Bagian 16

235 8 0
                                    

Setelah mendengar dongeng dari Viper, Ana segera terlelap tidur. Lalu ketika dia bangun kini tibalah hari pernikahannya. Ana sudah berada di sebuah ruangan di hotel Brats—yang pemiliknya adalah salah satu kolega Kakek.

"Lo cantik banget, An! Gila! Gila!"

Kedua temannya yang baru masuk ke ruangan itu segera berdecak kagum begitu melihat Ana dalam balutan gaun pengantin. Mereka bahkan hampir menitikkan air mata.

"Gak usah lebay deh lo bedua!" sungut Ana. "Gue cuma mau nikah ini bukan mau terbang ke Mars."

"Gue terharu masa gak boleh," balas Kelly. "Lo jangan lupa harus bahagia ya, An."

"Iya An. Gue... gimanapun juga lo temen baik gue. Ya walaupun lo rada brengsek tapi gue sayang lo," sahut Karina.

Ana tersenyum. "Thanks. Udah perfect banget belom gue?"

"Udah dong!" jawab Kelly dan Karina berbarengan.

Lagi-lagi Ana menyembunyikan semuanya dalam senyum. Perasaan ragu Ana semakin besar menjelang hari pernikahannya, pikirannya sudah berkelana mengenai kehidupan mereka setelah menikah. Akan bagaimana nanti? Dia tau jika waktu yang dihabiskan dengan Arga tidaklah banyak, meskipun sesekali keluar dengan cowok itu namun Ana tak pernah mau mengulik lebih dalam tentang Arga.

"Hello, Princess."

Ana sedikit berjengit begitu mendengar suara lembut mengalun di dekat telinganya, dia setengah mendongak dan sadar jika itu adalah Viper—Evan. "Gimana lo bisa masuk ke sini?"

"Mau gue jelasin gimana?" tanya Evan seraya berjalan memutari Ana. "Lo cantik."

"Thanks."

"Boleh gue rusak acaranya?" Ana mendecih. "Atau gue culik lo sekarang? Tapi kurang seru. You look so beautiful, Ana. I like it."

Ntah kenapa wajah Ana kini terasa menghangat, dia melirik Evan di sana yang kini mengenakan setelah formal—kemeja yang ditutup dengan jas hitam selaras dengan celana kainnya. "Gue harus manggil lo apa? Evan atau Viper?"

"Evan. Lo gak lagi nyewa gue."

"Nyewa?"

"Gue bisa jadi cowok sewaan buat lo, Ana. Kapanpun," desis Evan. "Remember what I said, huh? Gue bakal dapetin lo. Dapetin hati lo." Diusapnya rambut Ana yang tergerai itu lalu dengan gerakan lambat dia menggerakkan jemarinya menyusuri pundak terbuka Ana.

Ana melangkah mundur perlahan. Suara lembut Evan semalam bermain di kepalanya. "Lo gak ada kerjaan?" tanyanya.

Evan menggeleng pelan, rambutnya terkena sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela berlapis korden putih transparan. "Gue mau ngeliat lo tampil cantik hari ini. Gue gak mau ngelewatin ini sedetikpun."

"You better go now."

Evan tersenyum simpul sebelum akhirnya berlalu dari sana meninggalkan Ana dengan wangi tubuh cowok itu dan juga perasaan yang tidak jelas. Dia—Evan—adalah sosok yang berbeda dari yang pernah menculiknya. Kali ini mata itu menunjukkan keteduhan meskipun sejenak.

"Ana udah siap? Acara sudah hampir dimulai."

***

Ana melihat Arga berdiri di altar dengan tuxedo putih tulang yang senada dengan gaun yang dia kenakan. Sementara Ana tengah berjalan menuju altar bersama dengan Papa. Pandangannya beralih pada sosok di sana yang berdiri diam memandang dirinya intens. Evan memaku pandangannya, seakan tak berkedip dan tak ingin kehilangan momen satu detik saja. Sementara itu langkah Ana terasa berat, dia ingin Papa berhenti sejenak namun itu tidak mungkin.

Arga memandangnya dengan senyum lebar ketika akhirnya Papa melepasnya di altar. Wajah Arga berseri bagaikan bunga di pagi hari. Sejenak Ana merasa dunianya menjadi sunyi, perkataan Pendeta di sebelahnya tak terdengar. Para tamu memandang ke arahnya dengan pandangan penuh suka cita bahkan Ana bisa melihat kedua temannya hampir menitikkan air mata. Lalu bagaimana harusnya dia bersikap? Sebuah perasaan mengganjal masih terasa di hatinya. Sedetik kemudian dia melihat Evan kembali. Bibir cowok itu berucap namun Ana tidak tau apa yang dikatakan olehnya.

"Floana."

Kedua mata Ana mengerjap bingung ketika Arga memanggil namanya. Dia memandang ke arah Arga dan juga Pendeta. Pendeta itu kembali mengucapkan kalimatnya.

Semilir angin menerbangkan tudung kepala Ana. Dia menghembuskan nafasnya perlahan, menghitung sampai tiga dalam hati sebelum menjawab, "Ya, saya bersedia."

Setelah itu semuanya terasa begitu cepat, mereka sudah bertukar cincin lalu akhirnya Arga menciumnya lamat-lamat sehingga Ana merasa ini begitu lama. Ketika akhirnya ciuman itu terlepas dia menyadari kini hanya dirinya yang masih merasa bimbang.

"ANA LEMPARIN KE GUE YA ANJIR!" Karina berteriak bersemangat begitu Ana bersiap melempar buket bunga. Di sebelah Karina, Kelly juga tak kalah bersemangat.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Arga setelah keduanya berdiam sejak beberapa menit yang lalu. Kedua tangannya menyentuh tangan Ana.

"I'm okay," jawab Ana sekenanya. Lalu dia bersiap untuk melempar buket bunga itu bersama dengan Arga. Kemudian buket itu melambung dan jatuh, bukan di tangan Kelly dan Karina tapi saudara Arga.

Sontak kedua teman Ana itu merajuk dan menyalahkan Ana karena dia salah melempar. Sementara itu Ana meringis.

"Kamu kenapa?"

Ana menoleh pada Arga. "Gue nggak apa-apa, Ga."

Arga tentu saja tidak percaya begitu saja, dia menggiring Ana ke salah satu sudut. Kedua matanya menilik Ana. "Aku minta maaf atas kesalahan aku waktu itu. Aku diluar kendali. Aku tau itu menyakiti kamu," katanya lembut. Jemarinya menyusuri wajah Ana dan menangkupnya. "Aku salah. Aku nggak bisa ngontrol diri aku, Floana. Aku tau mungkin kamu belum bisa maafin aku tapi aku nggak bakal maksa kamu. Aku sayang kamu, Floana." Wajahnya mendekat lalu mencium dahi, kedua mata Ana lalu beralih ke kedua pipi Ana.

Ciuman ini terasa berbeda, Arga menumpahkan segala bentuk sayangnya pada Ana. Tidak menggembu dan tidak membara. Ini adalah ciuman yang manis yang Ana rasakan. Ciuman yang berbeda yang pernah Arga hadirkan. Perlahan Ana menitikkan air matanya. Kedua tangannya memeluk leher Arga, dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher cowok itu yang kini sudah berstatus sebagai suaminya.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang