Bagian 56

130 9 15
                                    

Arga menyerahkan satu potong ice cream di tangannya pada Kalisa yang tengah duduk di bawah pohon besar di depan Fakultas Bisnis.

"Apaan nih? Biasanya juga lo gak mau bagi-bagi kalo masalah es," kata Kalisa membuka bungkus ice cream. "Mm, lo pasti ada maunya, kan?"

Arga yang sudah duduk di sebelah Kalisa itu mengangguk. "Gue mau minta maaf. Maaf karena ucapan Floana semalem."

"Gak masalah, tapi gue belum bisa maafin."

"Kalisa."

"Iya, Argaaa. Kenapa? Gue emang belum maafin. Belum sampe lo nurutin apa yang gue mau."

"Apaan emangnya?" Arga menoleh seraya memakan ice cream di tangannya. "Jangan yang aneh-aneh."

Kalisa nyengir kuda. "Gak. Ini nih gak aneh, tapi pasti lo suka. Jadi gue itu mau kalo kita balik kayak dulu lagi. Pas SD. Keliling pake sepeda terus ngambil mangga."

"Maling lebih tepatnya."

"Iya itu. Jadi gimana? Mau ya? Kita kan udah lama gak naik sepeda. Ya, Ga?"

"Tapi emang ada sepedanya?"

"Ada. Eh tapi temenin gue beli rujak dulu, ya. Kepengen banget nih gue."

Arga membuang stik ice cream itu ke dalam tong sampah lalu menatap Kalisa. "Gak usah, lo itu gak bisa makan kayak gitu. Inget ya lo punya maag, gue gak mau nyampe kronis."

"Tapi gue mau, Gaa." Kalisa bergelayut di lengan Arga. "Ya? Ya? Bagi dua sama lo deh makannya, ya? Ayolah, Gaa."

"Oke. Oke. Jangan kayak anak kecil gini." Arga berusaha menjauhkan lengan Kalisa namun perempuan itu tidak mau. "Kal, bisa lepasin tangan lo?"

"Oh, sori."

Setelah menemani Kalisa membeli rujak, keduanya segera beranjak ke rumah Arga. Begitu sampai di sana, Kalisa hendak memasuki kamar Arga namun Arga melarang. Dia tidak bisa membiarkan Kalisa memasuki kamarnya sesuka hati seperti dulu karena kini kamar itu juga kamar Ana.

"Kamarnya kotor. Lo jangan ke sana, mending di depan aja deh. Gue cuma mau ngecek aja."

Kalisa mendesah berat lalu mengangguk menuruti.

Sementara Arga memasuki kamar, hidungnya mencium wangi parfum Ana samar-samar. Ponsel di dalam sakunya bergetar namun dia tau itu bukan dari Ana. Istrinya itu sedang dalam kondisi tidak baik jadi mana mungkin akan menghubunginya, dalam kondisi baik saja Ana memang jarang menghubungi. Arga menghembuskan napasnya pelan, dia tidak tau apakah semalam dia menyakiti Ana atau tidak, karena Ana memang begitu, tempramen dan keras kepala. Dia sudah berusaha menjauhi Kalisa, bukan menjauhi, tapi mencoba menjaga sikapnya pada Kalisa. Tapi Ana seakan-akan masih menganggapnya dekat, jujur saja Arga tidak mengerti bahkan tidak tau mengapa Ana tidak mau menerima Kalisa.

"Ga, lo ngapain? Ayok, keburu malem nih."

Seruan Kalisa itu membuat Arga terhenyak lalu keluar dari kamarnya dan menghampiri Kalisa yang duduk rapi di sebuah sepeda yang mereka bawa tadi.

"Kayak dulu, lo di depan gue yang di belakang," kata Kalisa. "Kita keliling komplek dulu deh."

Keduanya kemudian pergi dengan sepeda, Kalisa duduk manis di belakang Arga, sesekali berdiri seraya memegang kedua pundak Arga sebagai pegangan. Mereka bernyanyi lagu kanak-kanak dan kembali mengulang masa lalu, hanya saja kini pohon mangga itu belum musimnya untuk berbuah.

"Tau gak sih Ga, bapak yang suka marahin kita karena nyolong mangga itu udah ninggal. Gue sedih juga sih, padahal bapaknya baik," ucap Kalisa sendu ketika mereka melewati rumah pemilik mangga. "Kita juga belum minta maaf."

Seraya menggowes, Arga membalas, "Bapak itu pasti udah maafin kita, Kal. Gue yakin deh. Sekarang kita ke sini."

"Tujuan akhir. Rumah gue. Atau rumah yang dulunya gue tempatin." Kalisa turun dari sepeda dan menatap ke rumah kosong di depannya.

Arga ikut berdiri di sebelah Kalisa. "Kenapa gak lo sewain aja rumahnya, daripada harus dijual gini."

"Keluarga gue bukan orang yang kaya banget, Ga. Jadi ya mau gak mau rumah ini harus dijual biar bisa beli rumah di sana."

Banyak kenangan terjadi di sini dan di rumah Arga karena keduanya memang dekat. Dulu, mereka sering membuat tenda di halaman depan rumah Kalisa, lalu bercerita. Arga sering berteriak memanggil nama Kalisa untuk mengajaknya bermain, hingga waktu ke waktu panggilan itu berubah menjadi ketukan pintu. Area bermain mereka juga menjadi jauh, bahkan ketika SMA, saat weekend, dia pernah membawa Kalisa hampir keluar dari Yogyakarta.

Kepala Kalisa bersandar pada bahu Arga. "Gue kangen masa-masa kita dulu, Ga." Jemarinya mencari jemari Arga untuk bertaut. "Lo sama gue. Berdua. Ke mana-mana. Sharing cerita. Gue mau balik ke masa itu lagi, pas lo belum punya hubungan. Dan pas kelulusan gue. Gue mau balik ke masa itu lagi."

Masa itu. Arga tidak tau harus menyebutnya apa. Masa di mana dia dan Kalisa begitu dekat hingga orang-orang beranggapan bahwa mereka berpacaran. Masa di mana dia selalu menemani Kalisa bahkan hanya untuk sekadar membuang rasa bosan. Sudah banyak waktu mereka habiskan hingga tanpa sadar Arga sering bolak-balik Jakarta-Yogyakarta hanya demi menemani Kalisa. Hingga selepas hari kelulusan Kalisa, Arga menciumnya di depan rumah perempuan itu. Arga masih ingat bagaimana ketika dia melumat bibir Kalisa dengan rasa asam stroberi yang perempuan itu makan. Juga dengan senyum lebar Kalisa ketika mereka selesai berciuman namun tak ada ucapan apapun setelah itu.

"Tapi sayangnya kita udah gak bisa balik ke masa itu lagi. Gue udah punya Ana sekarang."

Kalisa diam sejenak, genggaman tangannya semakin erat. "Gue tau. Gue cuma ngungkapin apa yang ada di kepala gue. Aww."

"Kal," Arga menoleh dan melihat Kalisa yang mengernyitkan dahi. "Kan gue udah bilang, gak usah makan rujak. Lo kenapa sih susah banget diomongin?"

"Sengaja. Biar lo perhatian. Cari nasi yuk. Gue yang di depan, lo di belakang."

"Emang kuat?"

Kalisa mendelik, dengan cepat dia mencubit kedua pipi Arga. "Jangan ngeremehin gue, Arga Raditya!"

***

Dukung Ana selalu ya gaesss:)))))

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang