A Children Between Us

17.4K 2.8K 440
                                    

Yohan menghentikan langkahnya beberapa meter dari taman belakang rumah sakit. Atensinya teralihkan pada sosok residen bedah berseragam biru yang berjongkok di samping kursi roda seorang anak perempuan yang tampak lesu dengan kanula nasal di hidungnya dan siluet selang infus di tangannya. Wajah anak itu memucat, sedangkan residen itu sedang berusaha mengatakan sesuatu, ditemani seorang perawat di sisinya.

Dokter Yuvin.

Yohan mengurungkan niatnya langsung ke ruang koass pagi ini ketika Yuvin menoleh dan menangkapnya berdiri di tempatnya sekarang. Ia hanya membalas senyuman Yuvin saat residen bedah itu menyapanya dengan seulas senyuman dan lambaian tangan. Mungkin seharusnya ia pergi dari sana untuk tidak mengganggu kegiatan residen bedah itu, tapi ia tertarik melihat bagaimana interaksi seorang residen bedah dengan pasien kecilnya.

Seorang anak perempuan yang mungkin usianya masih 8 tahun, dengan seorang residen bedah yang berusia lebih dewasa. Ada sebuah jurang usia yang sangat jauh, tapi sepertinya tiap dokter memiliki caranya sendiri untuk berkomunikasi dengan pasien.

Yohan masih mengamati bagaimana Yuvin meninggalkan kecupan hangat di dahi anak itu, kemudian membelai kepalanya sebentar, lalu berbicara dengan perawat di samping kursi roda anak itu, sebelum akhirnya Yohan mendapati Yuvin berjalan ke arahnya.

"Kenapa diem di sana?"

Yohan tersentak. "Ah? Saya mau ke ruang koass, dok. Anak-anak bilang atapnya bocor, jadi saya sekalian mau bersihin sebelum bimbingan."

"Kamu bimbingannya mulai jam berapa?"

Yohan memeriksa jam tangannya. "Masih sekitar sejam lagi, dok."

Yuvin mengangguk. "Bisa bicara sebentar?"

Dan Yohan bukan tipe penolak. Ia tidak pernah bisa menolak Yuvin, entah apapun alasannya. Ketika Yuvin bicara padanya, residen bedah itu seperti punya kekuatan untuk mencuri semua sisa kewarasan yang dimilikinya.

Yuvin duduk di samping Yohan di bangku taman. Ia tersenyum saat melihat Yohan yang tampak rapi dengan kemeja birunya, yang senada dengan celana abu-abunya, juga rambut hitamnya yang tersisir serapi biasanya, dengan tangan yang memeluk jas putihnya. "Waktunya stase penyakit dalam?" tanyanya membuka pembicaraan.

Yohan menoleh dan mengangguk. "Iya. Setelah penyakit dalam nanti stase bedah."

"Ketemu saya setiap hari nanti di stase bedah, kamu gak bosen?"

Yohan menggeleng pelan. "Justru harusnya saya yang nanya sama dokter. Emang dokter gak bosen ketemu saya?"

Yuvin terkekeh. "Gak. Saya seneng ketemu kamu tiap hari. Walaupun beban saya sebagai residen bedah lumayan berat, tapi sewaktu liat kamu, rasanya lebih ringan."

Yohan menunduk dan menyembunyikan senyum yang otomatis mengembang saat mendengar kalimat Yuvin. Oke, ini masih pagi, dan ia sudah merasa kepanasan sendiri.

"Saya harus awake craniotomy lagi besok. Kali ini saya lebih gak yakin dari sebelumnya, Han."

Yohan mengangkat kepalanya, menatap Yuvin yang memandang lurus ke depan. "Masih dengan kasus yang sama?" tanyanya.

Yuvin mengangguk dan menoleh membalas tatapan Yohan. "Masih dengan tumor otak, tapi kali ini kasus pediatrik. Kamu liat anak perempuan yang tadi bicara sama saya?"

Praktisnya, Yohan mengangguk.

"Dia anak saya."

Yohan melotot, bibirnya terbuka tidak percaya. Yuvin baru saja mengungkapkan hal yang bahkan tidak pernah Yohan tahu.

Anak perempuan itu adalah anak Yuvin? Anak kandung? Apakah artinya Yuvin pernah menikah sebelum ini? Dengan siapa?

"Saya belom pernah menikah, Han. Dia anak angkat saya. Saya ketemu dia waktu masih dokter umum beberapa tahun lalu. Dia yatim piatu yang tinggal di panti asuhan, tapi belom ada yang mau adopsi, jadi saya yang adopsi. Tapi sekitar 2 tahun lalu, dia terdiagnosa tumor otak."

COASS COOPERATE 2.0 [ProduceX101 Ver]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang