Chapter 45

125 28 28
                                    

Bukan Firaun
Chapter 45

Hala melirik hape-nya di atas meja pantry. Hasani menyadari dan langsung berlari mengambil lalu memasukkannya ke dalam saku bajunya.

"Hasan? Kembaliin hape gua!" Hala membentak.

"Nyonya rampok lagi beberes rumah. Wow seneng ya lu sekarang bisa punya rumah segede gini?" Hasani meledeknya.

"Apa yang lu lakukan di sini?"

"Mengumpulkan semua barang bukti yang ada buat ke polisi." jawab Hasani santai.

"Kenapa lu jadi gila gini sih?"

"Gua gila? Lu tadi nyebut-nyebut takut dosa, jadi gak tahu ya kalau menyembunyikan kejahatan itu dosa?"

Hala gak bisa menjawab.

"Emangnya gua dosa kalau ngelaporin kejahatan seseorang ke polisi? Eh iya gua lupa, yang bisa berdosa kan cuma gue doang. Kalau suami lu yang rampok itu sudah toooobat, maasyaa Allah." Hasani mencibir.

"Bang Akmal memang benar sudah bertaubat."

"Oooh terus berarti dia bebas dari hukum negara? Enak bener dong ya? Berarti gue juga boleh dong? Hari ini gue berbuat kejahatan, besok tinggal tobat, beres!"

"Ya Allah Hasani. Gua lagi hamil Has. Jangan siksa gua lebih lagi! Jangan ancam Bang Akmal untuk menceraikan gua! Di mana Shin? Tolong Has, Bang Akmal sudah nerima di penjara kalau itu bisa bikin lu tenang."

Hasani menendang bangku di dekatnya hingga Hala terlonjak dan mundur merapat ke dinding.

"Nerima di penjara biar gua tenang? Enak banget ngomongnya seakan-akan berkorban. Cuih! Laki lu tuh harusnya di penjara seumur hidup!" Hasani berjalan cepat ke dalam rumah sambil menyeret sebuah carrier besar.

"Ini gua temuin di dalam gudang  dan gua yakin masih ada di tempat lain juga." Hasani membuka isinya lalu melemparkannya ke Hala.

Lembaran-lembaran uang berhamburan.

Hala melindungi dirinya dengan tangan.

"Makan nih uang haram laki lu! Ini kan yang lu mau! Ini kan yang bikin lu jadi buta?" Hasani terus melempar uang-uang tersebut hingga seluruh lantai penuh uang bertebaran.

Hala berlari ke luar ruangan namun Hasani mengejarnya dan menarik tangannya.

"Gua belom selesai ngomong!"

"Lepas! Lepasin Has!"

Hasani menariknya dan mendorong ke sofa hingga Hala terjerembab.

"Gua belom selesai ngomong!"

"Hasan! Lu itu udah ngaji! Kenapa lu jadi gini sih?" Hala berteriak walaupun dia tetap duduk.

"Harusnya gua yang nanya gitu. Lu juga udah ngaji, bahkan udah bercadar."

"Makanya gak bisa lagi begini, gua gak mau lagi ngomong sama lu. Kita bukan mahrom, lu itu ajnabi."

"Lu itu munafik, lu bisa ngomong gitu ke gua seakan-akan lu akhwat sholihah. Padahal lu asyik aja naik taksi berdua Shin. Lu di kamar rumah sakit berdua aja dengan Shin. Mungkin dia juga yang gendong-gendong waktu lu pingsan. Iya...iya gua ada di sana malam itu. Gua yang nganterin Abah ke rumah sakit."

"Itukan darurat, gimana bisa lu nuduh gua bermudah-mudah dengan Shin?"

"Semua buat lu itu darurat ya? Pokoknya kalo demi rampok itu jatuhnya darurat, tapi kalo gua, dosa. Gitu ya?"

"Gak ngerti gua, gak ngerti lu itu lagi ngomong apa!"

"Si Kumal masuk ke rumah lu, nodongin pistol ke Abah dan ke elu itu darurat ya, Nur? Si Kumal memfitnah gua berkali-kali itu darurat ya, Nur? Si Kumal nendang gua ke tebing di Rinjani itu darurat? Si Kumal bikin gua sama lu berantem itu darurat ya Nur? Si Kumal bikin gua terusir dari kampung itu darurat?"

Bukan FiraunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang