

Firda tersenyum, lalu menyentuh dagu anak perempuannya agar mendongak.

"Dek," panggil Firda halus. Faricha hanya diam, tidak tau ingin berbicara apa. Pulang setelah maghrib dan lupa mengabari orang rumah adalah kesalahan, dan ia menyesalinya.

Ia baru sadar saat setelah sholat maghrib di mushola yang berada tidak jauh dari warung bakso—tempatnya dan teman-temannya makan—tadi. Saat itu, Farikhin mengirimnya pesan, bahwa laki-laki itu menanyakannya, dan kapan ia pulang.

Namun, saat ia akan membalas, tiba-tiba ponsel pintarnya mati, dayanya habis karena batu baterainya memang sudah tua, bahkan hampir menggelembung, sehingga membuat daya ponsel pintarnya cepat habis. Jadilah ia meminta tolong pada Danish untuk memberi pesan pada kakaknya, bahwa dirinya bersama dengan teman-temannya yang lain.

"Kalau Bunda bilang, Bunda nggak khawatir, berarti Bunda lagi bohong. Jujur, Bunda sangat khawatir saat waktu sudah hampir gelap, tapi kamu belum pulang."

Faricha kembali menunduk, tidak berani menatap wanita yang melahirkannya itu.

"Maaf, Bunda," cicit Faricha lagi.

Firda menghela napas pelan, ia juga tidak tega melihat anaknya merasa bersalah seperti ini.

"Tapi Bunda lega, kamu pulang dengan kondisi utuh." Wanita itu membelai kepala putrinya

"Kamu Bunda maafkan," lanjutnya.

Faricha mendongak, melihat wajah yang sudah sedikit berkeriput pada kantong matanya itu dengan tatapan berbinar, seakan berkata, "Benarkah?"

Firda mengangguk. "Iya."

Wanita itu mengamati pakaian yang dikenakan putrinya, masih mengenakan seragam sekolah dan dipadukan dengan cardigan berwarna coklat susu, mungkin untuk menutupi badge sekolahnya, pikir Firda.

Wanita itu menutup hidungnya dengan jari telunjuk kanannya, bersikap seolah anak perempuannya itu mengeluarkan bau tidak sedap.

"Ehm, kamu belum mandi, mandi sana," pinta Firda seraya mengibas-ibaskan tangan kirinya, menyuruh Faricha untuk pergi.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang