Ana menatap pantulan dirinya di cermin, sudah dua hari dia mempraktikkan apa yang pernah diajarkan oleh Karina namun hasilnya nihil. Dia tidak bisa membentuk wajah seksi secara alami, harusnya dia mengonsumsi alkohol dulu, tapi itu ide buruk. Karena mengonsumsi alkohol maka kesadaran Ana akan hilang.
"Gak! Gue gak bisa!" seru Ana kesal. "Biarin aja deh Arga kayak gitu. Gue gak peduli."
Tapi sayangnya Ana peduli. Peduli akan dirinya yang malas meladeni ceramahan Arga. Berderap melangkah, Ana memakai jaket denim dan beranjak dari kamarnya.
"Kamu mau ke mana, Ana?" Papa yang sedang menonton TV itu bertanya ketika melihat Ana berjalan.
"Minimarket bentar," sahut Ana sambil lalu.
Sedan itu melaju membelah jalanan hingga berhenti di salah satu minimarket. Tujuan Ana hanya untuk membeli camilan untuknya tapi begitu melihat barisan yoghurt dia jadi teringat akan sosok Gibran. Berdesis, Ana akhirnya mengambil lebih banyak makanan dan juga yoghurt. Tanpa sadar belanjaannya sudah memenuhi dua kantung kresek.
Begitu sampai di kediaman Arga, Papa Satria segera menyambut dengan senyum lebar. "Ana, kamu dateng."
"Eh iya, Oom. Eh, Pa," kata Ana kikuk karena masih belum terbiasa memanggil Papa. "Ana bawa makanan buat Gibran." Ditunjukkannya kantung kresek di tangannya.
"Oh ayo masuk. Masuk. Gibran lagi ada di kamarnya, main sama Bi Tuni."
Ana lalu melangkah masuk, dia menyapa Mama Rara sebelum akhirnya memasuki kamar Gibran. "Woi, gue bawain lo makanan," katanya. Dia menyerahkan kantung kresek itu pada Gibran. "Seneng kan lo?"
Gibran mengangguk-ngangguk seraya tersenyum lebar hingga kedua matanya membentuk garis.
"Bi mau ke mana? Sini aja temenin, bantuin gue nerjemahin Gibran."
Bi Tuni kembali duduk dan mengangguk.
"Gue lagi kesel sama Kakak lo. Dia emang nyebelin, ya?" Ana menatap Gibran lalu Bi Tuni yang menerjemahkan.
"Gak juga, Den Arga sering beliin dia makanan."
"Ha? Kok dia gak pernah beliin gue. Aneh. Lo kangen gak sama dia?"
"Kangen banget. Den Gibran kangen dipeluk Den Arga."
Ana mengangguk, tentu saja Gibran rindu dengan Kakaknya. "Sebenernya kemaren dia ke Jakarta, tapi gak sempet ke tempat lo. Jahat ya orang itu?"
Gibran menggeleng.
"Kata Den Gibran, dia udah ngerti kalo Den Arga sibuk."
"Kenapa lo bisa pengertian gini?" tanya Ana pelan. "Kok lo gak mampir ke rumah gue? Gak suka ya?"
"Den Gibran gak ada yang nganterin, Non."
"Gitu? Kalo gitu besok pulang sekolah, lo gue jemput. Mau gak?"
"Mau banget, Non."
Ana bisa melihat Gibran mengangguk berulang kali dengan semangat, dia memeluk tubuh Ana. Pelukan Gibran terasa hangat dan tulus membuatnya membalas pelukan itu. Mengetahui jika Gibran adalah anak angkat membuat Ana berpikir jika kehidupan anak ini tak sulit lagi karena dia berada di keluarga yang baik.
Ana baru keluar dari kediaman Papa Satria ketika jam menunjukkan pukul tujuh malam. Kakek tadi menelponnya, menanyakan mengapa dia begitu lama, tapi ketika Ana memberitau bahwa dia berada di kediaman Papa Satria, Kakek tidak berkomentar. Malahan terdengar senang.
Sambil bersenandung lagu yang diputar, Ana mengemudikan sedannya perlahan. Mengobrol dengan Gibran terasa lebih menyenangkan daripada dengan Arga. Mungkin karena Gibran masih kecil dan polos, jadi jawaban yang keluar masih jujur.
Ana melirik spion tengah sejenak sebelum fokusnya kembali ke jalan, namun sial, detik itu juga ada seseorang yang menabrakkan diri ke mobilnya.
"Aduh anjir goblok!" maki Ana selaras dengan injakkan pedal rem. "Duh!"
Kejadian itu segera saja membuat beberapa pengendara menepi dan berusaha menolong. Ana yang tidak mau terkena masalah segera turun untuk melihat keadaan si penabrak.
"Mbak, kalo bawa mobil yang bener dong."
"Eh Pak, gue bawa mobil udah bener. Tapi dia yang nabrak. Minggir, gue mau liat orangnya." Ana berjongkok untuk melihat laki-laki itu. Dia membalikkan posisi orang itu, mengernyit, Ana berujar, "Evan?"
"Mbak kenal orang ini?"
"Ha? Eh... iya."
"Ya udah, langsung masukkin ke mobil orang ini aja."
Ana ingin memprotes, meminta agar para warga itu menunggu ambulance namun terlambat karena tubuh Evan sudah berada di dalam mobilnya. Mau tidak mau Ana akhirnya melajukan sedan itu menuju Rumah Sakit ataupun Puskesmas terdekat.
Ana bisa mendengar suara erangan yang keluar dari mulut Evan. Ntah cowok itu merasa sakit karena dia menabrak atau karena luka-luka lebam di wajahnya. Kecepatan Ana mengendarai mobil tadi terbilang pelan, jadi dia yakin Evan tidak akan terluka parah.
Sedan itu berhenti di Puskesmas, Ana segera turun dari mobil dan berteriak. "Eh tolong dong, ini ada orang yang kece—luka-luka maksudnya."
Tak lama beberapa petugas medis datang dengan mendorong brankar. Dua orang laki-laki membantu mengeluarkan Evan dari dalam mobil, ketika tubuh Evan sudah berbaring di brankar, sebelah tangannya meraih tangan Ana.
"Don't go, Ana," katanya serak, kedua matanya sayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TMH 2 - Hold Me Tight ✔️
RomanceMAU DIBENERIN A sequel to Take My Hand 17+ (Terdapat kata-kata kasar dan attitude yang tidak baik) Status Ana kini sudah berganti menjadi istri dari seorang Arga. Ana mengira kehidupannya dengan Arga akan dilaluinya dengan baik-baik saja namun terny...