Bagian 68

163 10 9
                                    

Hai, Pembaca!

Do'ain semoga minggu besok gue sidang:"

***

Arga sudah mengacaukan semuanya, kemarahan bercampur dengan nafsu membuatnya liar dan tak terkendali ketika melakukan itu. Dia melihat Ana menangis namun dia tidak berhenti. Dia mendengar Ana merintih namun dia tidak berhenti. Hubungannya dengan Ana semakin merenggang, bahkan sepulangnya Ana sore itu, istrinya hanya diam seraya mengeluarkan semua baju-baju yang berada di dalam box dan meletakkannya ke dalam kamar lain. Bukan hanya itu saja, hiasan yang berada di dinding dan juga di atas nakas pun Ana masukkan ke dalam box hingga kamar itu terasa polos dan tak terisi.

Di dalam sebuah club, Arga menghabiskan malam dengan minuman di depannya. Ini sudah gelas kedua tapi hatinya tak jua tenang, sampai kemudian Evan datang dan menonjokinya begitu saja. Arga berusaha membalas namun tak sebanding dengan kekuatan Evan.

"Lo harusnya cari pelacur bukan Ana."

"Brengsek!" Arga mengerang.

"Gue bisa bunuh lo sekarang juga tapi itu terlalu mudah, gue mau lo ngerasain rasa sakit hati Ana," desis Evan tajam.

"Lo gak tau apa-apa soal Ana," ucap Arga serak, dia terbatuk.

"You know nothing about her, Arga." Evan menginjak dada Arga sebelum akhirnya pergi dari sana meninggalkan Arga terkapar tak berdaya.

Rasanya menyakitkan dan membuat wajah Arga lebam, pukulan dari Evan begitu mematikan tapi yang lebih menyakitkan adalah ketika Arga pulang, Ana tak menyambutnya. Pada pagi harinya pun Ana hanya menatapnya datar dengan semua lebam-lebam yang dimiliki Arga. Istrinya itu hanya diam, melakukan sesuatu dengan diam lalu pergi. Ana tak kembali karena dia menginap di rumah Karina meninggalkan Arga sendiri sampai akhirnya dia kembali pergi ke Yogyakarta.

"Arga, gue kangen sama lo." Kalisa segera menyambut Arga begitu sampai di bandara dengan memberi pelukan. "Kenapa sms gue gak dibales? Terus lo kenapa bisa lebam gini?"

"Sori, Kal. Lo bisa gak jangan asal meluk gue gini?"

"Ha? Oh, sori. Udah kebiasaan. Gue obatin luka lo dulu ya, Ga?"

"Gak usah," Arga menolak. "Biarin aja kayak gini."

"Tapi nanti kalo infeksi gimana?" Kalisa khawatir, dia menyentuh lengan atas Arga.

"Gak bakal infeksi."

Kalisa melenguh pelan. "Oke deh, tapi kita makan dulu ya? Mau, kan?"

"Ana marah sama gue," kata Arga dengan tangan memotong-motok steak tanpa minat.

"Udahlah, gak usah dipikirin. Namanya juga cewek, ntar lagi juga gak bakal marah," balas Kalisa.

"Tapi ini gue yakin dia marah banget."

"Arga, masih ada gue di sini. Udahlah gak usah dipikirin, lagian istri kamu kayaknya sensitif banget jadi orang."

"Ini semua salah gue, Kal. Gue yang buat dia marah kayak gitu."

"Gak gitu Ga, kamu gak salah. Biarin aja dia gitu dulu, nanti juga dia nyariin kamu sendiri. Lagian dia bukan anak kecil yang harus semuanya kamu turutin, Ga."

Namun Arga tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia tidak tenang, bahkan pikirannya melalang buana ketika mata kuliah berlangsung. Kalisa membawanya makan dan jalan-jalan, tapi jiwa Arga seakan tak berada di sana. Dia mengkhawatirkan Ana. Dia menyayangi Ana. Dia mencintai Ana.

"Gue sayang sama Ana. Gue cinta sama Ana."

"Apa, Ga?"

"Dari awal kita emang salah. Gue salah karena ngebiarin semuanya. Kal, gue rasa cukup. Kita gak bisa kayak gini lagi."

"Maksud lo apa, Ga? Kita kan cuma sahabatan. Gak ada yang salah."

"Tadinya gue kira semuanya bakal baik tapi salah. Gue gak bisa berdiri di dua perahu pake satu kaki. Gue milih Ana dan gue mau lo lupain perasaan gue dulu. Rasa suka gue dulu."

"Ga ...."

"Sori, tapi ini yang harusnya gue lakuin dari dulu, Kal."

Kalisa berdecak. "Ga, lo gak bisa asal kayak gini. Gue punya perasaan. Gue duluan yang suka sama lo dan gue yang lebih tau lo. Kenapa lo masih milih dia sih? Apa bagusnya Ana dibanding gue? Gue lebih pengertian dari dia."

"She is the one for me, Kal. Gue tau gue salah karena rasa suka gue ke lo, tapi gue lebih gak bisa kehilangan Ana. Dia segalanya buat gue."

"Terus gimana sama perasaan lo ke gue? Itu bukan perasaan biasa, Ga. Lo mikir gak, sih?"

"Gue tau, Kal. Tapi itu dulu, sekarang hati gue cuma punya Ana. Gue harap lo ngerti. Kita gak bisa kayak dulu lagi." Arga bangkit lalu berjalan meninggalkan Kalisa di belakang sana.

***

Ana benar-benar sudah tidak peduli dengan Arga, mau suaminya itu menghubunginya atau tidak Ana tak peduli. Dia berpegang teguh pada prinsipnya, melakukan apa yang ingin dia lakukan. Dan yang ingin Ana lakukan adalah kembali seperti dulu, menyambangi club dan berkelana bersama dua temannya, bedanya kini dia memiliki Evan yang selalu menghadirkan kisah baru.

Statusnya terasa menggantung, Ana tak lagi memakai cincin pernikahannya dan lebih suka bermalam di rumah Kakek. Barang-barang pemberian Arga sudah dia masukkan ke dalam box dan diletakkan di gudang, bahkan DVD-DVD yang pernah diberikan Arga sudah dia hibahkan. Lemarinya kembali terisi dengan pakaian-pakaian khas dirinya.

Ana kembali meliukkan badannya mengikuti irama musik yang mengalun keras, dia tertawa bersama dengan dua temannya dan juga beberapa kating yang dia temui. Malam ini Ana merasa bebas, kembali seperti dulu. Ponselnya sudah terlalu banyak notifikasi dari Arga, berupa telpon, sms dan juga pesan WhatsApp, alih-alih membalas Ana hanya membuka pesan dan menutupnya kembali.

Ujung matanya melihat Evan yang duduk di sana menjaga Ana dari tangan laki-laki yang berusaha menjamah. Ana tersenyum lalu kembali meliukkan tubuhnya berusaha melupakan masalahnya.

Bukan hanya hati namun fisiknya pun sakit. Dia lelah dan muak dengan Arga. Dia tak mau lagi mengurusi Arga. Dia harus memulai rutinitas baru, babak baru dalam hidupnya. Melanjutkan kuliah dan kegiatannya sehari-hari.

Ketika Arga pulang saat weekend, Ana memainkan peran 'menjadi istri baik' di depan keluarganya, tapi ketika mereka berada di kamar, keheningan yang tersisa. Ana membiarkan ada jurang menganga lebar di antara mereka. Tak ada lagi obrolan, tak ada lagi candaan hanya ada kebisuan. Dia membiarkan Arga duduk bersebelahan ketika berbincang bersama keluarga tapi Ana akan menjauh ketika berada di dalam kamar. Ana tau Arga berusaha mengajaknya berbincang tapi Ana tak pernah menganggapnya sama sekali.

Kini bukan lagi Arga yang Ana butuhkan, dia sudah mendapatkan kenyamanan baru dari Evan. Kenyamanan yang tidak dihadirkan oleh Arga.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang