Bagian 32

161 7 4
                                    

Arga tidak pulang weekend ini, dia mengabari Ana jika kesibukannya memaksa agar dirinya tetap di Yogyakarta. Ana menanggapinya dengan santai awalnya namun ketika malam hari, seraya menonton film romansa, dia perlahan merindukan kehadiran Arga di sisinya. Ana berguling, meraih bantal di hadapannya, laptopnya masih terbuka memutar film.

Hidungnya seakan menghidu bau tubuh Arga, parfum yang cowok itu torehkan di tengkuk dan dada, lalu dengan wangi deodoran. Ana memejamkan kedua matanya berharap agar rasa rindunya pada Arga menghilang, namun sialnya dia malah mengingat sentuhan-sentuhan Arga. Bagaimana bibirnya mencecap bibir Arga, sensasi manis dan kenyal yang membuatnya terbuai. Jari-jemari Arga yang sedikit kasar ketika menyentuh kulitnya tapi diselipi dengan sentuhan khas Arga membuat Ana makin terbuai. Arga pintar. Sangat pintar sampai Ana akhirnya mengernyit dan beranjak duduk.

Dari mana Arga bisa seprofesional itu? Jari-jermarinya yang terampil dan bibirnya yang...

Dari mana kalau bukan karena Arga sering melakukannya. Tapi dengan siapa?

Ana menggeram dan mengacak rambutnya. Kenapa di saat begini dia memikirkan hal tersebut.

Setelah beberapa menit bolak-balik di dekat jendela kamarnya, Ana tidak tahan lagi, dia meraih ponselnya dan segera menghubungi Arga. Tak ada jawaban hingga panggilan kedua, namun ketika panggilan yang ketiga terjawab, Ana mendengar suara orang lain. Suara perempuan.

"Mana Arga?" tanya Ana ketus.

"Arga lagi keluar sebentar. Ada yang mau disampein gak?"

"Keluar ke mana?"

"Beli makanan. Ada yang mau disampein? Gue bisa nyampeinnya, kok."

"Gak." Ana ingin memutus panggilan itu tapi urung. "Lo siapa?"

"Oh, gue Kalisa. Sahabatnya Arga dari bayi," nada Kalisa terdengar begitu ramah. "Jadi gak ada yang mau disampein?"

Kalisa. Sahabat. Kenapa Ana tidak tau jika Arga memiliki sahabat perempuan, berapa banyak perempuan yang berada dalam lingkaran Arga. Sebelum menikah, dia pernah melihat Arga bertemu dengan perempuan dan Arga berkata bahwa itu adalah temannya.

"Gak." Akhirnya Ana memutus panggilan itu. Dia menghela napasnya berat.

Duduk di pinggiran ranjang, pikiran Ana semakin tidak jelas. Dia memikirkan nama perempuan itu, Kalisa. Terngiang di kepalanya.

"Lo di mana, Na?"

Di seberang sana, Karina yang baru saja mengangkat panggilan sedikit heran mendengar penekanan dalam suara Ana. "Gue lagi di rumah. Ada Kelly juga."

"Jemput gue. Kita clubbing."

"Ha?" Kedua mata Karina hampir melotot. "Seriusan, jangan bercanda."

Ana mendesis, "Gue serius. Totally serious!"

"Ok, oke. Setenga—"

"Gue tunggu."

Ana butuh pelampiasan atas kekalutan pikirannya ini. Dia tidak bisa berdiam diri dan membiarkan kepala penuh dengan asumsi-asumsi akan Arga. Meskipun dia menolak untuk memikirkan Arga tapi tetap saja semuanya menari di kepalanya.

Tanpa mengganti bajunya dengan baju yang lebih layak untuk berkunjung ke club, Ana membuka pintu kamar, kini sudah pukul dua belas malam. Bisa dipastikan jika Kakek dan Mama sudah tidur, lalu Papa yang biasanya masih terjaga sampai larut malam itu sedang ada kunjungan keluar kota, jadi Ana hanya perlu turun dan keluar melalui pintu belakang. Dia bisa meminta asisten rumah untuk membukakan pintu untuknya dan juga mematikan kamera pengawas hingga Ana kembali pulang.

Di luar, Karina dan Kelly sudah menunggu kedatangan Ana, keduanya sedikit heran melihat penampilan Ana—celana jins selutut, kaus oblong dan sneakers—benar-benar bukan gaya Ana jika menyambangi club.

"Lo mau ke pasar apa ke mana, anjir?" komentar Kelly begitu mobil berjalan. "Gak ada bagus-bagusnya."

Ana mengangkat kedua alisnya. "Gue cuma butuh keluar dari rumah."

Karina mendesis, "Tapi kalo clubbing pake baju kayak gitu lo bisa disangka orang nganter galon!"

"Bacot sampah!" maki Ana. "Gue lagi males."

"Oke. Tapi lo jangan nyampe mabok ya, inget gak ada Arga yang nyelamatin lo."

Arga lagi dan Arga lagi. Ana malas mendengar nama itu. "Jangan sebut nama dia."

"Kenapa?" Kelly menoleh ke belakang, ke tempat Ana duduk. "Lo lagi marahan sama dia?"

Ana bergumam pelan namun masih bisa didengar kedua temannya. "Gue ceritain di sana."

Mobil itu akhirnya sampai di salah satu club yang biasa mereka kunjungi—sebelumnya. Karina dan Kelly merasa begitu senang bisa mendatangi club setelah beberapa waktu lamanya mereka absen. Setelah menunjukkan kartu pass, ketiga orang itu masuk. Suasana club begitu ramai, aroma asap rokok berbaur dengan alkohol, beberapa orang menabrak tubuh Ana dan Ana mendorong kembali tubuh orang-orang itu.

"Jangan fly. Inget," Karina sekali lagi memperingati Ana. "Gue mau ke sana. Kel, jaga Ana."

Kelly yang duduk di kursi di bar itu mengangguk, dia memesan segelas tequila tanpa menawari Ana. "Jadi apa cerita lo?" Dia hampir setengah berteriak karena suasana riuh.

"Cowok bisa seahli apa tanpa latihan?" tanya Ana, tatapannya tertuju pada sosok Karina di dance floor.

Kelly menenggak tequila setengah. "Ha? Maksud lo apaan?"

Ana mengaitkan jemarinya. "Making love, harus berapa kali sebelum jadi pro?"

"Kalo itu sih gue gak tau, tapi practice makes perfect, kan? Jadi kalo misalnya lo belum pro nih ML sama dia ya wajar, lo kan minim pengalaman."

Bukan itu yang Ana maksud. Bahkan mulutnya saja kelu ketika ingin mengucapkan nama Arga. Bagaimana Arga bisa menjadi begitu ahli dalam bercinta. Sial! Harusnya Ana menyadari ini sejak awal, Arga bukanlah cowok biasa, dia... berbeda dari yang pernah Ana kira. Arga liar tentu saja, kemungkinan dia bisa mendapat pengalaman itu sejak sebelum mengenalnya. Sial! Sial!

Ana jadi semakin merasa gelisah, jadi dia bukan yang pertama untuk Arga dalam hal bercinta. Ya, harusnya Ana tau. Lalu kini dia semakin memikirkan kehidupan Arga di sana, apa Arga tetap akan menjaga diri? Ana tidak tau. Dia tidak mempunyai siapapun untuk menjadi mata-mata.

Ana turun dari kursi dan berjalan ke dance floor, dia memang tidak ingin menggerakkan tubuhnya hanya saja dia butuh kepalanya jernih. Mungkin kerumunan orang itu akan membawa pikirannya menjauh. Ana berdiri di sana, diam, tidak melakukan apapun, tubuhnya beberapa kali ditabrak namun dia bergeming.

Ana masih ingat jika Arga melarangnya clubbing, apapun alasannya, tapi Ana ingin. Dia ingin tau apakah Arga akan datang seperti sebelum-sebelumnya.

Seorang cowok menabrak tubuh Ana, dia memicing sejenak sebelum tersenyum, "Ana? Lo Ana, kan? Udah lama kayaknya gue gak liat lo di club ini."

Ana tidak tau siapa cowok itu, dia berusaha menjauh namun tubuhnya ditarik, Ana beringsut dan mendengus. Dia mendorong tubuh cowok itu namun tubuhnya kembali ditarik. Detik itu juga dia mendengar geraman marah seseorang.

"Jauhin tangan busuk lo sebelum gue patahin!"

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang