"Andai hal-hal yang tidak diinginkan bisa dihindari."
"Andai, aku tahu rencana Tuhan benar-benar sangat baik di masa yang akan datang."
"Dan andai saja, semesta tidak sejahat ini."
"Tapi.. Semua andai-andai itu sudah tidak ada gunanya lagi untuk disesali, lagipula disetiap musibah pasti ada himahnya."
"Sampai suatu hari aku mengerti.. Semua rasa sakit ini adalah alasan agar bisa bangkit, dan saat aku bangkit, ada sesosok malaikat tanpa sayap tersenyum, dia datang memberiku semangat agar aku mau bertahan."
"Parangga. Entah mengapa dia peduli padaku."
💚💚💚
Suara tawa kemenangan terus menggelegar, masuk ke dalam telinga Anna. Bau busuk yang menyengat, menyeruak, menusuk hidungnya.
Bahu gadis itu naik turun ketakutan, tangan serta lulutnya menyentuh lantai yang dingin.
Tepat di depan gadis bersurai lurus itu, sudah ada empat orang gadis dan dua laki-laki yang masih tertawa puas melihat keadaan mirisnya yang dipenuhi oleh sampah.
"Ahaha, parfum lo baunya busuk banget, sih?" ledek salah seorang dari mereka yang dapat Anna tebak dari suaranya adalah Davina.
Kedua tangan Anna mengepal kuat. Ingin rasanya dirinya menyiram sampah tepat di atas kepala mereka berenam, sama seperti yang mereka lakukan kepadanya berapa menit yang lalu.
Tetapi Anna tidak bisa, karena nyalinya begitu kecil.
Mata Anna terpejam. Sekuat tenaga gadis itu menahan segala rasa sesak yang bersemayam di dalam dadanya. Jujur, ini benar-benar sangat menyiksa dirinya.
Sebenarnya, Anna ingin sekali menjerit keras untuk melampiaskan segala hal memuakkan yang ia terima hari ini dan hari-hari sebelumnya.
Tak ingin membuat dirinya semakin disiksa, Anna pun mencoba bangkit perlahan, berniat ingin kabur dari mereka. Namun sebelum gadis itu berdiri tegak, Fira- salah satu gadis yang membullynya, sudah lebih dulu mendorong tubuh Anna hingga membuat dirinya kembali terduduk di lantai.
"Lo mau nyoba bangkit?" Fira terkekeh meremehkan. "Jangan dulu dong, kan masih ada satu tong penuh sampah buat lo mandi."
Perkataan Fira berhasil membuat kelima temannya tertawa semakin lepas.
"A-aku punya salah apa sama kalian? Kenapa kalian selalu bully aku?" tanya Anna, memberanikan diri.
Tawa mereka terdengar semakin keras, seolah itu adalah tawa yang bertujuan untuk kembali meremehkan Anna.
Davina membungkukkan tubuhnya. Matanya menatap tajam bola mata Anna. "Bully? Kita nggak bully lo!" ujar Davina, ia lalu mengangkat sebelah kakinya ke atas kepala Anna dan menekan ujung sepatunya. "Kita cuma ngajak lo seneng-seneng!"
"Baperan amat!" Davina mendorong kepala Anna menggunakan sepatunya, hingga gadis yang ia bully kepalanya terdongak ke belakang.
Tiba-tiba saja, suara tawa mereka mereda, dan berhenti. Lalu saat itu juga, suasana di area koridor kelas menjadi sangat mencekam.
Tidak ada yang berani mebuka suara, baik para penonton yang menyaksikan, maupun para antek-antek Davina.
Sebuah senyuman picik terukir sekilas di bibir Davina, usai dirinya puas menekan-nekan kepala gadis yang ia bully dengan ujung sepatunya.
Air mata mengalir semakin deras. Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis.
"Lemah!" pekik Arya membanting tong sampah tepat di depan Anna hingga memantul ke samping. Untung saja tidak sempat mengenai Anna sedikit pun.
Mereka kembali tertawa. Anna tidak tahu berbuat apa, selain memilih pasrah dan terus menangis.
"Stop! "
Terdengar suara bergetar dan tidak begitu keras dari arah depan, yang secara otomatis membuat berpasang-pasang mata tertuju pada sumber suara, bahkan hingga membuat Anna secara spontan menghentikan tangisnya.
Anna memejamkan matanya erat-erat berharap siapa pun pemilik dari suara tersebut agar segera pergi, jangan ikut campur atau Anna akan merasa bersalah karena orang itu harus mendapatkan perlakuan sama seperti dirinya yang tidak seharusnya orang itu dapatkan.
Gerombolan orang yang menonton gadis itu membukakan jalan dengan bergeser ke tepian. Termasuk Davina dan para antek-anteknya.
Suara derap langkah sepatu yang berbenturan dengan lantai terdengar semakin mendekat. Anna mendongakkan kepalanya sedikit karena penasaran. Dilihatnya ada dua kaki bercelana abu-abu, serta kaki beralas sepatu sport putih lusuh -berjalan semakin mendekat ke arahnya.
Sebuah telapak tangan yang terdapat luka sayatan panjang -terulur tepat di depan Anna.
Anna mendongakkan kepalanya semakin ke atas untuk melihat siapa pemilik dari tangan tersebut.
Air mata yang tersisa di pelupuk mata, membuat Anna hanya bisa melihat dengan samar-samar orang di depannya.
"Kamu nggak papa?" tanyanya mengulas senyuman kecil sambil sedikit meringis karena salah satu sudut bibirnya terdapat luka memar berwarna keunguan.
Anna mengusap matanya yang berair dengan punggung tangannya agar penglihatannya kembali jelas. Ia kembali melihat pemuda yang masih mengulurkan tangan di depannya.
Penglihatan gadis itu pun kembali jelas. Anna menatapnya cukup lama untuk memastikan dengan jelas muka orang di hadapannya itu.
Dan akhirnya dia pun dapat melihat seorang laki-laki berambut lebat dengan bulu mata lentik yang ada di atas matanya yang menyorot teduh, tengah menyuguhkan seluas senyum manis untuk dirinya. Berapa detik ia menatapnya, pandangan mata Anna langsung turun -fokus pada luka memar di salah satu sudut bibirnya.
Entah mengapa setelah melihat senyumnya itu, Anna bisa menangkap kemirisan yang coba disembunyikan dalam senyuman.
Byur!
Satu tong penuh sampah, isinya dituang tepat di atas kepala laki-laki bersurai lebat itu dengan senyuman yang tidak luntur sedikit pun dari bibir manisnya.
"Ayo!" Anna mengangguk dan segera menerima uluran tangan laki-laki itu erat.
Laki-laki itu meringis. Anna tertegun, baru ingat dengan luka di tangan pemuda itu, ia pun segera melonggarkan genggamannya. Namun setelah itu tiba-tiba tangannya terasa digenggam dengan sangat erat.
Laki-laki itu menarik tangan Anna dan membuat tubuh gadis itu berdiri. Berbagai sorakan-sorakan pun mulai terdengar dilontarkan oleh Davina, para antek-antek pembullynya, dan beberapa siswa-siswi yang menonton.
Namun pemuda itu tidak memberikan perlawanan sedikit pun. Ia memilih tak acuh dan berjalan sambil menuntun gadis yang baru saja ia selamatkan untuk segera pergi dari tempat ini.
Dan itu adalah pertama kalinya mereka bertemu karena "luka"
💚💚💚💚
A/n
Terima kasih buat yang udah baca, vote, komen dan follow.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parangga [√]
Teen Fiction[Part Lengkap] "Parang? Kenapa sih setiap kamu dibully, bukannya nangis kamu malah senyum?" Parangga terkekeh pelan. "Itu karena aku tidak ingin menunjukkan sisi lemahku kepada mereka." "Hm?" "Jadi begini, jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu ke...