Bagian 50

172 11 0
                                    

Karina dan Kelly benar-benar tidak buta untuk melihat betapa Ana dan Evan kini makin dekat. Walaupun Ana berkata bahwa dia tidak ada apa-apa dengan Evan, namun tetap saja mereka khawatir. Apalagi Ana juga mengiyakan tawaran Evan untuk pergi ke suatu tempat.

Karina bisa melihat pandangan mata Ana yang tak lagi membenci Evan seperti dulu. Seakan-akan tidak akan terjadi apa-apa, Ana membiarkan semuanya dan tidak memberi tau Arga. Karina bisa saja segera menghubungi Arga namun dia ingin jika Ana sendiri yang melakukannya. Bukannya dia dan Kelly tidak berusaha, akan tetapi Ana selalu saja memiliki jawaban.

"Gue tau batesan gue. Lo bedua diem aja."

Lalu jika sudah begitu maka mereka tak bisa berbuat apapun. Apalagi Karina sudah beberapa kali bermasalah dengan Ana.

"Na, menurut lo gak apa-apa kita biarin Ana kayak gitu?" tanya Kelly suatu hari ketika melihat Ana kembali pergi bersama dengan Evan.

"Dia temen kita, Kel. Kita harus percaya sama dia."

"Gue tau, tapi... gue ngerasa kita salah. Harusnya kita kasih tau Arga."

"No. Nanti masalahnya makin gede, lo tau kan Arga benci sama dia?"

"Jadi sekarang kita harus apa? Diem aja?"

Karina mengangguk. "Kita cuma bisa diem aja sekarang."

Dan suatu hari Karina berusaha menemui Evan, menjelaskan semuanya dan berharap agar Evan mundur.

"Lo tau gue gak bisa jauh-jauh dari Ana. She's half of me, without her, I die."

Karina mendesis tajam. "Lo emang udah sinting! Sampe kapanpun gue yakin lo gak bakal bisa sama Ana. Harusnya lo sadar posisi lo, Anjing!"

Evan menaikkan sebelah alisnya dan menyeruput kopinya pelan. "Oh ya? Sebelum itu juga ada yang yakin kalo gue gak bisa deketin Ana tapi sekarang lo bisa liat gimana sikap Ana sama gue. Nothing is impossible, Karina."

"Ana itu punya Arga. Dan selamanya bakal kayak gitu. Dia sayang sama Arga."

"Time will heal. Time will change."

"Gak usah terlalu pede kalo semua bakal berubah. Bisa-bisa lo nyesel," desis Karina tajam.

Sementara Evan terlihat menyunggingkan senyum miring. "Makasih sarannya, Karina."

***

Ana hampir menjatuhkan binder yang dia pegang ke atas blok paving begitu melihat sosok Arga berdiri di sebelah mobil SUV. Bukan, bukan karena dia begitu rindu, namun baru dua detik yang lalu Evan menelponnya dan mengajaknya pergi. Lagi. Tak jauh dari sana, Ana bisa melihat sosok Evan mengenakan kacamata hitam.

Sial.

"Floana," panggil Arga lembut. Perlahan dia menghampiri Ana. "Ada apa?"

"Ha? Oh, gak. Kamu kapan nyampenya?" Ana berusaha menjaga agar Arga tidak melihat sosok Evan.

"Jam 12 tadi. Udah selesai kan kuliahnya?"

"Ah? Iya udah. Kenapa? Kamu mau ngajak aku pergi?"

"Kamu kenapa jadi seneng gini, hmm? Iya aku mau ngajak kamu jalan. Bisa, kan?"

"Bisalah. Kenapa gak. Hmm, ya udah kalo gitu kita langsung pergi aja." Ana segera menggandeng lengan Arga, ujung matanya bisa melihat jika kini Evan sudah memasuki mobil. "Kita mau ke mana?"

Arga memasangkan seat belt pada Ana sebelum memasangkan untuk dirinya sendiri. "Kamu mau kita ke mana? Aku bakal turutin."

"Nonton yok, Ga. Ada film bagus kayaknya," kata Ana. "Tapi tunggu Karina dateng dulu ya buat ambil mobil aku."

Arga mengangguk, kemudian Karina datang, raut mukanya mengartikan sesuatu dan Ana tau apa sesuatu itu. Pastinya Evan. Ah, Ana jadi berpikir, mungkinkah Karina memberitaukan semuanya pada Arga?

Setelah menonton sebuah film animasi di bioskop, Arga mengajak Ana untuk makan dan berbincang. Kemudian berlanjut lagi berkeliling mal karena Arga ingin membeli dua buah pasang sepatu lari untuknya dan untuk Ana.

"Aslinya aku gak suka pake couple-couple kayak gini," ungkap Ana, jemarinya masih setia digenggam oleh Arga. "Seriusan deh Ga, emang pernah kamu liat sebelumnya aku make sesuatu yang sama kayak Darren? Gak kan?"

"Kalo dipikir-pikir emang gak pernah makanya aku mau jadi yang pertama. And please, jangan sebut nama cowok lain. Oke?"

"Jealous?"

"Obviously. Aku mau kamu cuma nyebut nama aku, kapanpun dan di manapun. Apalagi kalo pas lagi—aw! Sakit, Floana. Cubitan kamu masih aja sakit." Arga mengusap-usap pinggangnya yang dicubit oleh Ana.

Ana mendelik. "Mulut kamu gak pernah di sekolahin ya? We're now in public place!"

"Oke. Oke. I'm sorry," kekeh Arga. "Jangan ngambek, oke? Nanti aku malah nyium kamu di sini."

"Ga, please."

Arga masih terkekeh pelan sembari mengusap puncak kepala Ana penuh sayang. Yang diusap hanya bisa menahan semburat merah di wajahnya karena jelas Ana hanya pura-pura merajuk. Tapi beberapa saat kemudian, suasana mulai berubah, genggaman jemari Arga makin mengetat. Evan berdiri sepuluh meter di depan mereka.

"Ga, please, jangan ada masalah. Oke? Aku gak mau kamu kenapa-napa," bisik Ana yang kini berdiri menghadap sosok Arga. "Kita puter arah aja ya? Langsung pulang."

Alih-alih mengangguk Arga malah menggeleng. "Aku cuma mau nyapa dia aja, Sayang."

"Gak. Ga, jangan buat masalah."

"Aku gak akan buat masalah selama dia gak nyari masalah."

Ana sudah berusaha menahan namun nyatanya Evan malah yang datang mendekat hingga jarak mereka kini hanya satu meter.

"Hello, Lovebirds," sapa Evan tenang namun Arga menanggapi dengan tegang. "Udah lama kita gak ketemu ya, Arga?"

"Gue gak pernah berharap ketemu lagi sama lo."

Ana memutar badan, menatap kedua mata Evan yang juga menatapnya. Pikirannya berulang kali berucap agar Evan tak berbicara banyak.

Evan menyunggingkan senyum tiba-tiba. "Sayang, waktu gue gak cukup banyak untuk basa-basi. It's nice to see you." Kalimat terakhir Evan tujukan pada Ana, kemudian dia berlalu dari sana dengan jemari yang sengaja menyentuh jemari Ana yang bebas.

Arga marah dan Ana tau. Sedari berjalan menuju parkiran basement Arga diam saja. Sampai keduanya berada di dalam mobil pun Arga masih diam.

Ana menghembuskan napasnya dan memandang keluar jendela, ujung matanya menangkap sosok Arga yang begitu tegang dengan sebelah tangan berada di setir kemudi. Beberapa saat berlalu mereka masih diam sampai akhirnya Arga memakaikan seat belt untuk Ana, namun Ana segera melepasnya. Dengan cepat dia bergerak untuk mencium Arga.

"I'm yours. Always," ucap Ana di depan bibir Arga yang sedikit terbuka. "Every inch of me is yours." Bibirnya kini turun untuk mencium rahang Arga kemudian turun ke leher. "I'm here. With you. Don't ever let him in."

Kedua mata hitam Arga menatap dalam-dalam mata Ana, sebelah tangannya berada di tengkuk Ana. "You'll always be mine. I will never let you go, Floana."

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang