Bagian 63

158 9 9
                                    

Gue double update karena kesel. Sidang gajadi minggu ini. Dospem malah marah-marah:)))


***

Ana terbangun karena mencium wangi roti dan juga parfum Evan. Ketika dia membuka mata dia sadar tengah berada di tempat lain, apartemen Evan. Pasti semalam dia tertidur dan Evan membawanya kemari. Dia bangkit lalu berdiri bersandar di kusen pintu, menatap Evan yang tengah memasak.

"You cook?" Ana mengambil tempat duduk di meja counter.

Evan melihat Ana melalui bahunya. "Just pancake." Mematikan kompor, Evan meletakkan dua porsi pancake ke dua piring. Untuknya dan untuk Ana. "Coffee or tea?"

"Milk." Ana mengambil pancake miliknya.

"I don't have it. I'll get it for you, wait fo—"

"I'm not serious, Evan. Tea, please."

Evan mengulas senyum lalu membuatkan secangkir teh hangat untuk Ana dan secangkir kopi untuknya. "Gimana rasanya?"

"Mm, lumayan enak. Pinter juga lo masak," puji Ana, dia membiarkan Evan membersihkan ujung bibirnya yang tersisa serpihan pancake.

"We seem to be perfect together. Wanna take a bath?"

"Later. Gak biasa gue mandi pagi."

"Siang nanti lo ada jam kuliah, kan?"

Ana mengangguk. "Ada sih, tapi dosennya lagi ada apa sih itu tau, keluar kota jadi cuma dikasih tugas rumah aja."

"Berarti lo free. Mau jalan-jalan?"

Ana menggeleng, dia menyesap tehnya dan menatap Evan. Dilihatnya tato-tato yang menghiasi tubuh laki-laki itu. Ntah bagaimana luka dibalik semua tato yang menjalar hampir ke leher itu.

"Jangan liatin gue kayak gitu, Ana." Evan mengambil piring dan gelas yang sudah kosong dan mulai mencucinya. "Gue udah pernah bilang kan kalo mata lo cantik?"

Ana bergumam, lalu dia beranjak menyusuri apartemen Evan. Apartemen ini sepi dari furniture, hampir sama seperti apartemen miliknya dulu. Hanya ada satu pajangan di dinding, itu juga berupa lukisan alam. Ana meraba bufet di sana dan melihat dompet Evan yang terbuka, dilihatnya E-KTP milik Evan.

"Evan William Karskov," Ana mengucapkan nama panjang Evan. "Nama lo keren juga. Tahun ini lo 24?"

Evan mengangguk. "William Karskov itu dikasih sama Bokap gue," sahutnya sembari memasang piringan hitam, lalu lagu klasik mengalun dari gramophone. "Gue cuma tau nama gue itu Evan."

"Bokap?"

Evan mengangguk, dia meraih satu tangan Ana dan membawanya ke bagian tengah ruangan. "Waktu itu gue hampir mati dan Bokap gue—sebelum dia jadi Bokap—dateng nolongin. Dan gue jadi anak angkat dia udah hampir empat tahun ini."

Kedua alis Ana terangkat, lalu dia meletakkan kedua tangannya di bahu Evan. "Jadi lo udah jadi anak angkat, tapi kenapa gak tinggal sama Bokap lo aja?"

Evan memegang pinggul Ana lalu mengajak Ana berdansa. "Dia ada di Rusia, ngelepas status WNI dan sekarang jadi WNA."

"I see."

"Dia ... orangnya baik, ngasih gue semuanya karena dia gak punya anak dan istrinya juga udah ninggal. Sama kayak gue. Sama-sama sendiri di dunia."

"Lo gak sendiri lagi, ada gue di depan lo."

"Gue bakal seneng kalo status lo berubah jadi istri gue."

Ana menundukkan wajahnya ketika Evan menatapnya dalam, sebelah tangannya turun ke dada Evan dan dia merasakan guratan di sana. Bahkan dalam jarak sedekat ini juga dia bisa melihat kulit Evan yang terdapat bekas luka. Dan luka-luka itu cukup banyak.

"Kenapa, Ana?" tanya Evan di atas kepala Ana. "Are you scared?"

Ana menggeleng. "Luka lo ... luka lo ... banyak bekas luka di badan lo."

"Iya, dari hasil berantem, dari Panti dan hampir dibunuh dua kali."

Ana tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya Evan dengan segala luka yang didapat ditubuhnya itu. Luka-luka itu ditutupi dengan berbagai macam tato, namun masih ada luka yang tidak ditutupi. Luka di lengan atas dan juga luka iris di leher Evan.

"Sakit?" Ana tau itu pertanyaan bodoh, tapi dia ingin mendengar jawaban dari mulut Evan.

"Gue hampir gak tau apa itu sakit, karena hari-hari gue terlalu penuh kesakitan." Telunjuk Evan menaikkan dagu Ana agar dia bisa kembali tenggelam dalam kedua mata indah itu. "Luka di leher ini karena ada orang yang mau bunuh gue. Gue juga pernah ditusuk deket jantung. Tapi yang lebih sakit itu pas tau kakak gue pergi gitu aja. Gue gak tau apa ada luka yang lebih parah dari itu."

Ana mengerjapkan kedua matanya, cerita hidup Evan membuatnya perasaannya tersentuh. Ana terus menatap Evan sampai kemudian laki-laki itu menurunkan kepalanya lalu bibirnya menyentuh bibir Ana, perlahan dan lembut. Evan membiarkannya begitu tanpa berniat melumat. Dan Ana terbuai, dia memejamkan kedua matanya dan melingkarkan lengannya di leher Evan dengan erat.

Ana tidak ingin semuanya terjadi begitu saja, dia ingin menghentikan waktu sekarang juga. Jutaan kupu-kupu seakan terbang dari dalam dirinya, menguarkan sensasi menyenangkan setiap saraf-sarafnya. Ana tidak mau menampiknya lagi. Dia menyukai Evan.

***

Di bawah guyuran air, Ana sekali lagi merasakan bagaimana bagian dari bibir Evan menyentuh bibirnya tadi. Terasa hangat, manis dan memabukkan. Semuanya seakan-akan membawanya terbang melintasi langit biru. Waktu seakan berhenti berputar, dunia seakan terasa menyenangkan. Namun Ana tersadar dengan fakta bahwa dia kini sudah menikah dengan Arga. Cincin di jari manisnya menjadi saksi bisu bagaiman ciuman yang dalam dan hangat tadi. Ana tak bisa memungkiri jika dia menikmatinya, menyecap rasa ciuman itu perlahan yang begitu memabukkan baginya.

Semua itu membuatnya semakin mempertanyakan perasaannya pada Arga. Perasaan yang sebenarnya pada Arga, tapi tetap saja Ana tak bisa menemukannya. Kedatangan Evan memang mampu mengubah perasaan Ana secara perlahan, membuatnya semakin tak yakin dengan perasaannya sendiri.

Pelukan Evan juga menenangkan dirinya dan Ana sama sekali tak bisa mengelak dari itu, bahkan dia berharap jika Evan akan selalu memeluknya. Lengan kokoh dan jemari terampil Evan memainkan rambut Ana membuatnya melambung begitu saja.

Dan tak ada alasan untuk Ana menjauh dari sosok Evan.

Di saat itu Ana mendengar jika pintu kamar mandi dibuka disusul dengan pintu kaca di belakang Ana. Ana tak perlu menoleh untuk memastikan siapa yang masuk karena detik selanjutnya dia sudah merasakan lengan kokoh Arga memeluknya dari belakang, menghantarkan suatu kehangatan lain. Laki-laki itu membalik tubuh Ana dan segera memerangkap bibir Ana dalam dan lama. Mungkin hanya Arga yang menikmatinya karena Ana kini malah membayangkan ciumannya dengan Evan. Bukan ciuman panas menggebu diliputi gairah namun ciuman kasih sayang.

Ana menjauhkan kepalanya untuk melihat ke mata Arga, guyuran air dari kran shower sedikit memaburkan pandangannya namun Ana masih bisa melihat Arga. Namun di sana Ana tak menemukan jawaban bahwa Arga tau jika Ana telah berciuman dengan Evan.

"I need you, Floana," kata Arga serak, sebelah tangannya menaikkan tungkai kaki Ana ke pinggulnya.

Sementara Ana meletakkan kedua tangannya di pundak Arga seiring dengan Arga menaikkan satu kaki Ana lainnya dan mulai memasukinya.

Ana berusaha untuk melupakan ciuman itu tapi tak ayal dia malah membayangkan sosok Evan berdiri di depannya alih-alih Arga. Tak pelak akhirnya Ana menangis karena perasaannya sendiri. Semuanya terasa begitu berat baginya.

"I love you, Floana."


TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang