Bagian 73

161 11 4
                                    

Halo, penduduk bumi!

***

Sekitar hampir dua minggu dirawat akhirnya Ana kembali. Kakek meminta agar dia dan Arga tinggal di rumah Kakek agar mendapat pengawasan penuh. Sebenarnya Ana bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi pada dirinya hingga Kakek sibuk meminta beberapa perawat untuk merawatnya. Kata mereka Ana dirawat karena ada masalah dengan rahimnya sehingga darah haid yang keluar terlalu banyak dan membuatnya jatuh pingsan. Tapi Ana tidak percaya begitu saja, dia yang mengerti akan tubuhnya dan paham bagaimana proses haidnya.

Karena ketidak percayaan itu Ana berusaha mencari tau, tapi semuanya seakan menutup-nutupi, bahkan kedua temannya dan juga Evan.

Ketika waktu sarapan, Ana dengan sengaja menggeser gelas minumannya hingga menarik seluruh perhatian di meja makan.

"Ana mau kalian jujur kenapa Ana dirawat waktu itu," katanya langsung.

"Ana, kamu itu—"

"Bukan itu kan? Bukan karena masalah period Ana, tapi Ana keguguran, kan?"

Suara denting sendok beradu dengan piring terdengar karena Mama yang terkejut. "Ana. Sayang."

"Kenapa gak ada yang bilang dari awal sama Ana? Kapan Ana bakal tau?"

"Floana, bukan gitu, kita cuma—"

"Harusnya kalian semua jujur sama Ana. Ini tubuh Ana dan Ana berhak tau semuanya!" kata Ana frustrasi. "Kalo Ana gak nguping omongan Dokter Gio semalem, Ana rasa Ana gak bakal tau selamanya. Ya, kan?" Mendorong mundur kursi, Ana berlari dari sana memasuki kamarnya.

Dengan sebelah tangan menutupi mulutnya, Ana menangis tersedu, dia menatap keluar jendela. Ini lebih sakit daripada saat perutnya melilit waktu itu. Perasaan kehilangan sesuatu yang belum pernah dia lihat dan rasa. Ana tersedu, pundaknya bergetar naik turun.

Semalam, Ana tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan Kakek dengan Dokter Gio di ruang kerja Kakek. Awalnya Ana hanya mengira itu pembicaraan seputar kesehatan Kakek namun ketika mendengar namanya disebut Ana tau pembicaraan itu mengenai dirinya. Jujur Ana kaget dan tidak bisa berucap apa-apa, tapi yang dia tau adalah dia menangis semalam.

"Floana," panggil Arga yang baru saja memasuki kamar. "Bukan maksud aku ataupun yang lain untuk nutupin semua ini dari kamu. Ini menyangkut mental kamu, Floana."

"Shut up! Lo gak tau gimana rasa sakitnya."

"Floana. Jujur kita semua bukannya mau buat kamu sedih atau nyimpen semuanya, tapi kamu masih rapuh. Aku gak mau kamu makin sakit nantinya."

"Tau apa lo tentang sakit?" Ana menoleh. "Tau apa lo, Ga?"

"Floana."

"Udah dua minggu lebih dan gue baru tau kalo gue keguguran. Kenapa? Lo mau nyalahin gue karena ini?"

"Bukan. Aku gak akan pernah nyalahin kamu karena ini semua salah aku, Floana."

Ana menyugar rambutnya hingga berantakan jadinya. "Iya ini semua karena lo. Fuck!"

"Floana."

"Get out."

"Flo—"

"Get out!" bentak Ana keras, dia tidak mau melihat wajah Arga. Tidak.

***

Setelah mengetahui berita mengapa Ana bisa keguguran mendadak semuanya berubah, Ana menjadi penyendiri dan tak bisa diajak berkomunikasi. Perempuan itu lebih sering diam lalu ketika malam tiba dia menangis di kamarnya. Kadang ketika larut malam dia bangun dari tidur, duduk di kursi santai teras belakang seraya menatap langit dan jatuh tertidur hingga Arga menggendongnya kembali ke kamar. Atau Ana bisa saja melamun di pinggir kolam renang dengan kaki yang berada di dalam air. Ajakan kedua temannya saja tak pernah dia gubris.

Ana begitu kehilangan, sesuatu yang pernah hidup di dalam perutnya tiba-tiba menghilang tanpa sempat Ana sapa. Ana tak menduga aksi Arga waktu itu ternyata bisa membuatnya hamil. Bukan hanya Ana tapi keluarganya pun sempat bertanya-tanya mengapa bisa.

"An, liat nih. Kakek lo udah nyiapin semuanya buat kita betiga liburan keliling Eropa seminggu. Seminggu, An!" Karina berkata riang, menyembunyikan kesedihannya dibalik senyum. "Gih lo siapin baju lo, apa mau gue bantuin?"

"An. Ana, gue sama Karina bantu nyiapin baju lo, ya?" Kelly menyenggol lengan Ana karena temannya itu hanya diam. "Lo di sini aja. Oke?"

Ana hanya mengangguk lalu kembali melihat keluar jendela, langit malam di atasnya sepenuhnya tertutup awan hingga tak ada bintang dan bulan yang bersinar. Dia merasa tidak bersemangat dengan ajakan dua temannya itu, akhirnya Ana memilih beranjak, keluar dari kamarnya dan menghabiskan waktu di teras belakang.

Kedua orangtuanya dan juga Kakek sangat khawatir dengan keadaan Ana, ini adalah hal yang tidak mereka inginkan terjadi. Namun mereka tidak bisa berbuat sesuatu untuk menyenangkan Ana karena dia kehilangan sesuatu yang berharga lebih dari nyawanya sendiri.

Ana kembali melihat langit, berharap bintang terlihat, setidaknya dengan begitu dia bisa tau jika 'hartanya' ada di sana. Di langit. Memandang dirinya di sini. Sampai beberapa saat setelahnya, kedua mata Ana memberat, dia merasakan ada selimut yang membungkusnya kemudian tubuhnya pun melayang. Arga kembali membawanya kembali ke kamar.

"Floana, maaf karena aku, kamu jadi kayak gini."

Ana dan kedua temannya akhirnya terbang ke Belanda, tujuan awal destinasi mereka selama berkeliling Eropa sebelum beranjak ke Prancis dan Inggris. Namun sayang karena Ana yang tidak minat itu dia lebih banyak menghabiskan hari dengan melamun, berdiam diri tak mau terlibat. Kedua temannya sampai bingung harus bagaimana, yang jelas mereka tidak bisa membiarkan Ana berdiam di dalam hotel.

Mereka kembali, namun keadaan tak jua membaik. Kakek meminta agar Arga terus mengawasi Ana dan menuruti ke mana Ana ingin berada. Bahkan Kakek sudah menyiapkan psikolog dan psikiater terbaik.

Sore ini Ana meminta Arga untuk mengantarnya ke sebuah tempat. Salah satu tempat favorit Ana, atap gedung apartemen Evan.

"Lo gak usah nungguin gue," kata Ana lalu menutup pintu mobil itu dan bergegas masuk.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang