Kamu aku maafkan, tapi...

261 53 6
                                        

Tangannya bergetar, hawa dingin menelusup ke seluruh tubuhnya, padahal ac sedang dalam keadaan mati. Ia gugup setengah mati. Iya, gugup. Sekaligus takut, takut kalau kakak dari Faricha melaporkan dirinya ke polisi.

"Gue--," kata Danish lagi dengan gugup.

"Dari tadi gua gue saja, kapan ceritanya?" Tanya Farikhin tak sabaran.

"Cerita saja, Nish," ucap Faricha dengan suara parau.

"SayatadinggaksengajanabrakFaricha," ucap Danish cepat.

"Kalau ngomong yang jelas dong," desak Faricha yang menanti-nanti jawaban.

Suara parau itu, semakin Danish tak tega bila ia ingin membohongi gadis yang sedang lemah di depannya ini.

Ia pun menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan.

"Saya akan jelasin, tapi kalian dengerin baik-baik. Saya punya satu permintaan," ucap Danish.

"Apa?"

"Tolong jangan marah, kalau ini bisa disanggupi, saya akan menjelaskannya secara jujur," ucap Danish.

"Baiklah. Sekarang ceritakan yang sesungguhnya," ucap Farikhin.

Danish mengambil nafas terlebih dahulu sebelum bercerita. "Sa-saya tadi sore balapan bersama dengan teman yang baru saya kenal yang tinggal di sekitar SMP Bina Sentosa. Saya pun bisa melaju jauh di depannya, lalu saya nggak sadar, kalau ada seseorang yang menyebrang di jalan deket taman kanak-kanak tadi--," cerita dari mulut Danish mengalir hingga Faricha yang ia tabrak, dan ia bawa ke rumah sakit. Namun, ia tak menceritakan bahwa Faricha mengalami kehilangan darah yang cukup banyak, dan Danishlah yang mendonorkan darahnya.

Sementara Farikhin menahan amarahnya yang sudah memuncak. Wajahnya memerah, tangannya mengepal kuat, sedangkan Faricha memasang wajahnya dingin, namun terkadang air matanya lolos.

"Lo?" Tunjuk Farikhin yang sedang marah kepada Danish. Tak biasanya ia menggunakan kata lo-gue, tapi ia mengucapkannya sekarang.

"Bang, sabar," ucap Faricha.

"Maafin gue, Cha." Danish berlutut di depan Faricha dengan air mata, sementara Faricha memalingkan wajahnya karena ia tak pernah sanggup melihat seseorang menangis, apalagi karena dirinya.

Danish pun hampir meraih kaki Faricha dan akan ia cium, namun Farikhin menepisnya. "Jangan sentuh-sentuh adik saya!" Katanya dingin dan penuh penekanan.

"Maafin saya, Bang!" Ucap Danish yang beralih berlutut dihadapan Farikhin.

"Anda tidak ada salah sama saya, jadi jangan minta maaf dengan saya, minta maaflah dengan adik saya, karena dia yang anda lukai. Kalau memang adik saya memaafkan anda, saya juga akan memaafkan anda, namun-," kata Farikhin menggantung.

"Kenapa, bang?"

"Namun, jika adik saya tidak memaafkan anda, saya tidak segan-segan melaporkan anda ke polisi atas tindakan percobaan pembunuhan terhadap adik saya."

Deg

Jantungnya terasa dipompa tiga kali lebih cepat ketika mendengar kata-kata melaporkan ke polisi. Ya Tuhan, ia belum siap tertahan di balik jeruji besi itu.

Danish pun berlutut di depan Faricha. Biarlah Faricha menganggapnya cengeng atau pun lemah, karena hari ini adalah peristiwa pertama kalinya seorang Danish Pratama menangis di depan perempuan selain ibunya, apalagi ini di depan Faricha, gadis yang selalu ia musuhi dan ia bully sejak SMP.

"Please maafin gue, Cha! Gue bakal turutin semua mau lo, asalkan lo mau maafin gue. Please, Cha! Gue nggak mau masuk penjara," ucap Danish menatap Faricha.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang