Bagian 71

180 13 21
                                    

Halo, Pemirsa!

Besok gak muncul dulu ya. Balik lagi Selasa kalo gak Rabu. Nuhun.

***

Ana menuangkan wine ke dalam gelasnya dan juga gelas Evan. Lalu diendusnya bau wine yang memabukkan dan menenangkan.

"Jadi ini bisnis Bokap lo?"

Evan mengangguk dan menyesap wine-nya. "Udah dua puluh tahun dia bisnis ini. You can take the wine as much as you want."

"I like this one."

"Ah ini, kalo lo mau liat gimana bentuk pabriknya."

Ana memperhatikan foto yang ditunjukkan oleh Evan. "Kalo anggurnya dari mana?"

"Bokap punya ladang juga di Prancis. Tapi masih butuh juga dari tempat lain."

"Dan lo bakal ngelanjutin bisnis ini?"

Evan mengangguk. "Ini bisnis keluarga Karskov, Ana. Bisnis utama, dan gak bisa mati gitu aja karena bisnis ini udah punya nama."

"I see." Ana menyesap wine-nya. Dirasakannya Evan menggenggam tangannya.

"Kenapa? Ada sesuatu?"

"Sabtu nanti Kakek mau ngadain makan malam. Keluarga gue sama keluarga Arga. Gue gak tau harus gimana."

"Face it, Ana. Lo harus ngehadapinnya mau gak mau sebelum lo ngambil keputusan besar."

"Kalo tau bakal gini, dari dulu gue gak bakal nerima semuanya, Van."

"Don't say it, Ana. Jangan ngebuat gue bawa lo kabur sekarang juga. Gue mau dapetin lo baik-baik."

"Kenapa lo masih nahan diri?"

"Karena gue gak mau nyakitin lo. Gue bakal nunggu meskipun itu butuh seribu tahun, Ana," Evan menangkup wajah Ana, "lo rumah bagi gue dan ke manapun gue pergi, gue bakal balik lagi ke lo."

Ana memejamkan kedua matanya, merasakan kehangatan yang dihantarkan oleh kedua tangan Evan. Ketika membuka mata dia melihat wajah Evan yang kian dekat hingga bibir mereka akhirnya bertaut manis.

Ana memotong steak di depannya dengan tidak berselera, garpu itu akhirnya hanya mengambil sayuran yang ada di piring itu.

"You don't like it, Floana?" tanya Arga—yang duduk di sebelahnya—pelan.

Ana menoleh namun tak menjawab alih-alih dia menggeser piring itu.

"Kamu kenapa, Ana?"

"Gak apa-apa, Ma. Ana cuma gak nafsu makan," jawab Ana lalu menyesap minumannya.

"Kamu sakit, Floana?" Raut wajah Arga terlihat khawatir, dia menggenggam satu tangan Ana yang berada di atas paha. "Kenapa?"

"I'm okay," kata Ana tajam, dia menepis tangan Arga begitu saja.

Ana akhirnya hanya menyimak pembicaraan dua keluarga itu, Ana hanya menjawab singkat setiap ditanya. Papa Satria menawarkan liburan selama seminggu di Lombok tapi Ana langsung menolaknya. Dia sudah merasa malas untuk berada di sini apalagi harus duduk bersebelahan dengan Arga. Rasanya dia sudah tidak sanggup, untunglah acara makan malam itu tak lama. Ana kembali ke rumahnya bersama dengan Arga.

"Floana, we need to talk."

"Do we?"

"Aku gak akan tidur satu kamar sama kamu mulai sekarang."

"Bagus." Ana melepas heels-nya asal, lalu dia membuka pintu kamar dan menutupnya. Tak lama dia keluar, mengambil sebotol wine dan dua gelas. "Sit."

Arga menurut, dia duduk di sofa di seberang Ana. Dilihatnya Ana menuang wine ke dua gelas di sana. "Jangan terlalu banyak, kamu gak bisa minum alkohol."

Bibir Ana yang berada di bibir gelas itu bergeming sebelum dia menyesap wine.

"Aku udah banyak salah dan aku tau kamu gak akan maafin aku. Nyampe nanti mungkin. Iya, aku salah karena aku suka sama Kalisa. Aku salah karena lebih ngebela di—"

"Gue gak punya waktu untuk denger lo ngedongeng."

"Maaf aku gak bermaksud kayak gitu."

Ana menaikkan satu alisnya dan kembali menyesap wine. Kesunyian mengisi di antara mereka berdua. Tak ada yang berucap sama sekali karena Ana terlalu malas sedang Arga sibuk memerhatikan Ana.

***

Karena perkuliahan semester itu sudah usai, Arga menetap di Jakarta selama liburan. Mau tak mau Ana juga harus menganggap sosok Arga ada. Meskipun begitu dia tetap melakukan kegiatannya, keluar bersama dengan temannya ataupun Evan. Sesekali Arga menegurnya karena gaya berpakainnya yang terlalu terbuka, tapi Ana hanya melengos begitu saja. Namun Ana tau Arga mengikutinya, beberapa kali matanya tak sengaja menangkap sosok Arga di kejauhan.

Ana tak mengerti dengan Arga, setelah beberapa badai dan gelombang berat yang dihadapinya, orang itu baru datang, seakan-akan semua masalah sudah selesai. Padahal nyeri masih Ana rasa di hatinya. Semuanya masih terasa baru dan menyakitkan dan terkadang membuatnya sesak bahkan ketika berdekatan dengan Evan.

Ntah berapa lama mereka menghabiskan hari dalam diam, pagi hari dimulai, Ana memakan makannya di kamar dan membiarkan Arga menikmati sarapan di ruangan lain. Waktu lebih banyak Ana habiskan di kamarnya. Arga memang benar tidak tidur sekamar dengannya lagi, tak ada lagi ciuman dan panggilan sayang. Semuanya menghilang.

Liburan semester terasa begitu panjang untuk Ana habiskan dengan melihat wajah Arga, walaupun dia menghabiskan hari dengan berada diluar, tapi hari seakan berjalan lambat. Dia tidak bisa menghindar dari Arga karena akan membuat keluarganya bertanya-tanya. Ana memang bisa saja melaporkan kelakuan Arga tapi dia ingin Arga yang mengaku, bukan dirinya. Dia ingin Arga yang berbicara semuanya secara jelas jalan pernikahan mereka yang masih dalam hitungan bulan ini.

Ana bangun pagi itu karena merasakan perutnya yang melilit sakit. Turun dari ranjang dia keluar dari kamar untuk mengambil minum. Dilihatnya dua botol wine yang sudah kosong dan satu lagi yang masih tersisa setengah. Selama dua minggu ternyata dia sudah menghabiskan dua botol wine. Bukan tanpa alasan, dia meminum minuman beralkohol untuk menyegarkan pikirannya yang berat. Semakin sering melihat Arga maka semakin berat pula pikirannya, dia stress, sangat.

Tidak, Ana salah, dia tidak bisa pura-pura tidak peduli dengan semuanya. Dia memikirkan pernikahannya, keadaannya tidak akan bisa seperti ini terus menerus. Suatu hari nanti Ana harus memutuskan yang terbaik baginya.

Perut Ana terasa semakin melilit hingga dia harus memeluk dirinya. Sudah beberapa hari Ana merasakan perutnya melilit, mungkin saja ini karena jadwal haidnya yang segera datang. Kembali ke kamar, Ana melihat kalender di ponselnya, rasanya dia sudah telat dua minggu. Perutnya melilitnya kencang dan menyakitkan hingga membuat Ana jatuh dengan lutut sebagai tumpuan. Tak pernah dia merasakan seperti ini sebelumnya. Demi Tuhan, rasa sakit ini begitu menusuk, Ana mengerang dan merintih, ketika menunduk dia melihat darah merembes dari selangkangannya dan turun ke kedua kakinya.

"Argaa ... Argaa ...," Ana memanggil namun tak ada respons, meringis dia mengambil ponselnya kembali dan melihat ada sebuah pesan dari Arga.

Bastard : Floana maaf aku ke rmh papa. aku gk mau bangunin kamu jadi aku pergi sendiri

Ana mengerang, kepalanya terjatuh ke sisi ranjang. Dia berusaha menghubungi Arga namun nihil. Air mata Ana bergulir turun ketika rasa sakit itu semakin menghantam, kepalanya ikutan berdenyut sakit. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh, rasanya Ana akan mati saat itu juga lalu ponselnya bersuara.

"Too ... l ...." Belum sempat selesai ucapannya, kegelapan sudah menguasai tubuh Ana.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang