Miss

51 9 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma sholli'ala Sayyidina Muhammad wa'ala ali Sayyidina Muhammad.

Selamat membaca🤗

°°°

Sudah lewat berbulan-bulan, tetapi siapa yang tau, kondisi seseorang yang kini terlelap di atas ranjangnya itu bukannya semakin membaik, malah terjadi sebaliknya. Faricha menghela napas pelan, melihat tubuh keriput sang nenek yang naik-turun.

Ia beranjak dari kursi yang berada di samping ranjang tersebut, lalu berjalan ke luar kamar untuk mengambil sesuatu untuk di makan. Faricha mengambil sekotak camilan yang berada di lemari dapur, lalu kembali membawanya ke kamar Mbah Putri untuk ia makan selagi menunggu wanita itu.

"Dek, jangan makan di kamar. Nanti kalau remah-remahnya dikerubungin semut. Di luar saja, sana." Faricha mendengkus pelan mendengar penuturan bundanya. Ia berjalan ke luar rumah seraya menatap halaman luas yang ditanami rumput jepang dan beberapa tanaman dalam pot.

Senyumnya tercetak kala melihat sosok bocah laki-laki yang berlari memasuki halaman rumah.

"Cha!" panggilnya. Faricha meletakkan cemilannya di meja, lalu berdiri di bawah tangga depan rumah. Ia berjongkok, menangkap Tirta.

"Cha, Ta yat cing, ana." (Cha, Tirta lihat kucing, di sana). Bocah laki-laki itu menunjuk ke arah rumahnya.

"Oh, ya? Ayo kita tangkap kucingnya!"

"Yo!"

Bocah laki-laki itu menarik-narik gamis yang Faricha kenakan. "Ndong!" Dia mengulurkan kedua tangannya ke arah Faricha, lantas gadis itu tersenyum dan membawa Tirta dalam gendongannya. Ia berlari kecil, membuat bocah laki-laki itu terkikik senang.

"Ayo, ayo, tangkap kucingnya!"

"Yo, cing!"

Faricha berhenti karena mendengar ucapan Tirta barusan. Maksudnya, Tirta mengatakan dirinya kucing? Seperti itu?

Faricha menggeleng, mungkin bocah itu salah kosa kata. Ia melanjutkan jalan, tetapi ia hentikan lagi kala melihat seorang kurir yang memarkirkan sepeda motornya di depan pagar rumah Mbah Putri.

"Maaf, Mbak," ucap kurir itu.

"Iya, Mas. Ada apa?"

"Ada paket untuk Faricha Lutfia Izza."

"Ya, saya sendiri." Faricha menunjuk dirinya.

"Oh, ini, tanda tangan dulu." Kurir itu menyodorkan kertas dan bolpoin, Faricha menandatanganinya, lalu menerima sebuah kotak yang dibungkus oleh sesuatu berwarna hitam. Faricha menatap benda itu, menerka-nerka isinya.

Lalu, saat terdengar suara motor yang dinyalakan, Faricha mendongak dan mengucapkan terima kasih pada kurir tersebut karena menyampaikan amanah yang diberikan padanya.

"Cha, yo jar cing," ujar Tirta pelan seraya mendongak ke arah Faricha.

"Bentar, ya. Cha mau simpan ini ke rumah Mbah," sahut Faricha seraya mengangkat sedikit paket yang ia bawa.

"Kak, Cha, kak!" seru Tirta seraya meraih mencoba meraih benda itu dari tangan Faricha. (Bukak, Cha, bukak!"

"Iya, ayo kita buka sama-sama." Mereka berbalik ke arah rumah Mbah Putri. Tirta nampak tidak sabar untuk membuka benda yang ada di tangan Faricha. Gadis itu mendudukkan bocah laki-laki itu di pangkuannya, lalu mulai membuka keresek yang membalut benda itu, terlihatlah bentuk kardus yang menjadi tempat pembungkus isinya.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang