Bagian 51

131 10 0
                                    

Ana berusaha menyimpan ponsel Evan itu sebaik mungkin agar Arga tidak tau, barulah setelah itu dia mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, dia melihat Arga bertelanjang dada dan memunggunginya. Bekas luka di punggung Arga kembali mengingatkan Ana akan kejadian dulu. Arga terluka demi melindunginya dari Glenn. Dia rela datang menolong tanpa memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Karena luka itu pulalah perasaan Ana pada Arga menjadi lebih terbuka.

Kadang Ana suka bertanya pada dirinya sendiri, sudah sedalam apa perasaannya pada Arga? Apa masih sama seperti saat dia benci melihat Arga terluka? Apa masih sama seperti dia merasa kehilangan ketika Arga kritis di Rumah Sakit waktu itu? Tak ada jawaban sama sekali. Dia selalu berpikir bahwa kini mereka sudah menikah dan perasaan tak lagi penting. Tapi Ana sadar dia salah. Sesungguhnya dia kembali tidak mengerti, desiran singkat yang dia rasakan ketika jemari Evan menyentuhnya tadi apakah sama seperti ketika Arga menyentuhnya.

Ana tidak pernah merasakan bagaimana mencintai orang begitu dalam, tidak juga pada Darren dulu. Kini seolah-olah Ana terombang-ambing akan perasaannya sendiri. Dia marah melihat Arga dekat dengan Kalisa, apa itu bisa dibilang cemburu? Atau hanya karena Ana merasa bahwa perhatian Arga padanya masih kurang?

Menghembuskan napas, perlahan Ana mendekat dan memeluk Arga dari belakang. Dia ingin mendengar detak jantung suaminya yang bersahutan dengan detak jantungnya sendiri. Dia ingin merasakan otot-otot Arga. Dan dia juga ingin menghilangkan desiran itu.

"Biarin gini aja dulu, Ga," kata Ana ketika Arga ingin mengurai pelukan. "I just wanna know something."

"Something what?"

Ana tak menjawab, alih-alih dia menenggelamkan kepalanya di punggung Arga. Ya, Arga kini ada di pelukannya. Di sini. Ana tau dia hanya harus bersama Arga, dalam senang dan sedih maupun sehat dan sakit.

"Floana, ada apa, hmm?" tanya Arga pelan, jemarinya mengusap punggung tangan Ana.

"Gak ada apa-apa. Aku... cuma mau meluk kamu."

Sesaat kemudian Ana akhirnya mengurai pelukan itu dan segera dihadiahi ciuman lembut dari Arga. "Aku ambilin kamu baju ya?"

Ana tersenyum lalu mengangguk membiarkan Arga mengambilkan pakaian untuknya.

Kini tak boleh lagi ada keraguan dalam diri Ana. Arga suaminya. Orang yang lebih berhak mendapat sejuta perhatiannya.

Sampai beberapa hari kemudian Evan tak memberinya kabar sama sekali, bahkan ketika Arga kembali ke Yogyakarta. Ponsel itu masih setia diam begitu saja.

"Aw! Apa sih, Gib? Maen? Mau maen apa lo?"

Gibran menunjuk-nunjuk ke arah Time Zone di sana. Siang ini, selepas kuliah, Ana memang sengaja menjemput Gibran untuk diajaknya berjalan-jalan. Sedang Bi Tuni tengah berbelanja kebutuhan sehari-hari di supermarket.

"Ntar dulu. Gue kebelet buang air kecil nih."

Kemudian Ana meminta agar Gibran menunggu di lorong luar kamar mandi. Namun ketika Ana keluar, dia terkejut tidak mendapati Gibran di sana. Berjalan menuju toilet pria, dia pun tak menemukan sosok Gibran.

"Aduh, tuh anak ke mana sih?" Ana menggaruk tengkuknya seraya berjalan, tak lama dia melihat sosok Gibran di Time Zone bersama dengan Evan. Sial. "Eh lo ngapain ke sini sendirian? Ayo pulang."

Namun Gibran menolak, dia malah menarik-narik kemeja Evan agar bermain bersama.

"Ck! Udah jam berapa nih? Ayo balik, Gibran," kata Ana tajam.

"An, biarin dia main dulu. Sebentar aja," kata Evan dengan tangan yang menahan tangan Ana. "Atau biar nanti gue yang nganter dia."

"Shut up! Lo jangan berani-berani deketin Gibran."

"Gue gak bakal nyakitin dia," desis Evan tajam. "What's wrong with you? Gue tau dia adiknya Arga tapi gue bukan psikopat yang suka nyakitin sembarang orang. Lo pegang hape sama dompet gue, yang gue butuh cuma ini," ditunjukkannya sebuah kartu, "lo bisa langsung panggil security, polisi sekalian, terserah. Intinya gue cuma mau nemenin Gibran."

Meskipun begitu Ana tetap tidak bisa membiarkan Gibran hanya berduaan dengan Evan begitu saja. Hingga akhirnya Ana pun menemani keduanya ke manapun arena di Time Zone tersebut. Dari sini Ana bisa melihat betapa Gibran begitu bersemangat bermain dan tertawa, sedang Evan nampak begitu senang, dia tertawa bersama dengan Gibran begitu lepasnya. Kedekatan keduanya begitu terasa seolah-olah Gibran sudah mengenal Evan cukup lama.

Kemudian Gibran mengajak Ana untuk masuk ke booth foto. Ana menolak namun Gibran memaksa, bukan hanya memaksa Ana tapi juga memaksa Evan. Dan lihatlah, mereka nampak seperti keluarga kecil dengan Gibran yang berada di pangkuan Evan sedang tersenyum lebar hingga gigi-giginya nampak.

Kini ketiganya duduk di bangku panjang, memerhatikan orang lalu lalang di hadapan. Gibran tengah memakan ice cream yang Bi Tuni belikan tadi.

"Gue baru tau kalo Arga punya adek dan ya adeknya beda gini," kata Evan kemudian. "Gue gak ada niatan nyakitin anak kecil, apalagi anak kecil kayak Gibran gini. Lo kenapa jadi skeptis sama gue?"

Ana menghembuskan napasnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan, dia tidak ingin merasakan desiran itu lagi. "Kenapa? Gak ada yang salah, kan?"

"Ya, tapi gak setelah waktu yang udah kita lewatin. Did I hurt you?"

"Gue cuma mau lo gak muncul lagi di hadapan gue. Lupain semuanya."

"Gue bisa aja, tapi gue gak punya alesannya. Kasih gue satu alasan kenapa gue harus jauhin lo?" Evan mengangkat tubuh Gibran sehingga dia kini bisa bersebelahan dengan Ana. "Bukan alasan karena Arga. Itu terlalu umum."

"Lo buat gue gak nyaman."

"Look at to my eyes. Liat gue, Ana. Stop lying."

"Apa-apaan sih? Sekali gue bilang gak nyaman ya bakal gak nyaman. Harusnya lo ngerti. Janji gue sama Arga itu murni dan gue gak bakal ingkarin janji itu."

Butuh beberapa detik hingga akhirnya Evan tersenyum miring. "You are terrible liar, Ana," katanya. "Your eyes tell everything. Tapi oke, gue coba untuk gak muncul di hadapan lo." Dia bangkit, sebelah tangannya mengusap puncak kepala Ana. "Call me, everytime you need. I'll pick it up as soon as I can."

Ana hanya bisa melihat punggung Evan yang kini menjauh dan lenyap di balik banyaknya orang berlalu-lalang.

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang