Bagian 47

138 10 3
                                    

Arga melihat Ana yang meringkuk di atas ranjang layaknya janin dalam kandungan. Siang tadi Ana menghubunginya, memintanya untuk menjemput karena Ana merasakan sakit perut akibat hari ini adalah hari pertama menstruasi. Arga menjemput istrinya langsung di kampus ketika Ana sedang menghadiri seminar jurusannya.

Meletakkan baskom berisi air hangat, Arga menghela agar tubuh Ana telentang. Dia segera menaikkan blouse yang Ana kenakan sebatas dada. Lalu dia segera mengompres perut Ana, sama seperti dulu di apartemen.

"Masih sakit?" tanya Arga yang kembali mengompres perut Ana.

"Udah gak," jawab Ana lemas, kedua matanya tertutup.

"Kenapa kamu gak periksa aja?" Arga mengusap dahi Ana lalu beralih mengusap rambutnya. "Aku khawatir."

"Aku gak suka ke sana. Aku gak suka baunya, aku gak suka dokter, aku gak suka semua yang ada di sana."

Arga menghela napasnya. Meskipun dia mengkhawatirkan Ana namun dia tidak bisa memaksa. Bahkan ketika Arga meminta Ana untuk mendatangi dokter supaya dia tidak hamil dulu, Ana menolak, dia membenci obat dan segalanya.

"Temenin aku, Ga. Jangan ke mana-mana."

Arga mengangguk, lalu dia ikut berbaring di sebelah Ana. Dipeluknya Ana lembut. Desah napas Ana lambat laun menjadi teratur, istrinya itu kini sudah terlelap. Arga mendesah lega, setidaknya Ana tidak merasakan sakit.

Dering ponsel membuat Ana membuka matanya, dia meraba kasur dan tak menjumpai apapun. Akhirnya dia bangkit dan melihat ponsel Arga di atas nakas berdering. Sebuah panggilan masuk dari Kalisa.

"Argaaa, kamu ke sini hari apa? Gue—"

"Ada urusan apa nelpon Arga?" tanya Ana dingin.

Suara riang Kalisa berubah. "Gue cuma mau nanya kapan dia ke sini."

"Ada urusan yang penting?" Jengkel sekali rasanya Ana mendengar suara perempuan ini, tadi saja dia berniat untuk tidak mengangkat panggilan tersebut.

"Ya gak ada sih. Oh iya, Arga ke mana ya kalo boleh tau?"

"Keluar," kilah Ana. "Ada yang mau disampein?"

Kalisa bergumam pelan. "Gue mau nyampein ke Arga langsung."

"Gue istri dia, ntar gue sampein."

"Cuma masalah tugas kelompok aja sebenernya."

"Ada lagi?" Ana memerhatikan kuku jari-jemarinya, rasanya dia harus kembali ke salon untuk perawatan.

"Gak ada."

Ana segera memutus panggilan itu begitu saja. Benar-benar, perempuan itu menelpon untuk hal yang tidak penting. Demi Tuhan, menyebalkan sekali rasanya, apalagi ketika Ana mendengar suara ramah yang seakan dibuat-buat itu.

"Floana, kamu udah bangun." Arga berjalan memasuki kamar. "Masih sakit?"

Ana menggeleng lalu tersenyum. "Aku udah mendingan karena kamu. Makasih."

"Dalam sehat dan sakit. Inget?" Sebelah tangan Arga mengusap wajah Ana. "Aku bakal lakuin apapun supaya kamu gak sakit."

"Kalo gitu beliin aku pembalut. Aku mau mandi dulu."

"Oke. Aku berangkat sekarang."

Ana segera memasuki kamar mandi begitu Arga pergi. lima belas menit kemudian ponsel Ana berdering, panggilan dari Arga, dan Ana baru mengangkat pada panggilan kedua.

"Pembalut yang kayak mana yang kamu mau?" tanya Arga di seberang sana. "Yang wing atau non wing?"

"Wing aja. Beli yang day sama night ya," Ana setengah berseru karena dia tengah mencuci rambut.

"Yang isi berapa? Delapan? Dua belas? Atau... dua puluh? Kenapa banyak banget varian jumlahnya. Cewek memang ribet."

"Dua puluh aja."

Arga mendesah, "Ini ribet banget Sayang. Ada ukurannya juga. Mau yang panj—wow, ada yang empat puluh dua senti. Panjang banget. Aku baru tau."

Ana terkekeh mendengar Arga, "Kayaknya kamu udah pernah beliin aku pembalut, kenapa masih gak tau?"

"Waktu itu kan aku langsung ambil aja. Sekarang aku mau ngasih yang sesuai kemauan kamu."

"Beliin yang tiga puluh senti aja."

"Mmm, oke. Ini ada yang bentuknya celana."

Kening Ana berkerut, dia keluar dari bilik kaca dan mengenakan bathrobe. "Kamu salah liat gak? Nanti bukannya celana menstruasi tapi malah popok orang dewasa."

Arga termangu sejenak lalu terbahak. "Eh iya ini popok. Mau aku beliin apa lagi?"

Ana membuka pintu dan berjalan menuju walk in closet. "Cokelat panas sama makanan apa gitu buat nanti malem. Aku mau nonton. Eh sekalian beliin bakso ya. Bakso deket sekolah kita."

Lalu ketika malam menjelang, Ana mengajak Arga untuk menemaninya menonton film romantis berjudul 500 Days of Summer. Tadinya Ana merebahkan kepalanya di dada Arga namun karena suaminya itu sedang buang air besar, jadilah dia bersandar pada bantal. Kemudian dia mendengar Arga memanggilnya.

"Floana, tolong ambilin aku celana. Celana aku basah."

Ana turun dari ranjang lalu menggelengkan kepala. "Makanya gak usah mainan air, kayak anak kecil aja." Diambilnya salah satu celana pendek milik Arga, ketika dia hendak keluar dari walk in closet, ponsel Evan bergetar.

Sial. Dia lupa mengubah mode-nya menjadi silent.

"Arga ada di sini. Jangan nelpon," ucap Ana cepat begitu mengangkat panggilan. Dia menghampiri Arga dengan was-was.

Sial. Kenapa dia seakan-akan seperti sedang menutupi hubungan terlarangnya dengan orang lain.

"Goblok. Gue kan gak selingkuh," desis Ana pada diri sendiri. Lalu dia mengetuk pintu kamar mandi. "Ga, ini celananya. Cepet!"

Arga melongokkan kepala dari celah pintu. "Makasih. Kamu mau masuk juga? Kamu kan udah pernah buka baju aku, gak ada sal—"

Pintu itu segera Ana tutup, untung saja hidung Arga tidak terjepit. "Sekalian siram kepala kamu pake air dingin."

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang