Bagian 58

134 8 11
                                    

Hari ini double update, tapi yang satunya ntar malem.

***

Di sinilah Ana, di sebuah jembatan penyebrangan yang masih terdapat beberapa orang berlalu lalang. Memegang besi pembatas, Ana menatap ke bawah, kendaraan berjalan konstan tanpa hambatan. Angin malam menerpa, menerbangkan rambut Ana yang terurai dan juga kedua lengannya yang tidak tertutup karena dia mengenakan kaus pendek. Tapi hanya sebentar karena hangatnya jaket dan aroma yang menenangkan.

"Kulit lo bisa kering kelamaan kena angin kayak gini." Evan berdiri di sebelah Ana. "Malem ini kayaknya agak dingin."

Ana bergumam, setelah beberapa hari Ana memilih untuk menghubungi Evan dan Evan datang lalu berucap seperti biasa. Seakan kejadian waktu itu tidak pernah terjadi.

"Gue udah pake pelembab," sahut Ana.

"Astaga. You make me laugh." Evan memutar tubuhnya agar bisa menatap wajah Ana leluasa. "Hei, look at me. Gue pernah nonton film, katanya kalo lo senyum, satu masalah dalam hidup lo bakal ilang. Jadi ...," dia mendekatkan diri, dengan dua jari telunjuk, ditariknya bibir Ana agar membentuk senyum. "lo harus senyum."

Ana membiarkan beberapa saat bibirnya membentuk senyum terpaksa. "Lo kebanyakan berkhayal. Mana ada cuma karena senyum masalah jadi hilang."

"Ya memang gak hilang, sih," Evan mendesah. "Kenapa?" Dia menatap tangan Ana yang mencekalnya. "Gue mau markirin mobil dulu. Mobil gue ada di pinggir jalan, ntar diderek gimana? Lo di sini aja."

Ana mengetatkan jaket Evan, dia menyukai bau parfum yang laki-laki itu gunakan. Baunya menenangkan dan tidak menyengat. Tak lama ujung matanya menangkap Evan yang sedang membidiknya dengan lensa kamera.

"Lo motret?"

Evan mengangguk sambil melihat hasil foto yang dia ambil. "Every moment tells its stories, Ana. Jadi gue mau punya momen sebanyak-banyaknya. Mau ke tempat baru?"

"Ke mana?" Ana melihat Evan membuka lebar telapak tangannya dan tanpa banyak bertanya Ana menyambutnya.

Evan membawanya memasuki sebuah gedung apartemen, Ana kira laki-laki itu akan membawanya memasuki salah satu apartemen di sana namun ternyata Evan membawanya menuju atap gedung. Semilir angin malam segera menyambut sehingga Ana semakin mengetatkan jaket milik Evan di tubuhnya.

"Gue tebak lo tinggal di gedung ini," kata Ana ketika Evan menyuruhnya duduk di kursi santai.

Evan kembali membidik wajah Ana. "8005, itu apartemen gue. Password-nya tanggal lahir lo. Kapan pun lo mau dateng, langsung masuk aja."

Ana memerhatikan Evan yang mencoba menyalakan perapian agar keduanya hangat. "Lo yang bikin tempat ini?"

"Ya gitu. Kadang gue bosen di dalem, jadi gue buat gazebo di sini."

"Enak." Ana akui tempatnya nyaman, ada music player, LCD projector, kulkas kecil, kursi gantung juga dengan beberapa tanaman hias. Dengan pemandangan gedung-gedung tinggi dan juga langit kota Jakarta yang tidak berbintang.

"Tadinya gue mau ke Bali, tapi telpon dari lo ngebuat Bali gak ada apa-apanya." Evan mengambil dua kaleng soda dari dalam kulkas dan meletakkannya di atas meja. "Wanna tell me why?"

"Gue gak pernah liat lo. Gue kira lo bakal keliatan di kampus." Ana mengalihkan pembicaraan

"Gue tau lo butuh waktu sendiri. Your eyes were telling me everything I need, Sweetheart. I didn't want to make it even worse."

"Kenapa lo suka sama gue?"

Evan memajukan duduknya hingga lututnya bertemu dengan lutut Ana. "I love you for no reason. I feel it and it happens naturally. I can't tell you clearly."

"Bucin namanya lo itu."

"Gak masalah asal bucin-nya ke elo." Evan menyodorkan sekaleng soda yang sudah dia buka. "Setiap gue ngeliat lo, setiap itu juga gue mau ngabadiin lo dalam bentuk poto."

"Kenapa? Mau lo jual?"

"Momen. Gue mau ada momen karena gue gak punya banyak momen. Banyak yang gue lewatin dan banyak yang gue gak inget."

Lagi, Ana melihat kilat sedih dalam kedua mata hitam milik Evan.

"Dan gue gak mau kehilangan satu momenpun dalam hidup gue sekarang. Gak ketika gue ngeliat lo. Gak ketika lo ada di depan mata gue, Ana."

"Momen apa yang lo mau?"

"Apapun. Sedih, senang, apapun. Apapun yang pernah gue lewatin dulu." Evan menunduk dan saat itu juga Ana melihat tato baru di pergelangan tangan Evan. "Udah terlalu banyak yang gue lewatin tanpa cerita. Semu—"

"Kenapa lo yang jadi punya masalah?" Ana sengaja menepuk tangan Evan. "Just enjoy the time. Lupain semuanya yang menurut lo ganggu dan ... kalo lo mau lo bisa motret gue."

Evan menyunggingkan senyum. "Sori, gue kelewatan. Ah iya, lo mau makan? Di apartemen gue ada makanan."

Ana menggeleng. "You need to know this, gue nelpon lo bukan berarti gue nganggep hubungan lo sama gue baik."

"I get it, Ana. We're no one. Just Evan and Ana."

"Tato baru?"

"Gue gak suka ada bekas luka."

Kening Ana mengernyit. "Lo buat tato untuk nutupin luka?"

"Mau liat?" Evan bersiap untuk membuka kausnya dan Ana segera melarang. "Oke. Mungkin gak sekarang. Wanna sing or dance?"

"I can't sing."

"Neither can I. Then we dance."

"I can't dance either. Stop! Evan!" Ana berseru ketika Evan mengajaknya berdansa, music player sudah memainkan lagu klasik. "What? You know how bad I dance."

"It was terrible dance I've ever seen. But you were pretty and that's no matter. Put your hands around my neck, and we move to the left and right. If I move to the left you'll move to—"

"I know. Let's get started."

Evan tersenyum kemudian kedua tangannya turun memegang pinggang Ana lembut. Kedua matanya menatap dalam ke iris mata Ana. Ana bergerak dengan kaku mengikuti Evan, kakinya bahkan beberapa kali menendang dan menginjak kaki Evan. Namun laki-laki itu hanya terkekeh pelan. Mereka bergerak lambat dan lambat, menikmati waktu sebaik mungkin.

Ana memalingkan wajah karena pandangan Evan membuat wajahnya memanas, sampai akhirnya Ana menurunkan kedua tangannya. "Gue mau balik," katanya. Evan segera mengangguk.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang