"Jauhin tangan busuk lo sebelum gue patahin!" Evan memelintir tangan cowok itu yang berusaha mendekati Ana, kedua matanya berkilat tajam.
Tak mau mendapat masalah, cowok itu akhirnya memilih pergi.
Ana belum sempat bereaksi ketika Evan meraih satu tangannya dengan lembut dan menariknya keluar dari dance floor. Dia membawa Ana memasuki ruangan dan mendudukkannya di sofa.
"Gue gak nyangka bakal liat lo di sini." Sebotol wine yang direndam dengan es batu itu dia tuangkan ke dalam gelas kecil. Ana menolak ketika ditawari. "Lucky day, I think."
Ana sedang tidak ingin berdebat, jadi dia hanya duduk bersandar di sana. Ruangan ini rupanya sudah dipesan oleh Evan.
"Makasih untuk kemarin. Lo udah nolong gue." Dia menyesap winenya. "Gue gak tau kalo itu mobil lo. Tapi lo gak apa-apa, kan?"
Ana menggeleng, dia bisa melihat lebam di wajah Evan yang mulai membiru. Begitu juga ketika cowok itu duduk, dia terus saja meringis, seakan dadanya terasa sakit.
Evan kembali menyesap wine sebelum akhirnya duduk bersandar. "Gue kayaknya belum bisa pergi. Gue gak bisa sebelum ngerebut lo." Terbatuk, Evan memegang bagian dadanya.
"Stop!" perintah Ana seraya mengambil gelas wine di tangan Evan dan meletakkannya di atas meja. "Lo harusnya masih dirawat."
Evan menyunggingkan senyum. "Satu tulang rusuk retak bukan masalah besar. Gue masih sanggup lari."
"Terserah."
"Lo bisa jadi penyembuh gue." Evan kembali ingin menuangkan wine ke dalam gelas namun Ana segera melempar gelas itu ke dinding hingga pecah. "Well, no wine," katanya. "Gue ada di depan rumah lo dan sengaja ngikutin lo. Semua telpon gak lo angkat, gue tau hape itu lo simpen."
Ana berusaha mengalihkan pandangannya dari Evan dengan melihat dinding, langit-langit dan juga dekorasi minim ruangan itu.
"Gue mau pergi ke Belanda itu bener, dan mungkin gak balik ke sini lagi, tapi gue gak bakal tenang kalo keinginan gue belum terpenuhi."
Ana memejamkan kedua matanya, tidak ingin Arga kembali bermain.
"Ada apa? Lo lagi punya masalah? Gak masalah lo mau sharing sama gue, even masalah Arga." Evan menyilangkan kakinya.
"Gak ada yang perlu gue ceritain ke lo," kata Ana kemudian, tajam. "Gak ada."
"Setiap orang berhak nyimpen semua ceritanya sendiri. Gue ngerti. Gue mau nelpon lo besok."
"Gak bakal gue angkat."
"Besoknya."
"Gak."
"Setiap hari, sampe lo angkat panggilan dari gue." Evan memajukkan duduknya lalu menunduk. "Suara lo bisa buat gue tidur nyenyak," lanjutnya pelan, sangat pelan, tapi Ana mampu mendengarnya.
Ana bangkit berdiri dan beranjak menuju pintu, satu tangannya sudah memegang handle ketika berkata, "Kalo sempet gue angkat." Lalu pintu terbuka dan Ana terkejut mendapati tubuh Karina menjulang di depannya.
"An! Lo gak apa-apa, kan?" Karina menarik tubuh Ana keluar ruangan, ditelisiknya tubuh temannya dari atas ke bawah. "Lo apain, Ana?" desisnya pada Evan yang berdiri di ambang pintu.
"Cuma ngobrol. Relax, Karina."
Karina tentu saja tidak bisa relaks, dia tau bagaimana Evan. "Gak ada sejarah cuma ngobrol dalam hidup lo!"
"Gue lagi gak kerja, so this is what I am. Not Viper but Evan. You know the truth, Karina."
"Shut the fuck up!"
"Lo itu udah pernah nyelakain Karina, Goblok!" maki Kelly yang langsung berdiri di depan Ana. "Jauhin Ana, dia udah nikah. She is now officially belong to Arga."
"Yeah, now. Who knows what will happen." Evan menyunggingkan senyum miring. "Nice to see you, girls," katanya lalu berlalu dari sana.
"An, lo gak diapa-apain kan sama dia?" Karina memastikan sekali lagi.
"Gue gak apa-apa."
"Kita pulang aja, Na," tukas Kelly.
Karina mengangguk, kemudian ketiganya pergi dari sana. Namun Karina tidak serta merta percaya begitu saja.
"Gue sama Kelly khawatir pas lo gak ada," Karina buka suara, matanya menatap spion tengah yang memperlihatkan Kelly tengah tertidur. "Dugaan gue bener kalo ada orang itu."
"He wasn't doing anything."
"Gue tau. Gue tau dia gak bakal cuma he is a bastard. You know? Lo harus jauhin dia."
Ana membuang muka. "Lo kira gue ada niat deketin dia?"
"Gue tau, cuma gak ada salahnya, kan coba jauhin dia lebih jauh. Gue tau dia suka sama lo, tapi lo udah punya Arga."
"Yah, gue punya Arga."
"Lo sebenernya ada masalah apa sih sama Arga?"
Ana mengangkat kedua bahunya. "Ntah. Gak tau, mungkin gue aja yang childish bagi dia."
Karina menghentikan mobilnya dan menepi. "An, gue tau sifat lo sama Arga mungkin bertolak belakang, tapi gue udah pernah bilang sama lo berapa kali. Ada gue sama Kelly yang siap dengerin cerita lo."
Ah iya, Ana hampir melupakan ini. Dua temannya, meskipun sering memberikan saran yang buruk, tapi mereka pendengar yang baik. "Gue gak ngerti sama diri gue sendiri. Kadang gue bisa suka sama Arga tapi gue juga bisa biasa aja sama dia. Gue bingung, Na. Gue marah karena dia gak bisa ngertiin gue dan tadi yang ngangkat telponnya cewek. Mungkin gue cemburu tapi ada yang lebih buat gue takut."
"Apa?"
"That I'm not the only one for him. Gue gak tau kehidupan dia, gue gak bisa minta siapapun buat ngawasin dia. I know nothing about him." Ana memandang ke depan. "Dia... dia udah kayak ngerti gimana harus nyentuh gue like he uses to do that. What should I do?"
"Ask him nicely. Buang ego lo sementara. You can do it, you do." Dipegangnya satu pundak Ana. "Kadang loharus jadi orang lain, An, biar semuanya jalan. Biar lo gak ngerasa bingungsama perasaan lo yang masih ada ego itu. Pentingin yang lain bukan ego lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
TMH 2 - Hold Me Tight ✔️
RomanceMAU DIBENERIN A sequel to Take My Hand 17+ (Terdapat kata-kata kasar dan attitude yang tidak baik) Status Ana kini sudah berganti menjadi istri dari seorang Arga. Ana mengira kehidupannya dengan Arga akan dilaluinya dengan baik-baik saja namun terny...