Apapun

39 9 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma sholli'ala Sayyidina Muhammad wa'ala ali Sayyidina Muhammad.

Drama mode on

Selamat membaca🤗

°°°

Faricha mengikuti langkah teman-temannya dengan menundukkan kepala. Tangannya bergerak gusar di bawah. Ia dan Indana langsung masuk ke dalam kelas begitu sampai di depan, sementara yang lain masih memilih berada di luar kelas.

Ia menatap Indana dengan mata berkaca-kaca, membuat gadis yang berada di depannya itu tersenyum teduh. Faricha menarik tubuh Indana dan memeluknya, ia tidak malu karena kelas masih belum terlalu ramai.

"Terima kasih, Inda," lirihnya.

Indana mengangguk, lalu mengusap punggung sahabatnya. Hari ini Faricha memperlihatkan sisi lemahnya di hadapan teman-teman dekatnya. Ia tau, gadis yang berada di dalam pelukannya ini memiliki hati yang lembut, jadi tidak heran bila Faricha sedikit rapuh bila diperlakukan seperti tadi.

Sementara itu, Danish menghentikan Zulfikar yang akan memasuki kelas. Ia menaikkan satu alisnya saat melihat ke arah Danish.

"Pulang sekolah nanti, gue, lo sama Olan ke warung belakang sekolah, ya?"

"Mau ngapain?" Pasalnya, warung itu adalah tempat menongkrong beberapa siswa yang suka merokok atau sekedar membolos dan memakan mie instan dengan bonus cabai sesuai selera—menu yang tidak ada di kantin sekolah mereka.

Danish mendekat ke arah Zulfikar. "Intinya, mau ketemu Dhani. Kata Olan, tempat mereka nongkrong di sana."

Laki-laki itu tampak menimang-nimang, sementara Danish menatapnya penuh harap.

"Nggak ngajakin Ghoni sama Romi?"

Danish menggeleng. "Kalo Ghoni ikut, nanti Silva malah ikut, 'kan berabe kalo mulutnya nggak terkontrol. Terus, buat Romi, you knowlah."

Zulfikar mengangguk."InsyaAllah sih, tapi gue harus nganterin sepupu gue pulang dulu, nggak jauh kok, rumahnya."

Danish mengangguk percaya. Ia menepuk bahu Zulfikar, lalu merangkulnya dan berjalan memasuki kelas.

°°°

Seorang remaja laki-laki tengah menikmati alunan angin yang terasa berirama menyentuh kulitnya seraya menikmati semangkuk mie instan dengan dua buah telur dan irisan tiga belas—yang merupakan—cabai rawit dan cabai setan. Ia butuh pelampiasan, dan ia melampiaskannya kepada makanan pedas. Kalau saja dalam film kartun, wajahnya pasti akan langsung memerah disetiap suapan.

Ia bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral saat mie instannya ini baru berkurang beberapa sendok.

"Huh." Tangannya bergerak mengusap peluhnya yang bermunculan di dahi dan antara hidung dan bibir atas.

Ting!

Ponsel pintarnya menyala bersamaan dengan sebuah pemberitahuan dari aplikasi pesan dari operator Telkomsel. Ia mendengkus pelan, lalu kembali menyantap mie instannya dengan hati-hati agar kuahnya tidak masuk ke mata saat ia menyeruput mie kenyal itu.

FarichaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang