Bagian 38

169 8 4
                                    

Evan kembali menelponnya sehari setelah keberangkatan Arga. Atau mungkin orang itu sudah menghubungi sebelumnya namun karena ponsel itu mati dan baru diisi daya hari ini, panggilan itu baru terjadi.

"Dia pergi hari ini, kan?"

Ana mengernyit, dia ingin bertanya namun urung karena jawabannya sudah tersedia. Akhirnya dia hanya bergumam.

"Gue sengaja nelpon lo sekarang karena gue gak mau diganggu," kata Evan lalu terbatuk. "Atau lo mau gue telpon siang hari?"

Ana bergerak menyibak tirai jendelanya, mencari-cari sosok Evan namun tak dia temukan sosok Evan. "Rusuk lo gimana?"

"Bagus, gak ada masalah. Cuma tebakan dokter, gue aja belom CT Scan." Evan tertawa. "But Dear, that wasn't happened because of you."

"I knew it." Ana menghembuskan nafasnya berat. "How?"

"Just a little trouble. Gue kekurangan orang jadi ya mau gak mau gue kabur tapi gue beruntung nabrak mobil lo."

"Beruntung?"

"Keindahan apa lagi yang paling bagus selain ketemu lo, Ana. " Evan menyeringai.

"Wake up."

"Mimpi gue bahkan lebih bagus dari ini. Gue ada di sebelah lo. Gue yang ada di posisi Arga."

Ana memutar bola matanya, setiap ucapan dari Evan adalah hasil angan-angan cowok itu.

"Langit lagi banyak bintang, gue jadi bisa mandangin nyampe pagi nanti," kata Evan, suaranya terdengar lelah dan sedih.

Ana terdiam sejenak, kembali menyibak tirai dan melihat langit gelap. Tak ada bintang sama sekali, bahkan bulan pun tak nampak. Mungkin saja langit yang Evan lihat sekarang berbeda.

Terdengar desah napas Evan di seberang sana. "Gue lagi di Lombok."

Terkejut, bibir Ana membentuk huruf O. Dia kembali menutup tirai dan duduk di pinggir ranjang. "Lo cenayang ya?"

Evan terkekeh, pelan namun bukan seperti sebuah tawa senang melainkan sedih. "Gue udah bisa nebak apa yang lo lakuin, Ana. Gak terlalu susah kalo dipelajarin."

"Emang bisa?"

"Apa yang gak bisa dipelajarin di dunia ini?"

"Like... loving someone?"

"Lo cuma belum tau semua," ucap Evan. Dia kembali menatap langit berbintang. "Do you love him, Ana?"

Jemari Ana yang sedang bermain di atas selimut terhenti. Pertanyaan ini tidak terduga dan Ana tidak tau bagaimana menjelaskannya. Apa dia mencintai Arga? Ana tidak mengerti, dia tidak suka jika Arga di sana memeluk perempuan lain. Dia tidak suka jika Arga tidak memerhatikannya. Dia tidak suka jika Arga tidak jujur atas siapa saja teman perempuannya. Namun Ana juga tidak suka jika Arga terlalu posesif, mengatur dan menasehatinya.

"Mana mungkin gue nikah sama dia kalo jawabannya gak."

"That's not the answer, Ana. Loving someone isn't that simple as you think. You've never fallen in love, right?"

Ana menelan salivanya. "I have. Don't pretend that you know me clearly, Evan."

"Darren? It was your puppy love. Arga? I don't think that the guy deserves your love."

"How about you? Have you fallen in love before?"

"I have, and now I have one. You."

"Stupid. Yang lo rasain itu bukan cinta namanya, tapi nafsu."

"Apa bedanya? Gue mau milikkin lo gimanapun caranya. Dari mana lo tau kalo itu nafsu?" tanya Evan. "You can't, but I. Gue yang bisa ngertiin gimana perasaan gue sendiri, and someday you'll figure it out what love is."

"You think so? Ini perasaan gue, jadi gue yang bisa ngertiin gimana perasaan gue sendiri," ucap Ana setengah berseru. Dia kesal dengan perkataan Evan tentang perasaannya.

"You are an open book, Sweetheart. Meskipun lo gak pernah bilang tentang perasaan lo, tapi gue bisa ngerti, lo terlalu mudah dibaca."

"Stop. What do you want?"

"You, obviously."

Ana mendengus, ditatapnya pantulan dirinya di kaca jam di atas nakas. "Gue gak ngerti kenapa lo mau ngelakuin sesuatu yang gak bisa lo dapet."

"You are not a priest, you are you. Lo gak bisa nentuin gimana jalan ke depannya nanti."

Memejamkan mata, Ana menyadari seharusnya dia tidak perlu menjawab panggilan Evan. "Gue rasa obrolan ini gak ada gunanya sama sekali, kar—"

"Makasih, Ana. Seenggaknya gue gak ngobrol sama bintang aja. Wanna say hello to the star?" suara Evan menjadi sendu, desah napasnya terasa begitu berat dan seakan ada beban berat di pundaknya. "Ana?"

"Hello star, tell him to stop and wake up!"

Dengan kasar Ana memutus panggilan itu kemudian mematikan ponsel dan dilemparnya ke atas karpet berbulu. Mendesah keras, Ana menyugar rambutnya. Kepalanya terisi dengan perkataan Evan.

Do you love him, Ana?

"Fuck you Evan!"

Keesokan harinya, sebuah buket bunga mawar merah datang tertuju pada Ana. Awalnya dia mengira buket bunga itu dari Arga namun ternyata dari Evan. Ana mendesis dan membaca selipan kertas di sana.

Sleep well, Sweetheart?

I won't say sorry for what happened last night. I enjoy it. I do.

Ini bukan karena nafsu tapi cinta.

Love, Evan

Diremasnya kertas itu dan dilemparnya asal. Ana seharusnya tidak membiarkan Evan masuk ke dalam hidupnya. Dia tau Evan sosok yang berbahaya, membahayakan perasaannya. Oh tentu saja bukan karena Ana akan jatuh cinta pada orang itu, hanya saja perasaannya yang baru tumbuh pada Arga itu membutuhkan lebih banyak keyakinan. Lebih dari keyakinan pada Darren dulu.

Dia sudah bersumpah pada Tuhan bahwa akan mencintai Arga dalam keadaan apapun, dan Ana harus bisa menjaganya. Ana memang bukan manusia yang taat, tapi ini adalah ikatan suci antara dirinya dan Arga. Ikatan yang tidak bisa dia mainkan begitu saja.

Mendesis marah, Ana akhirnya menyuruh asisten rumah untuk membuang buket bunga itu sebelum akhirnya dia kembali memasuki kamar. Dia butuh Arga saat ini.

***

Judul ceritanya bakal gue ganti ya minggu besok

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang