Bagian 39

174 9 7
                                    

Sampai beberapa hari kemudian, Evan masih saja mengiriminya buket bunga dengan tambahan cokelat di sana. Namun beberapa kali itu jugalah Ana memerintahkan asisten rumah untuk menyingkirkan barang-barang itu, ntah dibuang atau untuk diberikan pada siapapun. Ana juga tidak mau jika keluarganya tau, karenanya dia memberi perintah pada asisten rumah dan satpam untuk menyembunyikan hal ini. Tapi satu hari Kakek yang tengah duduk di ruang keluarga itu mendapati sebuah buket bunga datang, dan Ana beralasan jika buket itu berasal dari Arga.

Ana tentu saja tidak memberi tau keadaan yang sebenarnya pada Arga. Dia tidak mau membuat Arga khawatir dan kembali ke Jakarta begitu saja. Beberapa waktu yang lalu saja Arga hampir marah karena kelupaan bertanya tentang Evan yang pernah menghubunginya waktu itu. Ana harus berbohong demi menghindari keributan. Untungnya Arga tidak mempermasalahkan hal itu lebih lanjut dan cenderung menghabiskan waktu dengan berbincang karena dia tidak bisa kembali ke Jakarta dalam waktu dekat.

Siang itu, Ana sedang bermain piano di ruang keluarga ketika salah satu asisten rumah datang tergopoh.

"Non, ada tamu yang nyariin di luar."

Jemari Ana berhenti di atas tuts. "Siapa?"

"Mm, saya gak tau, Non. Tapi ini laki-laki."

Ana mengernyit lalu dia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Di teras, dia melihat punggung laki-laki itu, tegap, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jins. Kepalanya tertutup dengan kupluk navy.

Laki-laki itu berbalik dan tersenyum lebar. "Hello, Ana."

Kedua mata Ana membola, dihampirinya Evan dengan langkah lebar. "Ngapain lo di sini?" desisnya.

"Nemuin lo. Gue kangen."

"Gila. Pergi lo dari sini!"

"Kenapa? Lo mau ngajak gue ngobrol di suatu tempat?" tanya Evan, polos.

"Lo gak bisa sadar ya? Gue udah nikah, dan gue gak bakal biarin lo deket-deket sama gue." Jemari Ana mengusap cincin pernikahan di jemarinya. "Pergi sebelum gue teriakin lo maling."

"Lo gak bisa ngancem gue, Ana."

Ana berusaha menepis tangan Evan yang meraih tangannya. "Harusnya lo sadar kalo dulu lo pernah ngelakuin sesuatu yang buruk sama gue."

Kedua mata Evan mengerling, dia menyentuh pundak Ana yang segera ditepis. "Look, I am really sorry for what I did to you at that time. Gue punya utang sama si brengsek itu, dan gue ngejalanin tugas gue. Itu aja."

Ana mendengus, "Lo kira dengan lo bantuin gue semuanya bakal selesai? Gak, gue gak bisa lupain gimana keadaan Karina."

"Karina udah cerita gimana sebenernya?"

"Untuk apa? Gue gak perlu karena gue udah tau." Kedua mata Ana melihat bekas luka jahitan memanjang di lengan kiri Evan. "Harusnya gue biarin lo gabung sama Glenn."

"But you didn't."

"And I regret it."

"Charge hapenya, gue mau denger suara lo," ucap Evan penuh keyakinan. "Gue susah tidur karena gak denger suara lo."

"Bukan urusan gue." Ana melipat tangan. "Gue mau lo pergi sekarang."

Evan menghembuskan napasnya pelan, ditariknya satu tangan Ana dan dibawanya menuju halaman samping rumah. "Gue tau luka-luka gue gak bakal bisa gantiin rasa lo, ini karena gue ngerasa bersalah sama lo tapi please, An, gue cuma mau deket sama lo."

"Pergi lo sekarang." Ana menunjuk ke arah gerbang, dia benar-benar muak dengan kenekatan Evan yang berani menghampirinya langsung.

Evan baru saja membuka mulut ketika gerbang rumah dibuka disusul dengan sebuah mobil sedan yang berhenti di dekat carport, kemudian Mama turun dari sana. Beliau segera menghampiri Ana dan menatap heran pada Evan.

"Ini siapa Ana?"

"Saya Evan, Tante. Temannya Ana," kata Evan cepat, dia tidak membiarkan Ana buka mulut duluan. Segera disambarnya tangan Mama tanpa permisi.

Dan teman? Siapa juga yang mau berteman dengan Evan?!

"Ooh. Ayo masuk, Evan."

"Gak usah, Ma. Dia juga udah mau pergi."

Mama mengangguk lalu beliau beranjak memasuki rumah. Ana segera menarik Evan keluar, ditatapnya tajam kedua mata Evan.

"Pergi, gue gak mau liat muka lo!"

Evan menyeringai, tampak tidak tersinggung dengan ucapan Ana. "Oke. See you later, Sweetheart." Didekatkannya wajah, bahkan jika dilihat dari sisi yang salah, Evan nampak mencium pipi Ana.

Buru-buru Ana mendorong tubuh Evan kasar hingga akhirnya cowok itu mundur, tersenyum lalu berlalu menuju sedannya yang terparkir di sana. Kemudian mobil itu pun pergi.

Jemari Ana bermain di cincinnya, mengingatkan dirinya sendiri bahwa debaran tadi terjadi karena terkejut dengan sikap Evan.

Evan. Orang yang paling nekat yang pernah dia temui, bayangkan saja, dia berani-beraninya datang ke rumah begitu saja seakan-akan kedatangannya tidak mendatangkan masalah. Bagaimana jika ada Arga di rumah saat ini? Bisa-bisa terjadi perkelahian besar mengingat betapa Arga membenci Evan.

Ana ingat ketika kali pertama Evan mengungkapkan perasaannya pada Ana, seminggu selepas persidangan Glenn, cowok itu mendatangi Ana di sekolah dan segera menyatakan keinginannya untuk mendekati Ana. Tentu saja Arga marah dan berubah menjadi semakin posesif. Dan sejak saat itu pulalah, Evan juga semakin gencar mendekatinya hingga kini.

Omong-omong soal masalah Ana dan Glenn waktu itu, Ana memutuskan untuk tidak membawa Evan dalam jerat hukum. Itu semua dia lakukan karena tindakan Evan yang melindunginya ketika disekap di rumah Glenn. Bahkan cowok itu harus menerima luka tusukan di perut dan luka iris yang cukup panjang di lengan kirinya. Bukan hanya karena itu Ana tidak melaporkan Evan, tapi juga menurut Karina, Evan bukanlah orang yang memukuli dan mencelakainya, tapi ada orang lain yang melakukannya.

Ketika kejadian penyelamatan Ana itu Evan memang segera pergi dalam keadaan luka dan baru kembali beberapa hari kemudian dengan wajah pucatnya. Ana dan Arga sepakat untuk tidak melaporkan Evan dalam kasus itu.

Tapi kini Ana merasa sedikit menyesal, jika dia melaporkan Evan saat itu, bisa saja kini Evan masih berada di balik jeruji besi seperti Evan dan semua suruhannya.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang