Halo lagi!
Gatau, cuma pen double update aja.
Vote. Comment. Share.
Love y'all
***
"Van, thanks ya lo udah mau ngajak gue keluar," ucap Ana ketika sedan Evan berhenti di halaman depan rumah Kakek.
"Kenapa harus makasih segala? Buat lo seneng itu kewajiban gue, Ana." Telapak tangan Evan mengusap puncak kepala Ana. "An, jangan sedih lagi ya?"
"I'll try."
"Oke. Waktunya turun." Evan membuka pintu mobil lalu turun dan membuka pintu mobil untuk Ana. "Ana."
Ana yang baru sampai di teras itu menoleh.
"Ini tempat yang gue mau lo datengin." Diserahkannya sepucuk tiket pada Ana.
"Pameran poto?" Kening Ana mengernyit begitu melihat tiket tersebut. "Poto apa emangnya?"
"Tema pamerannya itu Beauty in Frame. Jadi beberapa photographer nunjukkin gambar-gambar yang berhasil mereka dapet."
"Kayaknya seru nih, gue—"
"Belum pernah ke sana sebelumnya," sambung Evan. "See you there, Ana."
"See you, Evan."
Ana melangkah memasuki rumah, di ruang tengah dia melihat Mama tengah menonton televisi, begitu melihat anaknya kembali Mama segera menyambut dan tersenyum.
"Ana, kamu udah makan, Sayang?"
"Udah Ma, tadi sama Evan," balas Ana.
"Hari ini Evan ngajak kamu ke mana?"
Ana yang sudah menapaki tangga itu berhenti sejenak untuk menjawab, "Cuma ke museum aja. Ana ganti baju dulu ya, Ma."
Memasuki kamar, Ana melihat Arga yang duduk di sofa. Laki-laki itu segera tersenyum ketika melihat Ana, tapi Ana segera melesat memasuki walk in closet berganti pakaian lalu keluar.
"Aku mutusin untuk pindah kuliah," ucap Arga tiba-tiba.
Ana mendelik, melihat kedua mata Arga yang sedikit bengkak dengan kantung mata. "Kenapa?"
"Aku mau jaga kamu."
"Ooh," respons Ana singkat, dia membuka pintu kamar dan keluar. "Ma, paketan Ana udah nyampe ya?"
Sadar atau tidak, Arga yang masih berdiri di belakang sana hancur berkeping-keping.
Malam itu hujan turun begitu derasnya, diiringi dengan gemuruh keras guntur yang saling bersahutan. Ana yang sudah berada di dalam selimut itu sudah mendengar rintihan Arga yang tidur di sofa sedari tadi. Laki-laki itu berusaha dengan keras agar suara rintihannya tidak terlalu keras, namun apa mau dikata, gelegar petir semakin menjadi-jadi hingga akhirnya dia menangis.
Ana menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak segera berlari dan memeluk Arga. Dia kasihan dan dia runtuh setelah mendengar Arga meraung dan menangis sedih.
"Ga, buka mata lo." Ana mengguncang tubuh Arga yang sudah berkeringat hingga kaus yang dikenakannya basah. "Ga!"
Akhirnya Arga membuka kedua matanya, dia menemukan sosok Ana dan segera menerjang ingin memeluk namun dia berhenti. "Gak. Gak. Maaf kalo aku bangunin kamu, Floana. Maaf."
"Ga." Ana meraih dagu Arga, berusaha melihat lebih jauh wajah Arga yang dipenuhi rasa takut dan air mata.
Demi Tuhan, Ana terkesiap ketika melihat Arga. Kedua mata laki-laki itu sudah memerah dan basah. Begitu mengenaskan dan menyedihkan. Arga mendorongnya menjauh, berharap Ana meninggalkannya di sana sendirian, tapi ternyata Ana malah memeluknya.
Tanpa sadar, Ana sudah mendekap tubuh Arga yang gemetaran. Ini lebih parah dari yang sebelumnya, jantung Arga begitu terasa bertalu-talu dengan kencang. Deru napas laki-laki itu sangat memburu, air mata yang mengalir juga seakan tak berhenti.
Ana juga ikut menangis. Menangisi semuanya. Pernikahannya dan nasibnya. Dia menangis bersama dengan Arga. Meleburkan semua angan-angannya dulu untuk hidup bersama dengan Arga, selamanya. Ana mendekap semakin erat ketika gemuruh petir makin menjadi-jadi, dia berusaha menenangkan semuanya. Ntah mengapa dia berpikir bahwa ini adalah pelukan terakhir yang bisa dia berikan untuk Arga.
***
Arga tidak tau apakah dia bermimpi atau tidak, namun yang jelas semalam dia merasakan jika Ana mendekapnya erat seakan tak ingin lepas. Tapi Arga sadar, mungkin saja karena semalam ketakutannya muncul jadilah Ana memeluknya.
Pagi ini ketika dia bangun, Ana sudah tidak ada di ranjang, istrinya itu sudah berada di teras depan, menemani Kakek meminum teh paginya. Arga izin untuk mengunjungi Papa karena Papanya semalam memberi pesan jika ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Di dalam ruang kerja Papa, Arga menunggu apa yang sekiranya ingin dibicarakan oleh Papa.
"Ini tentang Ana. Bagaimana dia bisa sampai hamil?" tanya Papa yang membelakangi Arga.
"Aku udah cerita semua sama Papa."
"Jelasin lagi."
Arga menghela napasnya. "Aku lupa pake pengaman waktu itu jadinya Ana hamil. Aku juga gak nyangka karena cuma sekali, aku kira dia gak bakal hamil."
"Papa masih tidak percaya. Apalagi melihat Ana yang juga tidak tau. Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua?" Papa melihat melalui bahunya. "Jangan bohong. Mama juga tau ada sesuatu sama kalian."
Arga menelan salivanya berat. Haruskah dia bercerita?
"Ini masalah keluarga aku, Pa. Jadi aku rasa Papa gak usah ikut campur."
"Papa bukannya mau ikut campur urusan kamu, cuma Papa ngerti gimana sikap kamu. Papa sama Mama cuma gak mau hubungan kamu sama Ana jadi buruk. Papa minta kamu mengerti perasaan Ana. Jangan memainkan perasaannya."
Sayangnya terlambat, Arga sudah bukan memainkan namun menjatuhkan perasaan Ana. Tanpa sadar Arga menitikkan air mata.
"Aku ngerasa hubungan aku sama Ana gak bagus, Pa. Aku udah nyakitin dia."
"Sebisa mungkin harus kamu urus masalah kamu dengan Ana. Bicarakan baik-baik. Jangan pakai emosi, ya? Papa akan bantu kamu sebisa Papa."
"Tapi aku gak ngerti lagi harus gimana, Pa."
Papa mendesah, dia bukannya tidak paham, namun turut ikut campur dalam masalah internal Arga bukanlah sikapnya. Dia hanya memantau Arga dari jauh namun bukan berarti tidak memedulikan Arga.
Arga mengangguk ketika Papa menepuk pundaknya. Namun dia tidak yakin akankah Papa membantunya ketika tau cerita yang sebenarnya. Arga rasa tidak. Perbuatannya tidak bisa ditolerir, apalagi pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TMH 2 - Hold Me Tight ✔️
RomanceMAU DIBENERIN A sequel to Take My Hand 17+ (Terdapat kata-kata kasar dan attitude yang tidak baik) Status Ana kini sudah berganti menjadi istri dari seorang Arga. Ana mengira kehidupannya dengan Arga akan dilaluinya dengan baik-baik saja namun terny...