Bagian 65

144 11 3
                                    

Ini kalo gue jadiin cerita berbayar gimana? Nanya aja, gabakal diberbayarin juga kok (Tapi kalo ada opportunity kenapa gak, hehe)

Btw klean dukung sapa?

Ana?

Arga?

Gue sih Chelsea.

***

"An, Ana. Astaga, lo ngapain ujan-ujanan gini?" Dion dengan tangan memegang payung itu berdiri memayungi tubuh Ana yang sudah basah kuyup. "Masuk ke mobil ya, kalo kelamaan kena ujan nanti lo sakit."

Ana membiarkan tubuhnya dihela masuk ke mobil Dion. Dia menerima handuk yang diangsurkan oleh Dion untuk mengeringkan tubuhnya.

"Lo habis dari mana, An?" tanya Dion.

"Habis nemuin mereka," jawab Ana sekenanya.

"Sori An, gue gak punya jaket." Dion menerima handuk dari tangan Ana dan meletakkannya di jok belakang. "Lo gak bilang dulu sama gue?"

"Gue gak ngerti lagi gimana posisi gue di mata Arga. Dia cuma mainin gue selama ini."

"An, gue gak bakal dukung Arga sama sekali. Dia emang brengsek."

"Ya, dia brengsek. Mulut dia manis banget ngerayu. Gue yang serasa jadi orang ketiga."

"Lo mau ke mana, An? Gue bisa nemenin lo."

"Di sini dulu. Gue gak mau ke mana-mana."

Dion mengangguk dan membiarkan mobilnya itu berdiam di sana selama beberapa menit sampai akhirnya Ana memintanya mengantarkan ke rumah Papa Satria. Ana turun dan meminta Dion menunggu di dalam mobil. Ketika dia memasuki gerbang, sosok Arga yang tengah duduk di teras itu segera beranjak menghampiri.

"Floana, kamu ke mana aja?" tanya Arga tajam alih-alih khawatir.

Ana diam dan tetap melanjutkan melangkah memasuki rumah, dia melepas sepatu keds dan juga kaus kakinya yang basah. Kemudian dia menuju kamar mandi.

"Floana, jawab aku. Kamu dari mana aja?" Arga mencekal satu tangan Ana.

"Ck! Apa sih? Kamu gak liat aku basah kuyup gini? Lepas! Aku mau mandi!" Menepis tangan Arga dengan cukup kasar, Ana segera memasuki kamar mandi.

Lima belas menit berselang Ana sudah keluar, dia mengenakan pakaian yang sempat dia bawa, namun kedua kakinya terpaksa polos karena Ana tidak membawa sepatu ganti.

Lagi-lagi Arga mencekalnya. "Kamu mau ke mana? Urusan kita belum selesai."

"Urusan apa lagi?"

"Urusan tadi. Kekasaran kamu tadi."

Ana memutar bola matanya. "Kasar? Aku kan udah biasa kasar. Bahkan bisa lebih kasar."

"Tapi kamu gak harusnya kayak gitu lagi. Kamu bukan anak kecil. Kamu bukan anak SMA lagi."

"Ya emangnya kenapa? Suka-suka aku." Ana melepas cekalan Arga dan bersiap melangkah, tapi tubuh Arga kini menghalangi. "Apa lagi?"

"Kamu lama-lama makin jadi ya. Harus gimana aku ngasih tau kamu? Udah berulang kali aku bilang kalo aku sama Kalisa itu gak ada apa-apa." Arga hampir menggeram.

"Aku capek ngomong hal yang sama kayak gini," Ana menghela napas berat. "Mending kamu pergi, temenin pacar kamu."

"Floana!"

"Oke. Kamu pilih, aku atau dia?"

"Aku gak akan milih. Itu egois namanya."

"Ha? Udah gila kamu ya. Udah deh, aku males ribut di sini. Lepas! Lepas gak?! Anjing!"

"Jangan main kasar, Ga!" Dion setengah berseru seraya mendorong tubuh Arga mundur. "Lo gak denger apa kata Ana? Dia mau lo lepasin dia!"

"Lo! Gak usah ikut campur!"

"Gue harus ikut campur. Udah gila kali lo ngebentak istri sendiri. Kita pergi dari sini An." Tanpa banyak berkata, Dion segera menarik tangan Ana, membawanya kembali memasuki mobil. Tanpa peduli dengan Arga yang marah di sana.

"Mau langsung ke bandara?" tanya Dion di tengah perjalanan.

Ana menggeleng. "Anterin gue ke hotel aja."

"Oke. Gue cariin lo hotel yang sesuai."

Arga berusaha menghubungi Ana, dengan sms dan juga telpon tapi Ana tak menggubrisnya. Bahkan dia memblokir nomor ponsel Arga karena begitu mengganggu. Malam baru saja turun ketika Ana duduk santai di pinggir kolam renang hotel.

"Halo, Ana."

"Evan." Ana menoleh terkejut. "Lo ngapain di sini?"

"Ada kerjaan. Gak, bukan kerjaan kayak gitu, Ana," jelas Evan ketika melihat mata menyelidik Ana. "Kerjaan yang bener-bener kerjaan. Gue gak nyangka ketemu lo di hotel yang sama. Kamar nomer berapa?"

"Gak bakal gue kasih tau."

"Ayo keluar. Cari sesuatu yang baru." Tau-tau Evan sudah berdiri di sebelah Ana seraya mengulurkan tangannya.

"Gue bisa jalan sendiri."

"Gue maksa." Evan akhirnya meraih jemari Ana dan menggenggamnya. "Lo pasti suka."

Ternyata Evan membawa Ana berkeliling dengan menaiki delman. Sebelum menaiki delman, Evan berbincang dengan kusir dalam bahasa Jawa halus yang begitu fasih.

"Aksen Jawa lo bagus juga," puji Ana ketika Evan duduk di sebelahnya.

"Kenapa? Kaget?"

Ana mengangguk. "Muka-muka lo itu ya gak keliatan kayak orang bisa ngomong Jawa."

"Gue juga bisa nyanyi lagu Jawa. Mau denger?"

Ana memejamkan kedua matanya, merasakan segarnya angin malam dan juga suara merdu Evan. Jemari Evan bergerak untuk menggenggam jemarinya. Ketika Ana membuka mata, dia melihat Evan yang juga menatapnya tanpa berkedip. Beberapa saat kemudian Ana memalingkan wajah karena dia merasakan pipinya merona.

"Lo udah pernah makan gudeg asli Yogya?"

"Belom. Lo mau ngajak gue?"

Evan mengangguk. "Kita habisin waktu di sini, Ana."

Ana tersenyum lalu mengalihkan pandangan. "Stop capturing me."

"Gak mau, dan gak akan. Lo terlalu bagus untuk dilewatin gitu aja."

"Oh iya, kemaren ulang tahun kakak lo, kan? Ayo sekalian rayain."


TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang