Pengakuan

363 18 28
                                    

Halo untuk yang cintanya tak berbalas.

Ini yang terakhir ya, gada extra-extra joss lagi.

Ya udah semoga kalian suka.

Bye-byeeeee

***

Setelah melihat pameran foto, Evan membawa Ana untuk berbincang terlebih dahulu dengan segelas kopi sebelum akhirnya mereka ke flat Ana.

"Lo tinggal sendiri?" Evan menutup pintu di belakangnya hingga alarm pintu berdenting mengunci.

"Yaps. Gue gak pernah suka tinggal bareng yang lain," jawab Ana seraya melepas jaketnya. "Mau minum apa?"

"No need. You play?"

Ana melihat Evan yang mengangkat kotak UNO Stacko di tangan. "Yeah, sama Beverly. Temen satu kampus dan tetangga sebelah."

"I see. Well, let's play then."

Ana mengambil duduk di seberang meja setelah selesai mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. "You don't know how pro I am."

"Really? Bagus kalo gitu." Evan segera mengeluarkan balok-balok UNO Stacko yang sudah tersusun itu di atas meja. "Tapi sebelum itu ada perjanjiannya. Yang kalah harus nurutin maunya si pemenang."

"Oke. Siapa takut." Ana mengikat rambutnya ke atas, membuat sebuah cepol di sana. "Lo duluan."

Ana memerhatikan jemari Evan yang dengan teliti menarik satu balok UNO keluar dari sana. Ana harus menahan napasnya setiap kali bermain UNO Stacko. Dia akui jika Evan begitu mahir, jemarinya nampak tidak bisa menggoyangkan tumpukan UNO itu, sedangkan Ana berusaha mati-matian agar jemarinya tidak gemetar. Ketika Ana berusaha menarik satu balok UNO, mendadak tumpukan itu roboh dan menyebabkan bunyi yang begitu berisik. Ana mengumpat.

"I win. I always win," ucap Evan dengan bangga. "Gak terima?"

"Sedikit. By the way, I know it's you. It always been you. You also gave me puzzle. Did you spy on me?"

"I didn't. Lo tau Ana, Bokap kebetulan mau ya sejenis buka cabang di sini, dan kebetulan lo juga kuliah di sini. Jadi kenapa gak?"

"Oh ya?" Kedua alis Ana naik. "Sejak kapan?"

"Baru dua bulan ini," jawab Evan. "Sorry for taking too long. I need to prove something."

"And what is that?"

"You."

"Me?" Telunjuk Ana mengarah pada dadanya. "Ada yang salah?"

Evan menggeleng, dia menggeser meja ke samping lalu ditariknya tubuh Ana pelan agar mendekat. "Gue harus tau kalo semuanya bener. Apa yang lo rasain ke gue itu bener. Perasaan lo yang sama kayak gue. Dulu dan sekarang juga sama."

Ana melihat jemarinya yang kini digenggam oleh Evan. "Ya, lo bener. Gue gak bakal bisa bohong dari lo."

"Tapi gue sempet kehilangan lo karena lo ke Singapura."

"But here we are."

"Yaps. Tapi gue masih ngerasa bersalah karena ninggalin lo lama banget."

"It's okay. Gue juga butuh udara baru."

Evan mengacak rambut Ana penuh sayang. "Lo masih nyimpen hape dari gue?"

"Gue tinggal di Jakarta."

"Tapi lo bawa itu?" Evan mengedikkan dagu ke belakang punggung Ana, tepat ke arah foto yang pernah diberikan olehnya. "Thank you, Ana."

"Untuk?"

"Untuk segalanya yang gak pernah lo ungkapin ke gue."

Ana mendengus, "Well, because you won the game, now what do you want?"

"You," jawab Evan cepat. "to marry me," lanjutnya cepat sebelum Ana sempat membalas.

Tubuh Ana menegang sejenak, dia mengatupkan bibirnya sebelum menjawab, "But I am a college student."

"No problem."

"And a young widow."

"That's not a big deal. Ana, bahkan ketika lo punya status dulu, gue tetep ngejer lo. Apalagi sekarang. Gue gak akan ngebiarin lo pergi lagi dari hidup gue, An."

"Van ...."

"An, lo rumah gue. Ke manapun gue pergi, sejauh manapun gue pergi, gue bakal balik lagi ke lo. Karena lo satu-satunya rumah buat gue. Dan sekarang ... gue gak mau ninggalin rumah lagi. Ini udah dua tahun dan gue rasa cukup. Gue mau hidup sama lo."

Ana mengerjapkan kedua matanya, dia merasakan telapak tangan Evan yang hangat menangkup wajahnya.

"Gue mau hidup sama lo. Gue mau ngehabisin waktu sama lo, sampai tua bahkan sampai beda dunia nanti."

"Van ... what if I say no?"

"I won't accept anything except yes. I know I'm not that good, but I will make you happy," kata Evan, dalam dan serius. "Ana."

"Gue masih belum bisa, Van. Gue ...."

"Biarin gue bantu lo untuk lupain masa lalu, Ana. Izinin gue ngisi hari-hari lo. Selamanya lo gak bisa ngeliat ke belakang."

Ana tau dia memang tidak bisa terjebak dengan masa lalunya, tapi ada sebersit ketakutan dalam dada ketika ingin menjalin hubungan baru dan serius. Selama ini Ana mencoba melupakan namun dia tidak pernah mencoba. Perasaannya pada Evan masih sama seperti dua tahun yang lalu, bahkan kini dia ingin memeluk Evan karena ledakan perasaannya kia menguat.

"Gue gak mau liat lo terluka lagi. Cukup sekali aja, kar—" Evan tidak sempat melanjutkan ucapannya ketika Ana dengan cepat memeluknya dan menyurukkan kepalanya di ceruk lehernya. "So, yes for me?"

"I'm sure you don't need my answer right now," ucap Ana lirih. "You know me, Evan."

"I love you, Ana." Evan mencium leher Ana dengan napasnya yang panas di sana. "Gue bakal terbang langsung ke Jakarta sehabis urusan selesai. Gue bakal nemuin keluarga lo. Will you come?"

Ana mengangguk. "Can you stay a little while longer?"

"Anything for you, Sweetheart. Ah tapi gue laper butuh cemilan."

Ana menarik diri dari Evan lalu dia bangun. "Kayaknya tadi Beverly ngasih makanan. Ayo ke dapur." Dia hampir memekik kaget ketika melihat Evan melingkarkan kalung di lehernya setibanya di dapur, memutar badan, ditatapnya kedua mata Evan.

"Ini sebagai bukti kalo lo sekarang tunangan gue. Unofficially." Evan mengurung Ana dengan kedua tangannya. "Apa yang lo takutin, Ana? Tell me."

"Gue masih harus ngelanjutin kuliah tanpa beban berat. Tau kan maksudnya?"

"Gue tau. Dan gue gak akan ngeburu-buru lo. Tapi gak dengan status. Take your time, Sweetheart."

"Gue gak bakal percaya omongan lo, Van."

"Gue tau omongan gue gak ada apa-apanya, tapi lo bisa ngomong ke gue kalo ada yang salah." Evan menarik pinggang Ana mendekat ke tubuhnya. "Can I kiss you?"

"Absolutely." Ana melingkarkan kedua tangan ke leher Evan dan menarik laki-laki itu mendekat sebelum memagut bibir kenyal itu.

"We need to stop. Gue gak mau nyampe kelewatan. Save the best for the last. Gue udah gak sabar untuk jadiin lo istri gue, Ana," ucap Evan di depan bibir Ana, napas hangatnya menderu. "Gue juga udah beli rumah buat kita dan gue gak sabar ngisi rumah itu dengan foto pernikahan kita. Barang-barang kesukaan lo dan segala macam kesukaan lo, Ana."

"Van, jangan berkhayal terlalu jauh."

"Gue bukan berkhayal tapi berdoa sama Tuhan."

"Semoga terkabul."

Evan kembali mencuri ciuman dari perempuan di depannya itu dengan penuh kasih sayang.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang