Alurnya kelambatan gak, sih?
Gaklah ya.
Ya udah, happy reading!
***
Ana memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, karena hanya sehari berada di sana maka pakaian yang dia bawa pun tak banyak. Jemarinya memilih pakaian dalam sampai akhirnya dia melihat lingerie merah yang menggantung di sana. Well, Ana memang belum mengenakannya sama sekali dan hasil belajar dari Karina pun belum dia praktikkan. Sudah harusnya dia praktikkan bukan?
Dengan senyum miring, Ana memasukkan lingerie itu ke dalam tas. Dia beranjak keluar dari walk in closet, bergabung bersama dengan Arga yang sedang menonton film di televisi.
"Udah kamu siapin bajunya?"
Ana mengangguk, dia menyelinap di bawah lengan Arga. "Nonton film apa?"
"Pengabdi Setan. Kamu udah pernah nonton?"
"Belom. Film tentang apaan?"
"Pengabdi Setan," jawab Arga santai, dia langsung mengernyit begitu Ana mencubit pinggangnya. "Cubitan kamu pedes banget, astaga. Biru nih nanti."
"Lagian jail amat jawabnya." Ana melirik film lalu hampir menjerit. "Ih anjir! ini film horor, Arga!"
Arga tertawa melihat reaksi Ana, jujur saja dia tidak tau jika Ana tidak suka genre film ini. "Seriusan aku baru tau nih kalo kamu ternyata gak suka film horor."
"Bukan gak suka, cuma kurang suka aja. Bedain."
"Intinya kamu takut, kan? Haha, iya aku becanda, Sayang. Sini peluk kalo takut."
Meskipun memasang tampang cemberut, Ana tetap memeluk Arga. Kadang ketika menonton film horor di bioskop, Ana memeluk Kelly ataupun Karina ditambah dengan sedikit teriakan. Karenanya kedua temannya itu selalu merasa jengkel setiap kali mengajak Ana menonton film horor.
"GAA, IH ADA IBU-IBUNYAAA!" Ana berteriak seraya membenamkan wajahnya di dada Arga. "Sumpah serem."
"Demi Tuhan, Floana, suara kamu buat aku kaget." Arga mengusap puncak kepala Ana, dadanya terasa sedikit sesak karena pelukan Ana yang terlalu erat. "Ini cuma film, kata guru SMP aku semua film itu bohong."
"Guru SMP kamu berarti gak punya sense horor yang bagus!"
Arga terkekeh pelan, pelukan Ana masih begitu erat di tubuhnya. Tangannya berusaha mengurai pelukan Ana namun istrinya itu malah makin mempererat seraya berteriak. Barulah ketika adegan sudah tidak lagi terasa begitu menyeramkan, Ana mau kembali menatap layar televisi. Sampai akhirnya film itu pun selesai, Ana berusaha mengatur nafasnya agar kembali normal.
Kemudian Ana memutar sebuah film romance berjudul To All the Boys I've Loved Before. Setidaknya dia tidak harus memeluk tubuh Arga sepanjang film itu berlangsung. Ana menyandarkan kepalanya di dada bidang Arga, tempat lain yang dia sukai. Dia suka mendengar detak jantung Arga yang terkadang tidak beraturan ditambah dengan usapan di kepalanya.
"Bi Tuni pernah bilang sama aku kalo Gibran itu anak angkat," Ana berkata. Kedua matanya terfokus pada film.
Arga bergumam. "Waktu aku SMP, aku sekeluarga ke Panti dan liat Gibran yang sendirian, gak ada temen. Terus Mama minta sama Papa untuk angkat Gibran jadi anak. Kata pemilik Panti, Gibran bisu karena demam, aku juga gak ngerti gimana. Tapi dia masih bisa denger walaupun gak bisa ngomong."
Ana mendongak. "Gibran beruntung bisa dapet keluarga sebaik keluarga kamu, Ga."
"No, tapi keluarga aku yang beruntung ada Gibran, dia itu kayak cahaya. Gak pernah marah dan gak suka banting mainan, dia suka senyum."
"Selalu senyum nyampe ngeselin."
"Aku rasa kamu akhir-akhir ini mulai berubah, Floana. Kamu jadi sedikit lebih lembut."
"Sedikit?"
Arga mengangguk. "Kenyataannya memang sedikit, Sayang. Aw, cubitan kamu sakit tau," dia meringis begitu mendapat cubitan kembali. Namun Ana memasang tampang masa bodo.
Film itu tidak Ana tonton sampai habis, alih-alih dia jatuh tertidur di dada Arga. Wajahnya yang begitu tenang hampir membuat Arga tidak tega memindahkan kepalanya ke atas bantal. Namun karena tidak mau membuat leher Ana ketika bangun nanti sakit, sepelan mungkin dia menggeser tubuh Ana setelah mengatur bantal-bantal agar sesuai. Ditariknya selimut hingga menutupi dada Ana kemudian dia mengusap wajah dan menyingkirkan rambut-rambut yang menghalangi wajah Ana.
Arga kembali memastikan bahwa bantal-bantal yang dia susun sudah membuat Ana nyaman, karena istrinya itu terkadang hanya mengganti posisi sekali ataupun dua kali. Oleh sebab itu Arga sering kali terbangun untuk memastikan jika posisi tidur Ana tidak akan membuat perempuan itu sakit. Di saat tengah memandang wajah Ana, ponselnya di ujung ranjang bergetar. Mengambil ponsel, Arga melihat nama Kalisa di sana. Dia turun dari ranjang, mematikan televisi lalu keluar kamar untuk mengangkat panggilan itu.
"Ga, gue gak bisa tidur," Kalisa segera buka suara begitu panggilan diangkat.
Sementara itu Arga duduk di sofa dan memandang jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. "Masih jam sepuluh, Kal, cepet amat udah mau tidur."
"Ih tadi tuh jam sembilan gue udah ngantuk banget, gue coba tidur dan lo tau Ga, tetangga gue berantem heboh."
"Terus lo liat gak gimana berantemnya?"
"Liat dong. Cekcok mulut doang sih, kurang seru, tapi bacot-bacotannya seru."
Arga terkekeh. "Gimana-gimana?"
"Ha? Sori-sori, ngelantur lagi gue." Kalisa balas terkekeh. "Tapi tadi gue ngeliat orangnya mirip Wiko, tetangga kita yang gendut itu. Inget, gak?"
Arga mencoba mengingat-ingat sosok Wiko, lalu akhirnya berujar, "Yang mangganya suka kita ambilin, kan?"
"Iya yang itu," sahut Kalisa antusias. "Gue jadi kangen masa-masa itu, lo sama gue lari-larian karena dikejer dia—"
"Sampe lo pernah kecebur got."
"Ga, udah deh jangan mulai. Malu gue."
Arga terbahak.
"Oh iya Ga, tadi gue buat souffle pancake."
Tubuh Arga bersandar di punggung sofa, kedua alisnya terangkat. "O ya? Pasti enak. Ya, kan?"
"Absolutely!" kata Kalisa. "Tadi udah gue makan, lumayan. Lo harus jadi orang pertama yang nyobain."
"Gue selalu gak sabar untuk nyoba." Ya, karena Kalisa memang lumayan jago memasak dan rasanya sesuai dengan lidah Arga.
"Pokoknya lo harus jadi orang pertama yang nyoba setiap masakan gue, Ga. Gue gak mau kasih ke orang lain," pungkas Kalisa. "Mmm, istri lo ke mana, Ga?"
"Floana udah tidur."
Kalisa bergumam. "Gue tunggu lo balik ke sini. Good night, Apel."
Apel. Dulu Kalisa sering memanggilnya begitu karena Arga selalu memakan apel di sekolah setiap harinya.
"Good night, Kal." Sambungan itu terputus, Arga menatap layar ponselnya sebelum bangkit berdiri namun dia menjerit kaget melihat sosok Ana. "Floana, kamu ngagetin aja."
Dengan wajah yang mengantuk, Ana berusaha menahan kuapnya. "Kamu habis ngapain?" tanyanya dengan suara serak.
"Habis angkat telpon. Kamu kebangun karena suara aku, ya?"
"Aku haus."
"Ya udah kamu tunggu di kamar, aku ambilin kamu minum."
Ana mengangguk lalu kembali ke kamar sementara Arga beranjak untuk mengambilkan segelas air minum untuk Ana.
KAMU SEDANG MEMBACA
TMH 2 - Hold Me Tight ✔️
RomanceMAU DIBENERIN A sequel to Take My Hand 17+ (Terdapat kata-kata kasar dan attitude yang tidak baik) Status Ana kini sudah berganti menjadi istri dari seorang Arga. Ana mengira kehidupannya dengan Arga akan dilaluinya dengan baik-baik saja namun terny...