Bagian 28

169 9 3
                                    

Ana dan Arga berjalan beriringan menuruni tangga setelah sebelumnya asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitau bahwa Kakek sudah menunggu di meja makan. Di sana, Kakek sudah duduk rapi seraya menatap layar ponsel sendirian.

"Mama sama Papa mana?" tanya Ana seraya menarik kursi mundur.

"Mereka makan diluar."

"Maaf ya Kek, udah nunggu lama," kata Arga sopan. "Aku jadi ngerasa gak enak."

"Gak apa-apa, Ana malah lebih sering buat kakek nunggu," kekeh Kakek.

Ana mencebik. "Jangan nyudutin Ana, Kek." Dia mulai mengambil nasi dan lauk-pauk di piringnya, membiarkan Arga di sana hingga Kakek menegur. "Apa sih, Kek? Arga kan bisa ngambil nasi sendiri."

"Gak apa-apa, Kek." Arga mengambil nasi sendiri ke piringnya.

"Dulu nenek kamu selalu ngambilin nasi untuk kakek, jadi biar lebih deket dan romantis gitu diliatnya."

"Itu kan Kakek sama Nenek, bukan Ana. Udah deh, Ana mau makan."

"Floana," Arga berbisik, sebelah tangannya menyentuh siku Ana. "Be polite please, can you?"

Namun Ana tidak memedulikannya dan tetap melanjutkan makan malamnya dengan setengah jengkel. Ana hampir lupa kalau perpaduan antara Kakek dan Arga memang benar-benar sempurna. Sempurna menyebalkan baginya.

Selama makan malam, Kakek dan Arga terlibat dalam perbincangan, mulai dari ringan hingga berat. Suasana meja makan kala itu menjadi ramai dengan suara kekehan dari kedua manusia itu, Arga bahkan melupakan sosok Ana di sebelahnya. Ketika Ana selesai makan pun, Arga masih berbincang dengan Kakek.

"Kamu mau ke mana, Ana?" tanya Kakek ketika melihat Ana bangkit dari duduknya.

"Nonton, Kek. Daripada di sini, dikacangin," balas Ana lalu segera berlalu dari sana untuk menonton TV. Lima belas menit kemudian Arga datang menemaninya.

"Kamu seharusnya tidak bersikap seperti tadi, Floana."

"Emang salah? Aku udah biasa kayak gitu."

"Mulai sekarang kamu gak boleh kayak gitu. Aku bakal ngajarin kamu how to be polite. Manners beyond knowledges, Floana."

Ana memutar bola matanya merasa jengah dengan ucapan Arga. Selama ini Kakeknya tidak pernah memprotes sikapnya yang acuh tak acuh ini.

"Sumpah ya, Ga, aku males dengerin omongan kamu," ketus Ana seraya menggeser posisi duduknya menjauh dari Arga. Dia mengerling, "Eh Bi, beresin kamar dong. Cepet ya," katanya kemudian pada salah satu asisten rumah tangga yang sedan meletakkan camilan di meja untuk Ana dan Arga.

Asisten itu mengangguk. "Iya, Non."

Di sebelahnya, Arga menggelengkan kepala ketika mendengar Ana memberi perintah. "Kamu harus tambahin kata tolong di sana," desisnya di dekat telinga Ana hingga perempuan itu berjengit. "Kenapa tidak kita berdua saja yang membereskan? Itu semua murni karena kamu yang membuat berantakan."

"Males. Kamu aja sana kalo mau," kata Ana jutek, Arga benar-benar mengganggunya menonton. "Apa gunanya ada asisten di rumah kalo gak untuk aku suruh beresin kamar?"

"Floana," panggil Arga dengan sedikit penekanan. "Asisten itu gunanya untuk membantu pekerjaan kita yang terlalu banyak, kalo kamu masih bisa melakukannya sendiri, seharusnya kamu tidak menyuruh mereka. Biarin mereka urus dapur. Aku yakin kamu juga gak pernah ngurus dapur di sini, kan?"

"Apa-apaan sih, Ga? Kenapa jadi bahas yang laen gini. Kalo kamu emang mau beresin kamar silakan, mumpung belum selesai. Tapi aku gak mau. Denger, kan?"

Arga menghembuskan nafasnya keras, sifat keras kepala Ana terkadang membuatnya naik darah. Akhirnya karena tidak mau membuat masalah lebih dalam, Arga memilih beralih dari sana.

Sepeninggalan Arga, Ana masih merasa jengkel dan sebal. Arga masih saja sama, masih membuatnya sering marah, jika tadi Arga tidak pergi dan memilih berdebat mungkin rumah akan ramai dengan suara seruan dari mulut Ana. Tapi Arga nampaknya sadar diri jika kini mereka ada di rumah Kakek dan ribut bukanlah sikap yang sopan tentu saja.

Selama Ana hidup, dia memang jarang membereskan kamar, ketika tinggal di apartemen saja dia lebih memilih untuk menyewa seseorang daripada harus membersihkannya sendiri.

Beberapa saat kemudian dia melihat asisten rumah tangga yang dia beri perintah tadi turun dan berlalu menuju dapur. Itu artinya Arga sedang membersihkan kamar, biarlah dia membersihkan sendiri, lagian kamarnya tidak terlalu berantakan. Arga hanya perlu membersihkan kotoran di kapert berbulu, lalu bantal serta selimul, dan juga dengan DVD yang berserakan.

"Anjir!" Ana melompat bangun dan segera berlari menuju kamarnya. Dia lupa jika ponsel pemberian Evan dia letakkan di dalam walk in closet dan belum dia sembunyikan. Jika Arga bertanya, Ana tidak bisa memberikan alasan.

Beruntung saja ketika sampai di kamar, Arga masih membereskan selimut. Ana melangkah masuk, mengatur nafasnya yang setengah menderu.

"Belum beres juga?" Ana duduk di sofa, kedua kakinya di naikkan ke atas meja.

"Kamu bisa membantu kalau mau."

Seakan-akan merengut, Ana beranjak, dia memunguti DVD yang berantakan. Memasukkannya ke dalam kardus sebelum akhirnya dia letakkan di dalam walk in closet. Sebelum keluar, Ana bergerak untuk menyimpan ponsel Evan itu di sudut dalam lemari dan terhalangi oleh baju-baju santainya.

"Seharusnya kamu sudah mulai terbiasa membereskan semuanya sendiri. Kamu tidak bisa selamanya mengandalkan orang lain," ucap Arga begitu Ana keluar.

"Iya, iya. Gak usah nyeramahin mulu deh, kalo aku lagi mau pasti aku kerjain sendiri," jawab Ana malas seraya menuju ranjang. "Kalo kamu gak mau beresin ya gak usah beresin. Susah amat."

Arga geleng-geleng kepala, dia meletakkan majalah ke atas meja sebelum menyusul Ana berbaring di atas ranjang. "Floana, aku gak tau ternyata kamu sekeras kepala ini."

Ana mendecih, "Gak tau? Kemaren-kemaren kamu ke mana aja?"

"Kita udah menikah, kamu harusnya tau kalau ini mengubah semuanya. Kita gak bisa lagi manja-manja sama orang tua, aku juga gak bisa bergantung sama mereka lagi. Aku harus ngehidupin kamu pake usaha aku sendiri, harusnya kamu juga belajar untuk mandiri. Belum tentu keadaan ke depan bakal baik, Floana."

Ana memejamkan kedua matanya, menahan agar deru amarah dalam dirinya tidak keluar dalam bentuk makian. Tapi Ana ingin marah dan memaki Arga, demi apapun. Saat kedua matanya terbuka dia melihat wajah serius Arga.

"Kenapa? Kamu gak suka sama sifat aku kayak gini? Nyesel?"

"Bukan begitu Floana. Aku cuma gak—"

"Iya aku ngerti," potong Ana. "I'm not that kind of a good wife. I am beyond your expectation, more than bad, huh?"

Kedua mata Arga menggelap, dia ingin mengusap wajah Ana namun urung, dia lebih memilih untuk keluar dari kamar itu meninggalkan Ana sendiri.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang