Bagian 72

149 14 19
                                    

Halo, para fans!

***

Awalnya Evan hanya berniat melajukan mobilnya tanpa tujuan, sekadar menghabiskan bensin di tangki mobilnya. Sedan itu berhenti di persimpangan ketika rambu lalu lintas berubah merah. Evan memerhatikan sekeliling ntah mengapa dia teringat akan Ana ketika melihat seorang perempuan berwajah begitu pucat dalam boncengan motor. Wajah itu begitu mirip dengan Ana, membuat perasaan Evan jadi tidak nyaman. Suara klakson nyaring segera menggema ketika mobil Evan tak kunjung berjalan. Evan tersentak dan melajukan mobilnya, diraihnya ponsel di atas dashboard. Perasaannya kini was-was, dia memutar arah mobil tiba-tiba hingga hampir bertabrakan.

Dengan ponsel di tangan, Evan berusaha menghubungi Ana. Dia takut. Dia khawatir. Panggilan itu diangkat.

"Halo, Ana."

"Too ... l ...."

"Ana! Ana!" Evan berteriak namun tak ada yang menyahut, sambungan itu belum terputus tapi dia tidak bisa mendengar suara Ana sama sekali.

Dengan perasaan yang kalut seperti ini, Evan menginjak pedal gas dalam-dalam, tak peduli dengan jalanan yang ramai. Mobilnya bahkan harus menyentuh pinggiran trotoar tapi dia tidak peduli, Ana lebih penting saat ini. Meskipun kecepatannya gila-gilaan, namun Evan masih merasa kurang cepat. Lima menit kemudian dia baru sampai di rumah Ana, pintu yang terkunci itu segera didobrak.

"Anaa! Anaa!" Evan berseru memanggil namun tak ada jawaban, dia membuka pintu kamar dan terkejut melihat Ana yang tergeletak di atas karpet berbulu. "Ana. Ana."

Dalam pangkuannya wajah Ana terlihat begitu pucat pasi, tak ada respons dari Ana meskipun Evan sudah menepuk-nepuk pipi Ana. Dia melihat darah mengalir dari selangkangan Ana. Darah itu merembes menodai karpet berbulu di bawahnya.

"Sial!"

Evan menyelipkan tangannya di bawah lutut Ana dan satu lagi melingkari ketiak Ana, diangkatnya tubuh Ana dan Evan merasakan pilu ketika melihat darah itu. Terlalu banyak. Ana bisa saja dalam keadaan bahaya.

Dia memasukkan Ana ke dalam mobil, lalu dilajukan mobil itu gila-gilaan.

Dengan kepala tertunduk seraya kedua tangan menopang kepala, Evan menunggu bersama dengan keluarga Ana—yang dia hubungi tadi—lalu Arga dan keluarga Arga. Mereka semua menunggu kabar Ana yang sedang berada di ruang UGD. Mereka semua khawatir dan berharap jika Ana tidak kenapa-napa belum lagi karena Dokter yang menangani bukan hanya satu. Mama Ana sempat bertanya pada Evan namun Evan pun tak bisa memberikan jawaban mengapa Ana bisa sampai seperti itu.

"Evan, kamu ganti baju kamu dulu ya? Ini Tante bawain kamu baju ganti."

Evan mendongak dan melihat Mama Ana menyodorkan paper bag padanya. "Makasih, Tante."

"Tante yang harusnya makasih sama kamu. Ya udah ganti baju kamu dulu ya."

Evan mengangguk dan menerima paper bag itu. Dia tidak sadar jika kaus dan celana bahkan telapak tangannya pun bernoda darah. Darah milik Ana. Evan membersihkan sisa-sisa darah di telapak tangannya, menghilangkan darah itu. Ketika dia keluar dari toilet, dillihatnya Arga dan Kakek yang sedang mengikuti Dokter yang baru keluar dari UGD.

Ana keguguran.

Itu yang Arga sampaikan begitu keluar dari ruangan dokter. Semua terkejut. Semua terhenyak. Evan bisa melihat bagaimana orang tua Ana yang nampak terpukul hingga tidak bisa berkata-kata, lalu Arga hanya bisa tertunduk di sana. Ini semua benar-benar mengejutkan.

Menurut dokter, Ana keguguran karena kandungannya lemah selain itu konsumsi alkohol berlebih membuat janin di tubuh Ana tidak bisa bertahan.

Ketika kondisi Ana mulai stabil, Dokter memperbolehkan Ana dipindahkan ke ruang rawat. Ingin sekali rasanya Evan ada di sana, menggenggam jemari Ana, menguatkan Ana. Namun dia sadar dia bukanlah siapa-siapa di sini. Dia hanyalah Evan. Laki-laki yang dikenal sebagai teman Ana.

Dari bangkunya, Evan melihat Arga yang keluar dari ruangan dengan mata berair dan pundak yang bergetar. Kedua tangan Evan terkepal, menahan gemuruh emosi untuk menerjang Arga sekarang juga. Arga sudah membuat Ana-nya tersiksa. Dia sudah membuat Ana menderita sedemikian rupa hingga akhirnya Ana pun harus kehilangan hartanya lagi.

Evan baru bisa melihat kondisi Ana ketika keadaan di sana sudah sepi. Dia melihat wajah tenang Ana yang pucat di sana. Ketika Evan mengambil duduk, kedua mata cantik Ana terbuka dan tersenyum.

"Evan," kata Ana serak.

"Hai, Ana." Evan menggenggam satu tangan Ana lalu dikecupnya punggung tangan itu. "Lo pucet."

Ana meringis. "Kenapa?"

"Masih tetep cantik. Lo tidur aja, atau mau gue dongengin?"

"Boleh." Ana kembali menutup kedua matanya selagi Evan bercerita.

Evan masih setia menggenggam tangan Ana erat. Kabar keguguran ini memang tidak akan disampaikan pada Ana, tidak ketika Ana belum siap. Takut jika nanti ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Evan menutup pintu di belakangnya pelan, Ana sudah terlelap tidur. Dia duduk di bangku panjang di lobby disusul dengan Arga.

"Makasih udah mau nolongin Ana," ucap Arga pelan.

Evan mendengus keras. "Dia hamil dan lo sama sekali gak pernah jaga dia."

"Iya, gue tau."

"Lo bener-bener brengsek."

Arga menunduk, wajahnya penuh penyesalan. "Gue emang brengsek, terlalu banyak nyakitin Ana."

"Let her go or I'll take her," desis Evan tajam. "Harusnya gue bunuh lo dari awal. Ana terlalu banyak menderita karena lo."

Gemuruh amarah Evan sudah berada di ubun-ubun, dia tidak bisa menahannya kecuali pergi dari sana. Melihat wajah Arga semakin membuatnya mengingat jika orang itu yang sudah membuat Ana menderita. Dia tidak akan membuat Arga kembali menyakiti Ana. Tidak akan pernah.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang