Bagian 62

137 12 18
                                    

"Lo jangan nyampe mabok ya anjir! Eh Dion jagain Ana," pesan Karina pada Dion yang segera disambut anggukan.

"Jadi gimana tadi lo sama Kalisa?"

"Lumayan. Tujuan gue cuma mau buat dia malu aja. Thanks lo udah bantu."

Ya, Dion memang membantu dengan menjauhkan Arga dari Kalisa sehingga Ana bisa leluasa memaki perempuan itu.

"Apapun untuk lo, An," ucap Dion. "Gue ... gak tau kalo Arga juga suka sama dia. Tadinya gue pikir Kalisa doang yang suka."

Ana mendengus pelan, "Gue gak ngerti kenapa jadi kayak gini, gue kira Arga emang bener-bener tulus."

"Kalo lo butuh bantuan gue, telpon aja. Kapanpun," kata Dion. "Besok lo masih di sini, kan? Gue mau ngajak lo ke Prambanan."

Keesokan harinya, mereka berempat menuju candi Prambanan. Berkeliling dan berswafoto di sana. Ana mengunggah satu foto dan foto itu segera mendapat respon dari Arga namun Ana tak memperdulikannya sampai keesokan harinya.

Ana : Aku ke sn liburan, bkn mau nemuin kamu. Gosah GR jd org

Arga : Tp seenggaknya aku bisa nemenin kamu

Ana : G perlu. Udh ada temen

Arga : Jgn kayak gitu lagi. Aku gak suka

Ana : Dont care. I do whtever i want

Ana segera mematikan ponselnya agar Arga tidak mengganggu kegiatan perkuliahannya hari itu. Ponsel itu baru Ana hidupkan ketika sampai di rumah Kakek, namun Ana memilih meninggalkannya dan memilih menemui Evan.

"Jadi, lo udah bales dia, kan?"

Ana mengangguk. "Cuma ngasih dia kejutan aja sih."

"Dan berhasil. Nih, bantu gue ngecat dinding." Evan menyodorkan satu kaleng kecil cat tembok pada Ana. "Ini bakal seru. Coba aja."

"Gue gak pernah ngecat dinding, Evan. Gue gak tau gimana caranya."

"I'll show you. Come on. Lo pegang kuasnya terus masukkin ke kaleng cat."

Ana menerima kuas dari tangan Evan. "Terus?"

Evan berdiri di belakang Ana, sebelah tangannya memandu tangan Ana. "Up and down. Gini aja, kalo udah habis lo celupin lagi."

Ana menyunggingkan senyum miring. "It's a piece of cake. Ini warna kesukaan gue. Abu-abu."

"Gue sengaja milih warna kesukaan lo. Dinding ini kayaknya monoton makanya gue ganti."

"Ditambah motif lain bagus deh kayaknya. Aduh anjir pipi gue kena cat." Ana berjingkat mundur dengan noda cat di pipi. "Bisa ilang gak ini?"

Evan terkekeh. "Bisa. Nanti gue bantu ngehap—Ana!" setengah berseru, Evan menatap tajam kepada Ana yang sengaja mencoreng pipinya dengan cat.

"Biar gue ada temen. Lanjut ngecat lagi gak nih?" Ana tersenyum lebar dan menyenggol pinggang Evan. Akhirnya keduanya melanjutkan mengecat.

Seraya duduk berdua di kursi santai, Ana mengamati jari-jarinya yang masih terdapat sisa cat. Tembok di belakang mereka yang baru tercat sepertiganya itu menguarkan bau cat.

"Sayang hari ini langit gak nunjukkin bintang," kata Evan.

"Kayaknya lo suka banget mandangin langit."

"Karena gue bisa ngeliat kakak gue bersinar di sana, An. Gue jadi gak ngerasa sendirian di dunia."

"Lo mau sharing tentang kakak lo?"

Evan menoleh, melihat wajah Ana. "Dulu dia dituduh jadi penjual narkoba. Waktu itu dia baru pulang kerja dan dituduh polisi, dia ditangkep tapi kakak gue kabur dan akhirnya ditembak di tempat. Dua kali. Gue sakit, gak bisa apa-apa di rumah, dan tau-tau ada kabar kalo kakak gue meninggal."

Ana menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut.

"Gue paham banget sama kakak gue, dia bukan penjual, bahkan gak pernah make. Dan polisi emang bilang dia bukan penjual, tapi lo tau dia bilang itu ke siapa? Ke gue doang, gak pernah ada publikasi ke media. Kakak gue mati sebagai tertuduh penjual narkoba."

"Sori gue bener-bener gak tau. Lo gak usah cerita kalo gak bisa," kata Ana menenangkan namun Evan menggeleng.

"Lo berhak tau masa lalu gue, Ana. Bahkan semuanya tentang gue." Dia berusaha mengulas senyum. "Gue gak tau dia dikubur di mana. Gue gak bisa ngeliat muka dia terakhir kalinya tapi gue dikasih uang tutup mulut. Dan ya, gue ngelakuin kejahatan buat bales kakak gue. Gue ngerusak rem salah satu mobil polisi nyampe polisi itu kecelakaan. Tapi mereka gak mati.

Gue bukan orang baik, An. Gue gak punya cerita baik sebelumnya karena hidup gue susah. Gue cuma tinggal berdua sama kakak gue. Gue anak yatim piatu. Gak tau gimana muka Bokap sama Nyokap."

Ana menurunkan kedua kakinya lalu menggenggam tangan Evan. "Go on."

"Tadinya gue tinggal di Panti tapi karena gue suka disiksa, Kakak gue mutusin buat keluar. Hidup gue luntang-lantung, makan sehari sekali udah untung. Umur sepuluh gue udah nyuri, umur lima belas gue ngejambret terus masuk bui dan tujuh belas gue nyelakain polisi. Kakak gue ninggal di umur dua puluh empat. Besok hari ulang tahunnya."

Ana menghembuskan napasnya, jemari Evan digenggamannya gemetar hebat. Dia tau Evan sedang menahan air mata. Ujung mata Ana menangkap setitik cahaya di langit.

"Ah, bintang. Kakak lo ada di sana."

"Ya, dia di sana. Kenalin An, dia kakak gue."

Ana kembali pada posisi duduk, menemani Evan memandang pada satu titik cahaya yang mendadak muncul itu. Ketika angin semakin kencang, Evan menyelimutinya hingga tanpa sadar Ana jatuh terlelap.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang