"An, lo udah bener-bener gila ya? Kenapa lo biarin Evan deket?" Selepas mata kuliah pertama hari itu usai, Karina segera mencecarnya. "Lo tau kan masalahnya?"
"Gue cegah juga dia bakal nekat," jawab Ana asal.
"Maksud lo apa coba? Dia jelas-jelas suka sama lo. Dan lo jelas-jelas udah nikah."
"Gue tau, Na. Gue tau."
"Kalo lo tau kenapa lo kayak gitu, ha?"
Ana memutar bola matanya. "Salah gue kayak gitu? Lo pernah liat Arga deket banget sama sahabat taik-nya itu? Sampe rangkulan segala. Menurut lo salahan siapa? Gue sama Evan gak pernah rangkulan. Gue gak pernah ngakuin dia sebagai 'orang yang suka gue'. Kenapa lo jadi bacot gini?"
"Gue bacot gini juga karena peduli sama lo."
"Terus abis ini lo mau laporan sama Arga? Gitu?"
Karina mendesis, "Gue udah gak pernah laporan sama Arga. Tapi sebagai temen, gue peduli sama lo."
"Harusnya lo bilang itu untuk Arga duluan, bukan gue. Lo tau kan gue pernah ngerasa sakit hati sama sikapnya tapi lo malah dukung dia, lo ada di sisi siapa sih sebenernya?" Ana bangun dari duduknya dan berdiri sejajar dengan Karina.
"Ana, Karina, udah dong. Jangan debat gini." Kelly berusaha menengahi. "Lo bedua sama-sama salah. Udah, kan? Fair. Jangan ginilah, kita kan temen."
Ana menghembuskan napasnya lalu meraih tasnya sebelum akhirnya keluar dari kelas. Apa dia salah membiarkan Evan seperti semalam? Namun dia juga tidak bisa menyangkal bahwa kini dia tidak peduli bahwa Evan menyukainya. Ana berpikir ini masih dalam hal wajar karena dia dan Evan tidak melakukan hal yang berlebihan dan buruk.
"Hello, Ana."
Ana hampir saja menjengit begitu mendengar suara Evan. "Ngapain lo di sini?"
"Mau nemuin lo. Gak kesiangan kan berangkat kuliahnya?"
Ana menggeleng, dan dia melihat ada luka lebam di rahang laki-laki yang berdiri di depannya ini. "Lo habis berantem?"
Evan mengusap rahangnya pelan lalu tersenyum tipis. "Masalah kecil. Masih ada jam?"
"Masih, nanti jam ketiga."
"Mau keluar?" Evan mengedik pada kunci mobil yang dipegang Ana.
"Yeah, tadinya. Kenapa?"
"Lo lagi ada masalah I guess. Gue mau nunjukkin lo sesuatu. Lo bisa naik motor gue."
"Ke mana?"
"Suatu tempat." Evan menawarkan tangannya, namun Ana menolak.
"Di mana motor lo?"
Evan membawanya berkendara mengenakan sebuah motor matic ke sebuah perumahan, kemudian motor itu berhenti di sebuah rumah kosong, tak berpenghuni. Keadaannya pun terlihat sedikit kotor.
"Lo mau macem-macem sama gue?" tanya Ana sangsi begitu dia turun dari motor.
Evan tersenyum menyeringai. "Kalo gue mau macem-macem sama lo, gak bakal gue bawa lo ke sini," katanya. "Lo bisa teriak, atau langsung telpon Polisi."
Ana mengernyit sebelum akhirnya dia mengikuti Evan. Keduanya berjalan menuju bagian belakang rumah, Evan membuka pintu dan mempersilakan Ana masuk. Ternyata ruangan di dalam tidak terlalu kotor seperti terlihat dari luar.
"I used to live here. Karena gue gak suka suasananya, jadi gue pindah ke apartemen." Ditariknya satu kursi agar Ana duduk. "Not so big, tapi nyaman."
"Kenapa lo gak nyuruh orang bersihin?"
"Ntah. Tapi rumah ini mau gue jual. Gak ada cerita yang menarik di sini."
"Lo tinggal di apa—"
"Bukan," sela Evan cepat, dia memutar duduknya menghadap pada sebuah piano lama, "itu cuma apartemen sewaan, apartemen gue gak jauh dari rumah lo."
Ana menggeser duduknya ketika jemari Evan sudah berada di atas tuts. "I see. Gue juga lebih suka tinggal di apartemen."
"You play?"
"Gak terlalu bagus."
"Let me hear that."
Ana kemudian meletakkan jari-jemarinya di atas tuts dan mulai memainkan irama. Memainkan nada Rivers Flows in You miliknya Yiruma. Tak banyak lagu yang bisa dia mainkan. "Nyokap gue ngajarin gue piano tapi gue gak terlalu tertarik."
Jemari Evan mengacaukan nada karena dia sengaja menekan tuts piano. "Tapi ini bagus. Mau makan? Ada tteobokki enak deket sini. Udah gue pesen, tinggal nunggu."
Ana kembali menekan tuts, memainkan beberapa lagu klasik yang dia tau, lalu Evan keluar untuk mengambil makanan yang sudah sampai.
"Ah panas. Panas." Ana mengibaskan kedua tangannya di depan wajah. "Panas banget."
"Lo makan punya gue aja, udah agak dingin." Dia mengambil milik Ana dan menukar dengannya. "Don't thank me."
"I don't." Ana menyuap tteobokki. "I always wonder, kenapa lo mau kerja sama Glenn?"
"Gue gak pernah kerja sama dia, tapi hutang," kata Evan. "Gue kalah waktu judi dan dia minta gue bantu dia. I regret it and also thanks to him karena gue bisa deket sama lo."
"Kita gak bakal ketemu atau ketemu dengan cara lain."
Evan mengusap ujung bibir Ana yang terdapat sisa saus. "Ntah mau gimana caranya, gue bakal tetep suka sama lo. Gue percaya, di dunia lain, lo sama gue itu satu. Bukan kayak gini."
"Just wake up. Sampe kapan lo mau kayak gini? Lo harusnya bisa cari yang lain."
"Tapi gue gak mau. Gue pernah bilang kalo mata lo cantik? Belum? Mata lo cantik, Ana. Jernih dan gue tenggelam."
Ana menggeser wadah tteobokki miliknya yang sudah habis. "Don't be so ridiculous, Evan. Lo kebanyakan baca buku. Gue mau balik ke kampus."
Evan mengangguk lalu mengantar Ana kembali ke kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
TMH 2 - Hold Me Tight ✔️
RomanceMAU DIBENERIN A sequel to Take My Hand 17+ (Terdapat kata-kata kasar dan attitude yang tidak baik) Status Ana kini sudah berganti menjadi istri dari seorang Arga. Ana mengira kehidupannya dengan Arga akan dilaluinya dengan baik-baik saja namun terny...