Bagian 53

126 10 6
                                    

Ana terbangun karena mendengar suara tertawa Arga bersama perempuan. Dia segera turun dari ranjang, memakai kembali jinsnya. Ketika membuka pintu dilihatnya sosok Arga tengah duduk berdua dengan Kalisa, sebuah laptop terbuka di meja dengan dua gelas kopi panas mengepul di sana.

Ana segera menghampiri Arga dan mencium pipi Arga. "Morning, Baby," katanya sarat nada menggoda. "Kamu gak bangunin aku?"

Sebelah tangan Arga memeluk pinggang Ana yang duduk di lengan sofa. "Aku tau kamu kecapekan karena baru dateng. Kamu mau sarapan?"

"Iya, aku bawain sarapan tadi," kata Kalisa cepat membuat Ana hampir saja memutar bola mata.

"Gak usah, Karina nanti mau bawain aku makanan."

"Kamu mau mandi dulu? Handuk aku ada di deket kamar mandi, kamu pake baju aku aja. Nanti siang aku mau futsal. Kamu mau ikut?"

Ana mengangguk dan tersenyum lebar, kemudian dia segera mendekatkan wajahnya pada Arga. "Kamu mau ikut aku mandi?" bisiknya sensual di telinga Arga.

"Floana."

"Aku bercanda. Aku mandi dulu." Ana mengecup leher Arga sebelum akhirnya dia beranjak dari sana.

Biar saja Kalisa melihat semua itu, Ana memang berniat melakukannya di hadapan perempuan itu. Kalisa harus tau jika Arga adalah suaminya. Miliknya. Sampai kapanpun dan Ana tidak akan mengalah demi sosok Kalisa.

Siangnya, Ana mengajak kedua temannya itu untuk ikut menonton Arga bermain futsal agar dia ada teman. Lagi-lagi dia harus melihat sosok Kalisa di sini.

"Itu yang namanya Kalisa?" tanya Karina, tanpa bersusah payah berbisik.

Ana mengangguk.

"Gila tu orang, udah jelas-jelas ada bininya di sini masih seenak jidat aja."

"Untungnya dia gak neriakin nama Arga lagi."

Kelly mendelik sebal. "Tapi nih ya An, gue gak suka ngeliat muka dia. Kayaknya wajahnya itu penuh kepalsuan gitu."

"Kepalsuan gimana?" tanya Karina.

"Kayak apa yang dia tampilin itu bukan yang sebenernya. Dia nyembunyiin sesuatu gitu deh."

Bukan hanya Kelly saja yang merasakan, sedari awal juga Ana memiliki perasaan tidak enak pada perempuan itu hingga dia membencinya. Namun Ana tau dia tidak bisa asal bertindak begitu saja.

Ana masih memerhatikan sosok Arga yang tengah bermain, terkadang matanya juga menoleh pada Kalisa yang seakan-akan menahan sesuatu. Kemudian waktunya beristirahat, Arga dan Dion berjalan bersama keluar dari lapangan.

"Capek?" tanya Ana begitu Arga duduk di sebelahnya, diserahkannya sebotol air mineral. "Lap dulu keringet kamu. Kenapa kamu deket-deket?"

"Kamu yang lap keringet aku." Arga menyodorkan kepalanya. Ana mendengus dan mulai mengelap keringat di kepala dan wajah Arga. "Makasih, Sayang."

"Lo bedua jangan nganggep gak ada orang lain di sini," sela Karina jengkel. "Pake sok-sokan mesra segala."

"Maaf, tapi gue emang mesra sama Ana," balas Arga santai. "Oh ya, orang tua Kalisa ngajak aku makan malem dan aku mau kamu nemenin aku."

Bibir Ana yang semula melengkung perlahan berubah menjadi datar, kedua matanya menatap manik mata Arga. "Kenapa?"

"Karena kamu istri aku, dan aku mau ngenalin kamu ke mereka juga. Orang tua Kalisa gak tinggal di sini dan dia sengaja ngundang makan malam karena mau ngucapin selamat sama kita."

"Kalo aku gak dateng gimana?"

"Gak apa-apa, nanti aku kasih alasan sama mereka."

"Oke, aku ikut. Tapi nanti kamu jemput aku ya?"

Arga tersenyum lalu mengangguk, dengan cepat dia mencuri ciuman dari bibir Ana sebelum kembali melanjutkan bermain.

Ketika permainan berjalan sepuluh menit, Ana merasakan hawa dingin menusuk, dia keluar untuk mengambil jaket di dalam mobil. Ketika dia hendak kembali, sosok Kalisa berdiri di depannya.

"Hei, gue mau ngajak lo makan malam ke rumah gue. Bareng ortu gue juga kok. Arga juga pastinya gue ajak. Ya kayak pengganti maaf karena waktu itu gue gak bisa dateng ke pernikahan lo."

"Ana udah tau dari Arga," sahut Dion. "Jadi lo gak perlu ngomong lagi."

Kalisa berdecak, "Gue cuma mau memperjelas aja. Salah?"

"Kalo ada alasan lain jelas salah." Dion berdiri di hadapan Kalisa. "Ana udah ngerti dan dia pasti dateng. Gak usah khawatir."

Ana bisa melihat jika Kalisa nampak tidak suka, akhirnya perempuan itu memilih segera masuk. Sementara itu Dion berjalan mendekati Ana.

"Lo mau gue tau apa yang gue punya?"

Ana ingin mengangguk namun dia sadar jika tidak ada cerita yang ingin didengar sekarang. "Gak usah, gue lagi gak mau denger apapun."

***

"Seenggaknya setiap orang harus bisa masak kan? Itu kan dasar bertahan hidup. Apalagi untuk cewek."

Ana masih bisa mengingat ucapan Kalisa ketika dia dan Arga makan malam di kediaman perempuan itu. Kediaman yang berjarak tak jauh dari rumah yang ditinggali sementara oleh Arga. Ana tau Kalisa mengejeknya yang tidak pernah memasak, jangankan memasak ke dapur saja Ana jarang. Paling-paling dia hanya memasak air, itupun dengan ketel listrik.

Dan kini Ana sudah berada di salah satu toko buku, mencari buku resep masakan.

"Mbak, mana aja yang banyak dibeli?"

Sang pramuniaga nampak menunjuk beberapa buku. Ada buku masakan tradisional, masakan Jepang dan juga resep membuat kue. Ana sama sekali tidak tau buku mana yang harus dia beli, dia kan buta makanan, kalau lapar tinggal beli atau makan di rumah Kakek.

"Saya ambil tiga-tiganya deh, Mbak," kata Ana kemudian karena bingung memilih.

Ana melihat-lihat tiga buku masakan itu yang sama sekali Ana tak mengerti. Sial. Membedakan bumbu dapur saja dia tidak bisa, apalagi harus memasak. Lagian kenapa harus repot-repot memasak jika ada yang menjual.

"Fuck!" Ana mengumpat keras ketika minyak panas mengenai tangannya. Demi Tuhan ini panas! "Oh, shit!"

Ana hampir frustrasi karena setelah empat kali mencoba menggoreng telur mata sapi, baru yang inilah berhasil. Yang pertama dan kedua gagal karena isinya terjatuh, lalu yang ketiga gosong dan yang terakhir baru berhasil. Beruntungnya cipratan minyak tadi tidak membekas menjadi luka. Ana jadi tidak mau belajar memasak apapun itu. Baru pertama kali memakai dapur rumahnya saja sudah membuatnya mengumpat tersiksa.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang