Bagian 34

169 8 3
                                    

Di halaman depan, Ana sedang menemani Gibran bermain mobil-mobilan, anak itu menggerakkan remot di tangan seraya tersenyum. Dia menunjuk-nunjuk ke arah mobil, sementara Ana hanya nyengir karena tidak mengerti. Dia menepati janjinya menjemput Gibran sepulang sekolah dan mengajaknya ke rumah. Anak itu terlihat sangat senang, masih dengan mengenakan seragam sekolah dia segera mengeluarkan mainan dari dalam tas yang Bi Tuni bawa.

"Eh, lo itu ganti baju dulu," komentar Ana untuk yang ketiga kalinya, namun Gibran tidak menggubris. "Woi! Lo mau nyuci bajunya sendiri?"

Gibran tertawa.

"Idih anjir malah ketawa."

"Language, Floana."

Ana tadinya tidak ingin menoleh karena mengira suara itu adalah suara dari dalam pikirannya sendiri, tapi ketika melihat Gibran berlari senang, Ana jadi tau bahwa Arga ada di sini.

Ana berbalik dan melihat Arga yang kini sedang menggendong Gibran, keduanya tertawa. Ini bukan weekend dan Arga juga tidak mengabarinya sama sekali. Sejak mendapat sepuluh panggilan tidak terjawab dan lima belas pesan singkat—sepulangnya dia dari club tempo hari—Ana kira Arga akan marah. Pasalnya Ana hanya mengatakan bahwa dia tertidur dan tidak ada pembicaraan lebih lanjut.

"Kamu pulang? Kenapa gak kasih tau?"

Arga menurunkan Gibran dari gendongannya. "Just wanna give you a little surprise."

Bibir Ana perlahan membentuk senyum. "Lo minggir, gue mau meluk suami gue," katanya pada Gibran yang segera dituruti. Kemudian Ana memeluk Arga, merasakan detak jantung suaminya dan juga bau parfum khas yang Ana sukai. "I miss you."

Arga terhenyak mendangar perkataan Ana, dia tersenyum, sebelah tangannya mengelus punggung Ana. "Kamu kayaknya kelamaan kena matahari, jadi otaknya agak..."

Ana melepaskan pelukannya lalu mencebik. "Terserah!"

"Jangan marah, aku becanda. Mau cium?"

"Apa sih?"

"Malu?"

"Apa sih, Ga. Gak jelas."

"Muka kamu merah."

Refleks, Ana memegang kedua pipinya lalu cemberut. "Bodo amat!" ucapnya ketus lalu dia berlari memasuki rumah meninggalkan Arga yang tertawa di sana.

Ana sedang berkirim pesan dengan Kelly ketika dia merasakan ada lengan yang melingkari perutnya. Ana sedikit terhenyak.

"Kamu marah?" Napas Arga berhembus di telinganya.

"I'm not." Ana menggeleng. "Kenapa harus marah, Ga?" Diusapnya jemari Arga.

Kepala Arga bergerak, dia mencium pipi Ana. "Kenapa Gibran ada di sini?"

"Oh itu, aku janji mau jemput dia pulang sekolah sama ngajak ke rumah. Semenjak kamu pergi dia kan jadi gak ada temen."

"Floana, terima kasih." Bibir Arga turun mencium leher Ana secara lembut dan Ana dengan sukarela memberikan Arga akses di sana.

***

"Lo nginep di sini aja biar bisa sama Kakak lo," kata Ana sore itu pada Gibran. "Gak apa-apa kan, Kek?"

"Ya gak apa-apa, Gibran juga pasti kangen sama Arga." Kakek tersenyum.

"Sekalian Bi Tuni nginep sini aja. Nanti saya cariin baju ganti untuk Bibi," ucap Mama yang membawa dua kopi di atas nampan. Bi Tuni mengangguk. "An, kamu nanti buatin minum buat Arga."

"Kenapa?"

Mama meletakkan kopi itu di atas meja lalu menghampiri Ana. "Arga sekarang itu udah jadi suami kamu. Kamu ngerti, kan?"

Ana menggumam agar percakapan itu tidak berlanjut. Suasana sore di rumah itu cukup ramai, Ana jarang menghabiskan waktu bersama dengan keluarganya ketika sore menjelang. Dia seringkali memilih berdiam diri di kamar, tapi kali ini karena Arga ada di rumah maka dia tidak bisa berdiam diri di kamar. Bisa-bisa Arga akan menyeretnya untuk bergabung.

Tak lama Arga ikut bergabung di ruang keluarga, dia duduk di sebelah Ana, badannya menguarkan bau segar dan juga campuran deodoran. Rambutnya masih sedikit basah sehabis mandi.

"Aku disuruh Mama buatin kamu minum. Kamu mau minum apa?" bisik Ana, sebelah tangannya berada di atas paha Arga.

"Kopi. Jangan manis, jangan pahit. Aku butuh itu untuk nanti malem."

Kening Ana berkerut namun dia tidak bertanya, dia beranjak menuju dapur. Kalau sekadar membuat minuman seperti ini sih Ana sudah biasa.

"Gimana? Pas, gak?"

Arga menimang-nimang sejenak sebelum akhirnya tersenyum, Ana kira itu pertanda baik sampai akhirnya Arga berkata, "Agak kemanisan, tapi gak apa-apa. Kamu udah belajar." Diusapnya puncak kepala Ana pelan, dia mendekat ke telinga Ana. "Aku mau kamu nanti. Jangan kecapekan, ya?"

***

Ana rasa ini waktu yang tepat untuk bertanya pada Arga. Dia tidak bisa diam begitu saja karena perasaannya hanya akan semakin kalut. Tapi kali ini Ana harus menurunkan egonya agar tidak ada amarah dalam setiap pertanyaannya.

Pintu dibuka, Arga masuk dengan langkah lebar, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ana yakin jika Arga ditahan oleh Kakek dan Papa dalam perbincangan. Arga meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu mencium puncak kepala Ana sebelum akhirnya memasuki kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia keluar dan segera menghampiri Ana.

"Ga, aku mau nanya sama kamu." Ana menggeser duduknya dan bersandar di tubuh Arga. "Siapa Kalisa?"

Arga berdeham, lembutnya rambut Ana terasa di tangannya. "Dia temen aku dari kecil. Pas di Yogya aku sama dia tetanggaan, sering main bareng, nyampe sekolah juga bareng. Dari SD sampe SMA. Bisa dibilang aku deket sama dia."

"Kenapa kamu gak pernah bilang?"

"Forgive me, Floana. Salah aku yang gak bilang dulu sama kamu. Maaf."

"Lain kali bilang biar aku gak mikir yang aneh-aneh."

"Iya, aku pasti bakal kasih tau kamu semuanya. Kalau nanti kamu ke Yogya, aku bakal kenalin kamu ke temen-temen aku di sana."

"Dia... tinggal bareng kamu juga?"

Arga menoleh, dia mearih dagu Ana agar kedua mata mereka saling menatap. "Of course not. Dia cuma tinggal gak jauh dari tempat aku."

Ana mendengus, bibirnya ingin mengucapkan kata-kata lainnya namun dia tau, itu adalah bentuk egonya. Dan Ana tidak bisa membiarkan egonya meninggi, dia ingin menahannya sekali saja. Meskipun dia tau bahwa perasaannya masih belum bisa. Akhirnya Ana membiarkan saja kala Arga mencium bibirnya dan mulai membuainya.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang