Ntah fakta atau bukan tapi jika Arga memang benar-benar pernah mencium Kalisa itu artinya hubungan keduanya bukan hanya sekadar sahabat. Ada yang mereka sembunyikan dengan baik. Dan Ana kembali seperti orang bodoh berdiri di dalam kamarnya memandang keluar jendela. Makin merasa bodoh karena dia tidak tau apapun tentang Arga, semakin Kalisa berbicara maka semakin besar pulalah lubang ketidaktahuan Ana.
Ana tidak tau harus memulai dari mana, namun kini dia sudah berada di kediaman keluarga Papa Satria. Dengan alasan ingin bertemu Gibran, Mama Rara mempersilakan masuk dan langsung mengajak Ana ke dapur karena Mama Rara tengah memasak soto.
"Ma, Ana mau nanya. Pas Arga SMA, dia masih suka ke Yogya, ya?" Ana segera bertanya.
"Iya. Masih, karena dia bilang mau kumpul sama temennya."
"Seberapa sering, Ma?"
Mama Rara memasukkan potongan daun bawang ke dalam panci. "Setiap weekend Arga pasti ke sana, An. Ya, Mama sih ngebolehin tapi Papa tadinya gak, cuma karena Arga udah berubah dan di sekolah dia juga jadi bagus jadi boleh."
"Tapi Mama tau Arga ngapain aja selama di Yogya?"
"Tau. Arga suka balapan, tapi Mama tau juga kalo Arga gak selalu balapan. Dia bilang kadang kumpul-kumpul aja. Mama gak bisa ngelarang karena takut kalo Arga malah jadi berubah kayak dulu lagi. Nakal."
"Oh ya? Mm, Mama tau temen Arga yang namanya Kalisa?" Ana menyerahkan lembaran daun jeruk pada Mama Rara.
Mama Rara mengangguk. "Itu tuh temen Arga dari kecil. Mereka itu dekeet banget, An. Mama udah nganggep anak sendiri karena mereka itu udah bener-bener kayak kakak-adik. Kamu udah ketemu Kalisa?"
"Udah, Ma. Dia satu jurusan sama Arga."
"Iya, Arga pernah cerita ke Mama. Tapi heran aja kenapa Kalisa kok malah ngulang, kan sayang udah satu tahun kuliah. Eh iya, hubungan kalian baik-baik aja, kan?"
Ana menghembuskan napasnya berat, dia tidak tau apakah hubungannya baik-baik saja. "Baik kok, Ma. Baik."
"Sukur deh. Mama ini kadang khawatir karena kalian kan nikah muda, takut ada apa-apa gitu. Tapi jaga emosi ya, Ana."
Ana rasa dia sudah cukup pintar menahan emosi akhir-akhir ini, atau bisa dibilang setelah menikah. Tak ada lagi emosi meledak-ledak hingga dia harus bertengkar dan berkelahi. Tapi rasanya salah, dia tetap saja tidak tenang. Ada sesuatu yang harus dia buktikan.
"Seberapa sering Arga ke Yogya waktu itu?" tanya Ana langsung begitu Dion mengangkat panggilan.
"Ha? Oh itu... kalo pas dia di Jakarta sih gak sering. Kalo di ke Yogya juga pasti ngabarin sehari sebelumnya," jelas Dion.
"Jelasnya sebulan berapa kali?"
"Mmm, kadang gak tentu. Bisa full weekend sebulan dia di sini, kadang—"
"Yang paling sering."
"Sebulan dua kali. Gini An, kadang Arga dateng juga pas kita telpon dia kalo ada balapan, kalo gak ada ya dia jarang dateng. Sebulan dua kali juga gak tentu. Intinya, kadang, kalo kita telpon suruh ke sini dia dateng."
Penjelasan dari Dion membuat Ana berpikir keras, ini semua berkebalikan dengan ucapan Mama Rara tadi. Ana terduduk di cekungan jendela kamarnya. Apa maksud semua ini? Jadi ke mana Arga pergi jika dia tidak mendatangi teman-temannya itu?
"An, lo gak apa-apa?" suara Dion disertai dengan kekhawatiran samar.
"Lo tau hal lain, kan? Don't lie," ucap Ana kemudian.
Dion menghela napasnya berat, sebagian dirinya tak ingin bercerita tapi Ana harus tau. "Kalo maksud lo gue pernah ngeliat dia di Yogya, padahal dia gak bilang mau ke Yogya, ya gue pernah liat dia. Bukan cuma sekali tapi beberapa kali."
Hati Ana mulai berdenyut, seakan ada yang meremasnya. Mulutnya masih mengatup, mengizinkan Dion bercerita.
"Sori, An, tapi gue beberapa kali ngeliat dia jemput Kalisa pulang les dan sekali gue liat dia sama Kalisa berdua di mall. Itu semua gak pake ngabarin gue sama yang lainnya kalo dia ada di sini."
Ana mengumpat keras. Mencerna semuanya. Kebohongan yang dilakukan Arga pada keluarganya, lalu dengan sikap Arga ketika Ana menemuinya di Yogya. Semuanya memang sudah jelas jika Ana bisa melihatnya sejak awal. Suaminya yang tidak pernah membelanya melainkan melindungi sesuatu yang lain. Perasaan orang lain.
Ana mendengus keras, "Gue kayaknya bodoh banget. Bukan cuma orang itu tapi Arga juga suka sama Kalisa. Tolol!"
Memejamkan kedua mata, Ana makin merasa hatinya kini diremas begitu kuat sehingga menyesakkan dadanya. Ntah bagaimana dia bisa tidak melihat ini semua yang begitu jelas. Pantas saja Arga masih tidak bisa menjauhi Kalisa, karena perasaan itulah.
Sialan.
Percuma rasanya dia menahan emosi untuk tidak menyerang Kalisa. Harusnya dia melakukan itu sejak awal, agar Arga tau bahwa Ana bukan orang sabar. Yeah, Ana masih bisa melakukannya.
Ana memang menahan emosinya ketika berkumpul dengan teman-teman Arga tempo hari, semata-mata karena ada Arga di sana. Dia berharap jika Arga mengerti akan dirinya dan mau membelanya. Itulah yang membuat Ana menjadi sedikit tidak tempramen, karena Arga ada di sana. Karena suaminya ada di sana. Karena dia tau ada yang melindunginya dan membelanya. Namun sayang harapan itu pupus ketika Ana tak melihat cincin melingkari jari Arga. Tak ada di kesepuluh jarinya, yang ada hanya kekosongan hingga akhirnya Ana tak bisa untuk tidak membalas perkataan Kalisa waktu itu.
Peduli setan dengan status pernikahannya, Ana akan membiarkan Arga melakukan apa yang laki-laki itu mau, dan Ana akan melakukan apa yang dia mau. Toh dia sudah belajar menjadi 'istri yang baik' bagi Arga tapi semua itu tidak bernilai. Ana tak bisa berpura-pura jika dia tidak muak dengan tingkah Kalisa dan kebutaan Arga.
Memutus sambungan telpon, Ana melempar ponsel itu ke atas ranjang asal. Dia perlu mencari udara malam. Dia ingin mencari kebebasannya yang sempat hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TMH 2 - Hold Me Tight ✔️
RomanceMAU DIBENERIN A sequel to Take My Hand 17+ (Terdapat kata-kata kasar dan attitude yang tidak baik) Status Ana kini sudah berganti menjadi istri dari seorang Arga. Ana mengira kehidupannya dengan Arga akan dilaluinya dengan baik-baik saja namun terny...