Epilog

320 17 9
                                    

Hai, semua!

Seneng?

Jan lupa, ada prolog pasti ada juga epilog.

***

Sembari mengenakan kaus, Ana memerhatikan kedua temannya yang nampak sibuk berteriak ketika mereka video call.

"Gila, bacot lo bedua malah makin jadi-jadi, sih!" komentar Ana seraya meraih makanan ringan dan memakannya. "Ngomong apa tadi lo, Na?"

"Gue nanya, di sana ada cowok-cowok keren buat Kelly gak? Dia kan baru aja putus."

Ana terkekeh, "Udah pacaran lama akhirnya putus juga."

"Bangke lo bedua emang. Bukannya hibur gue kek," oceh Kelly tak terima.

"Katanya lo bedua mau ke sini?"

Karina berdecak, "Nantilah, An. Gue kan mau ngurus KKN dulu."

"Eh iya ya, lo bedua udah mau KKN aja. Sori, gue kan ngulang dari awal jadi gak tau."

"Kok lo kayaknya kurusan, An?" tanya Kelly. "Apa lo pake efek filter-filter gitu?"

"Ha? Masa sih? Gak tuh gue rasa. Mata lo kali Kel makin kecil," jawab Ana santai.

"Anjing lo! Eh kenapa gak lo yang ke sini aja sih, An? Udah dua tahun lo di sana gak balik-balik."

Tanpa terasa Ana memang sudah berada di Singapura selama dua tahun dan tidak kembali ke Indonesia. Keluarganya memang mengunjungi Ana sebulan sekali, menanyakan kabar dan juga kelengkapan kebutuhan Ana, sedang dua temannya itu baru dua kali berkunjung.

"Nanti ajalah," sahut Ana kemudian.

Karina berdeham setelah dia kembali sehabis mengambil air minum. "Tapi lo udah baikan, kan? Jangan bohong ya, An."

Ana tersenyum dan mengangguk, yang dimaksud baik oleh Karina adalah psikis Ana. "Gue cuma males mau terbang-terbang balik, nanggung. Nanti aja kalo gue udah mau wisuda."

"Masih lama itu anjir! Eh udahan ya, gue udah ada janji sama Steven. Bye. Love you all."

"Eh si anjir, itu anak main nutup gitu aja. Brengsek emang," Kelly mendecih. "Gue seneng liat lo bahagia gini, An. Jadi kayak Ana yang dulu."

"Gue gak boleh sedih terus, Kel. Life must go on."

"Bener, An. Mau gimanapun lo berhak bahagia."

"Aaaah, gue gak ngerti kenapa lo bedua jadi pada bijak gini. Makasih lho."

Setelah menghabiskan waktu tiga puluh menit lamanya, Ana mengakhiri sesi video call hari itu. dia membiarkan ponselnya tetap dalam keadaan seperti itu ketika dia merebahkan badannya. Tak terasa sudah dua tahun Ana di sini. Bagaimana rumahnya sekarang? Bagaimana Jakarta sekarang? Ntahlah.

Ketika itu pula pintu flat-nya diketuk, Ana segera beranjak dan membuka pintu.

"For you," Beverly—penghuni apartemen sebelah sekaligus teman kampus Ana—menyerahkan sebuah paket pada Ana.

Ana mengernyit seraya menerima paket itu. "Who send this?"

"I don't know. Your name is written there, then this supposed to be yours."

"But I don't think that ..., going somewhere?" Ana mendelik melihat penampilan rapi Beverly.

Beverly menaikkan kedua bahunya. "Raymond's birthday, remember? Still won't come?"

"No. Thanks anyway," ucap Ana lalu menutup pintu itu, dengan cekatan dia membuka bungkus paket itu yang isinya berupa puzzle sebanyak dua ratus keping.

Ana mengernyit bingung, nama pengirim paket itu hanya tertulis Will. Ana tidak mengenal siapa Will itu, ada secarik kertas di sana, bertuliskan:

Can u make it done in 5 days? I'll give u another surprise then.

Meskipun merasa bingung, Ana tetap mencoba mengerjakan puzzle itu selepas kuliah hingga kedua matanya mengantuk. Dia bahkan menyiapkan meja berukuran satu meter persegi. Namun sayang ketika hari kelima datang, puzzle itu belum juga usai. Dia kembali mendapatkan paket yang diantar oleh Beverly. Kini paket itu berisi sebuah tiket. Ana meletakkan tiket itu di sebelah puzzle, jemarinya kembali bergerak menyelesaikan puzzle itu, jantungnya berpacu dan berpacu kian cepat. Butuh waktu hampir tujuh hari bagi Ana untuk menyelesaikan puzzle itu yang membuatnya begitu terhenyak.

"You can take my car, Ana," ucap Beverly ketika Ana mengenakan jaket siang itu bersiap untuk pergi.

"No need. I can go on foot," balas Ana.

"It will rain."

"Yeah, I know. Bye, Bee." Ana membuka pintu flat-nya lalu segera berlalu.

Langit di atasnya terlihat mendung namun tidak hujan. Dia merasakan jari-jemarinya dingin hingga harus dimasukkan ke dalam saku jaket, dirasakannya tiket itu menyentuh permukaan kulit Ana. Baru saja berjalan beberapa meter, hujan gerimis segera menimpanya. Ana terkejut, bukan karena hujan tapi karena ada mantel yang melindungi kepalanya. Ana menoleh dan melihat ke kedua mata hitam jelaga itu. Bibirnya terkatup tak bersuara, tangannya terasa semakin dingin hingga menjalar ke kedua pipinya. Dia bahkan tak bisa mengedip untuk sedetik saja.

"C'mon Ana, kita gak lagi syuting sinetron India."

Ana tertawa geli, lalu dia berlari pelan hingga hujan gerimis menimpa kepalanya. "Come and get me, Evan."

***

Terima kasih untuk kalian yang sudah ngikutin cerita ini dari awal TMH nyampe HMT.

Makasih untuk kalian yang udah baca+vote+komen.

Makasih untuk kalian yang udah baca+vote tapi gak komen.

Makasih untuk kalian yang udah baca tapi gak vote dan komen.

Makasiiiiih.

Btw, mau tambahan bab lagiiii gak? Lemme know ur mind:))))

TMH 2 - Hold Me Tight ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang