Bagian 31

171 9 4
                                    

Ana bukannya mau menunggui Evan sampai tersadar, namun dia tidak mau dianggap buronan karena meninggalkan Evan yang dalam keadaan luka itu di sini. Ana cukup sadar diri tidak ingin memancing masalah lebih jauh.

Dia baru saja hendak mengurus administrasi ketika seorang cowok yang usianya hampir sama dengan Evan mendatanginya, tampilannya sedikit kacau.

"Floana?" Napas cowok itu menderu.

Ana mengangguk. "Lo isi nih administrasinya," katanya.

Tadi, Ana memang sempat meminta perawat medis mengeluarkan barang-barang milik Evan. Tentu saja Ana masih bisa berpikir panjang, dia segera menyambar ponsel Evan—yang beruntungnya tidak memiliki kode—dan menghubungi nomor terakhir di riwayat panggilan masuk dan keluar itu. Akhirnya orang yang dihubunginya itupun datang.

Ana segera menyerahkan ponsel dan juga dompet pada orang di depannya. Lalu tanpa mengucapkan apapun Ana pergi dari sana. Orang rumah pasti akan bertanya mengapa dia begitu lama, alasan yang Ana berikan tentu saja Kelly yang mengundangnya untuk mencicipi makanan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh Kelly dan juga alibi yang bagus untuk Ana.

Setibanya di rumah, setelah mengutarakan alasannya pada Kakek dan Papa, Ana segera menuju kamarnya. Dia menelentangkan tubuhnya di atas ranjang, kedua matanya baru saja hendak menutup ketika ponselnya berdering.

"Hmm," Ana bergumam tanpa membuka matanya.

"Kamu udah tidur?"

"Belom."

"Do you still mad?"

Ntah. Ana juga tidak tau apa dia masih marah dengan Arga atau tidak. Tapi dia ingat, dua hari kemarin Arga tidak menghubunginya. "Gak tau." Dia mengalihkan pandangannya.

"Aku cuma—"

"You know what, mungkin aku yang salah, gak bisa mandiri. Gak bisa ngurus semuanya sendiri, sori udah ngecewain kamu."

"Floana," suara Arga merendah. "Maaf, aku gak bermaksud—"

"Ga, aku capek. Mau tidur. Bye." Tanpa mau berlama-lama, Ana memutus panggilan itu dan melempar ponselnya hingga membentur kepala ranjang. Lalu terdengar bunyi pesan masuk.

Ana tak mau membukanya, dia beralih untuk mencuci muka dan berganti pakaian. Saat berganti pakaian, Ana melihat ponsel dari Evan. Ponsel itu masih terisi delapan puluh persen daya dengan empat puluh dua panggilan tidak terjawab dan sepuluh pesan masuk. Ana mengabaikan ponsel itu dan mengembalikan ke tempatnya.

Yang Ana butuhkan adalah istirahat. Meskipun hari ini kegiatannya tidak begitu banyak namun perasaannya terasa lelah. Dia jadi teringat akan Arga dan ucapannya. Ana tidak suka. Dia benci. Ini adalah dirinya harusnya Arga bisa menerima itu bukannya malah...

Ana menggeram tertahan dan melompat ke atas kasur dengan posisi diagonal, kedua matanya perlahan mulai meredup hingga akhirnya dia jatuh tertidur.

***

Begitu tau Ana memutus panggilannya secara sepihak, Arga segera mengirimi istrinya itu sebuah pesan singkat meskipun dia tau tidak akan dibaca. Sejujurnya Arga merasa sedikit frustrasi menghadapi sifat keras kepala Ana, belum lagi dengan kehadiran Viper atau Evan atau siapapun namanya. Arga tau dengan riwayat yang pernah dia miliki bersama dengan Evan, cowok itu akan berusaha mendekati Ana dengan cara apapun. Sejak awal pernikahannya saja, Evan sudah berani muncul meskipun Arga tidak tau dia berada di mana. Dan kini dia berani-beraninya menghubungi Ana.

Tapi ada satu hal yang membuat Arga kian meradang yaitu Ana yang menutupi kenyataan. Tidak tau untuk maksud apa, apa mungkin agar dirinya tidak marah? Tapi membunyikan fakta seperti ini malah membuatnya semakin marah, hingga dia sering kali bertindak diluar kontrol nafsunya. Dia ingin Ana hanya menjadi miliknya seorang.

Arga memang sudah pernah memblok nomor Evan dari ponsel Ana tapi tiba-tiba beberapa hari yang lalu Ana bilang bahwa Evan menghubunginya. Sial. Sial. Ini yang Arga kesalkan, Evan bisa bergerak semaunya ketika dia jauh. Keputusannya segera terbang ke Jakarta kala itu untuk memastikan Ana tetap ada untuknya, tetap menjadi satu-satunya tuan rumah yang mengijinkan miliknya masuk. Walaupun begitu Arga tetap saja kalut dalam perasaannya sendiri.

Ana memang selalu terbuai dengan sentuhannya tapi itu adalah reaksi tubuhnya, bagaimana dengan hati perempuan itu? Arga percaya dengan Ana tentu saja tapi ketakutannya mengalahkan rasa percayanya. Itu membuatnya sering melampiaskannya dalam bentuk balapan dan juga alkohol, tapi hanya sesaat karena ketika dia bangun esok harinya, dia sadar bahwa Ana tetap saja bisa pergi dari sisinya.

"Clubbing yok, Ga," ajak Kenzo yang baru saja masuk.

"Gak! Arga baru aja kemaren clubbing." Kalisa yang duduk di sebelah Arga itu menolak, dia menggeser duduknya hingga lengannya menyentuh lengan Arga. "Inget ya Ga, gue gak ngebolehin lo clubbing hari ini. Di sini aja sama gue. Gue bikinin kopi kesukaan lo."

Arga menyunggingkan senyum miring. "Lo denger sendiri gimana omongan dia."

Kenzo mendecih lalu menghalau agar Kalisa pergi dari sana. "Gimana kabar istri lo?"

"Baik. Kenapa nanyain?"

"Eh jangan negative thinking dulu, gue cuma basa-basi anjirlah. Gak usah melotot!"

"Assalamualaikum, ya Ahli Kubur!" Dion yang baru datang itu tersenyum lebar, langkahnya begitu mantap kala duduk di sofa single di sebelah Kenzo. "Tegang amat kayak junior gue. Kenapa?"

Arga dan Kenzo kompak melempar wajah Dion dengan kulit pisang yang ada di atas meja.

"Eh, eh, apa-apaan! Lo semua ini kayak anak kecil aja." Kalisa meletakkan kopi untuk Arga itu di atas meja. "Sesuai sama kesukaan lo," katanya seraya tersenyum lebar.

"Thanks, Kal." Arga menggeser kopi itu mendekat. "Lo ajak Dion aja clubbing."

"Ha? Clubbing? Gue gak salah denger? Gue gak suka clubbing asal lo tau, Ga."

Di antara lingkaran pertemanannya di Yogyakarta, Dion adalah orang yang tidak pernah clubbing dan meminum minuman beralkohol.

"Kusut amat muka lo, kangen bini?" tanya Dion yang sudah tau kebiasaan Arga jika memasang tampang jenuh.

Arga hanya mengangguk pelan. "Gue kayaknya gak bisa jauh-jauh sama dia." Kepalanya mendapat jitakan dari Kenzo. "That's the truth." Dia menyesap kopinya yang terasa begitu pas di lidah, disunggingkannya senyum pada Kalisa. "There's a thick line between that and this."

"Ceritain ke gue nanti. Ngantuk banget gue." Kenzo akhirnya berlalu dari sana.

"Lo kan yang bilang sendiri kalo Ana emang kayak gitu. Maklumin lah, dia butuh proses, Dude."

"Tapi proses juga gak harus pake waktu lama." Kalisa buka suara. Nadanya sedikit ketus tapi Arga menghadapinya dengan santai.

Sebelah tangan Arga merangkul Kalisa. "Betapa perhatiannya sahabat gue dari orok. Beliin gue es krim dong."

Kalisa memberengut sesaat sebelum akhirnya tersenyum. "Dua, kan?"

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang