Bagian 79

223 11 6
                                    

Halo kawan-kawan sekalian!

It's time to say good bye to Ana, Evan and Arga. And, of course, to this story:"))))

***

Evan sudah pergi. Apartemen itu kosong tak berisi, juga dengan hari-hari Ana. Ana menyaksikan ketika laki-laki itu pergi, dia sengaja datang ke bandara dan melihat sosok Evan dari jauh. Selepas itu ponselnya pun tak ada notifikasi apapun dari Evan. Semuanya kosong.

Ana berdiam diri di kamar, hampir tidak tau mau melakukan apa, akhirnya dia hanya bisa memanggil kedua temannya datang. Tapi Ana malah mengabaikan keduanya yang sibuk berenang.

"An, lo ngapa dah diem aja?" tanya Karina yang duduk di sebelah Ana dengan kedua kaki ditenggelemkan ke dalam air. "Woi!"

"Gue mau semuanya clear."

"Clear gimana?"

"Hubungan gue sama Arga," jawab Ana dengan kedua mata lurus ke depan.

"An." Karina mengerjap-ngerjapkan matanya lalu memanggil Kelly agar ikut bergabung. "Lo ... seriusan?"

"Iya, gue ngerasa semuanya udah gak beres. Berantakan."

"Udah lo pikirin mateng-mateng?" tanya Kelly pelan. "Bukan pake emosi, kan?"

Ana menggeleng.

"An, gue sama Kelly gak bisa ngasih komentar apapun. Tapi kalo lo butuh saran atau apapun itu lo bisa dateng ke kita berdua."

"Dan An, gue sama Karina bakal selalu dukung apa yang terbaik buat lo. Sampe mati nanti."

Ana melihat kedua temannya itu mendekat dan memeluk erat tubuhnya memberikan semangat, meyakinkan bahwa Ana tidak sendiri dalam keadaan seperti ini.

Ketika sore hari tiba, Ana yang dipanggil oleh Mama itu segera turun. Dia melihat Mama memberikannya sebuah paket berukuran persegi cukup besar.

"Apaan nih, Ma?" tanya Ana heran.

"Paketan kamu. Emang kamu beli apa?"

"Ana gak beli apa-apa. Atau mungkin Ana lupa. Ya udah Ana ke atas dulu."

Sepanjang jalan kembali ke kamar, Ana menimang-nimang apa kiranya isi paket yang dibungkus dengan kertas kado ini. Dia melihat nama si pemberi, tertulis Karskov. Ana hampir saja menjatuhkannya karena terkejut. Buru-buru dia memasuki kamar tanpa menutup pintu membuat kedua temannya yang berada di kamar menatap heran.

"Kenapa lo, An?" tanya Kelly namun Ana tak menjawab.

Ana berdiri di belakang jendela panjang kamarnya, semburat jingga matahari sore menerjang menembus jendela. Dia membuka bungkus paket itu, kertas demi kertas sampai akhirnya dia melihat paket itu. Sebuah foto dirinya yang sedang tersenyum menaiki komidi putar. Mulut Ana menganga terbuka, dia membalik foto itu dan ada sebuah tulisan tangan di belakangnya.

When I saw you I fell in love and you smiled because you knew.

Ana menutup kedua mulutnya, dia kembali membalik foto itu dan merabanya. Hatinya berdesir sakit hingga air matanya luruh, jatuh menuruni pipi dan menetes.

***

"An, jaga diri lo baik-baik ya. Kalo ada apa-apa langsung hubungin gue." Karina memeluk tubuh Ana, lalu dengan tiba-tiba Kelly menarik mundur dan gantian dia yang memeluk tubuh Ana.

"Nanti biar gue sama Karina aja yang nengok lo di sana. Lo gak usah ke sini."

"Woi, enak aja lo ngomong. Emang siapa yang mau bayarin tiketnya, goblok!"

"Kan ada Kakek Ana."

"Bacot lo, Kel," dengus Ana. "Gak nyangka gue bakal jauh gini dari lo bedua."

"Gak masalah, An. Lo kan harus cari udara baru, ya kan?" Karina menepuk pelan pundak temannya itu. "Gue sama Kelly bakal kangen lo."

"Gue juga."

Ketiganya kembali berpelukan erat dan hangat, tanpa sadar air mata Kelly menitik, buru-buru Karina menoyor lengan Kelly. Mereka tidak mau bersedih tapi sebenarnya memang sedih.

Ana beranjak menuju keluarganya. Mama segera memeluknya erat dan tak mau lepas.

"Ana, mama sayang sama kamu. Jaga diri baik-baik ya? Kalau ada apa-apa telpon mama. Nanti mama pasti ngunjungin kamu," ucap Mama seraya merapikan jaket yang Ana kenakan, kedua matanya berkaca-kaca.

"Don't cry. Ana gak pergi jauh, Ma, cuma nyebrang laut," balas Ana. Lalu dia beralih pada Papa. "Makasih, Pa."

"Papa yang harusnya makasih sama kamu karena udah jadi anak papa. Hati-hati," ucapnya. Ana mengangguk.

"Kek," panggil Ana pada Kakek.

"Cucu kakek udah besar. Kakek sayang kamu," ucap Kakek yang segera memeluk tubuh Ana. "Jaga diri kamu di sana, jangan nakal."

"Ana selalu nakal, Kek."

"Kakek tau."

"Well, kalo gitu Ana pergi." Ana berdiri tegak, menatap keluarganya dan juga kedua temannya sejenak sebelum akhirnya dia berbalik dan berjalan.

Telinganya mendengar suara-suara temannya yang memanggil namanya, lalu dengan Mama yang menangis pelan. Ini kali pertama Ana pergi jauh sendirian untuk merasakan hidup baru.

Ketika memasuki pesawat, di antara lorong kursi, tubuh Ana ditabrak oleh seorang laki-laki berkacamata.

"Maaf, saya tidak sengaja," ucap laki-laki itu lalu segera berlalu.

Ana mengernyit, kedua matanya memandang punggung laki-laki itu yang berbelok dan duduk di sisi jendela. Ana merasa tidak asing dengan suara itu, namun dia memilih untuk mengabaikannya dan duduk di bangkunya. Dengan kepala bersandar, Ana merasa beban di pundaknya tergerus seiring dengan suara-suara lalu pesawat itu mulai terbang. Ana memejamkan kedua matanya. Dia pergi. Meninggalkan semua kisahnya di Jakarta. Dia pergi menuju Singapura untuk memulai kehidupan barunya dan juga memulihkan perasaannya.

Arga sudah mengatakan semuanya pada hari ulang tahunnya. Semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi hingga kedua keluarga yang berkumpul itu terkejut bukan main. Bahkan Papa Satria sampai menampar pipi Arga. Semua terkejut. Kakek juga mengamuk dan mencaci Arga. Lalu ketika Mama Rara meminta konfirmasi dari Ana, yang dilakukannya adalah mengangguk dan membenarkan perkataan Arga. Di saat itu Ana tak menangis karena semua air matanya sudah terkuras sejak lama. Hari itu menjadi hari perayaan ulang tahun terburuk sepanjang hidup Ana.

Sejak pengakuan itu terucap, Ana memutuskan untuk berpisah dengan Arga. Keluarganya menyetujui meskipun keluarga Arga sempat berharap bahwa Ana tidak akan berpisah. Tapi keputusan Ana sudah bulat. Keluarga Arga meminta maaf pada Kakek dan juga orang tua Ana. Mereka benar-benar menyesal dengan kelakuan Arga. Setelah itu Kakek mulai mengurus perpisahan Ana, tanpa membiarkan Ana turun tangan sendiri.

Ana sudah tak melihat Arga sejak saat itu dan Ana juga tidak berniat mencarinya. Meskipun mereka berpisah namun Kakek tetap menjaga hubungan baik keluarga Hamid dengan keluarga Arga.

Terlalu banyak kisah menyeramkan membuat Ana akhirnya memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih memulai semuanya dari awal di Singapura, tadinya Mama menolak tapi setelah Ana mengutarakan semuanya, Mama pun setuju.

Ana meninggalkan semuanya di Jakarta. Kisah sedihnya dengan Arga dan juga kisah manisnya dengan Evan. Tapi dia tetap membawa foto dirinya hasil pemberian Evan. Omong-omong soal Evan, hingga beberapa bulan kepergian laki-laki itu, tak ada kabar apapun yang Ana dapat. Seakan Evan menghilang. Hal itu sempat membuat Ana frustrasi, tapi dia tau itu adalah resiko yang harus dia hadapi.

Dengan awan-awan yang menggantung di bawah sana, Ana berharap semoga semuanya baik-baik saja. Semoga semua perasaan gundahnya yang tertimbun dapat terkumpul bersama awan di sana dan menghadirkan sosok Ana yang baru.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang